Berus Mata Buaya, Mangrove Langka yang Tumbuh di Pesisir Kalimantan Barat

 

 

Padang Tikar, kawasan pesisir dengan hamparan mangrove unik ini, berada di Kubu Raya, Kalimantan Barat. Ekosistemnya tidak hanya berfungsi sebagai penahan abrasi pantai, tetapi juga andalan nelayan setempat sebagai wilayah tangkap ikan.

Di kawasan ini terdapat Hutan Desa Bentang Pesisir Padang Tikar, model pengelolaan hutan secara lansekap berbasis masyarakat. Sepuluh desa masuk dalam cakupan bentang alam yang luasanya sekitar 126.049 hektare. Batasannya, sebelah timur dan utara terpisah oleh Sungai Kapuas dengan daratan utama Pulau Kalimantan, sedangkan selatan dan baratnya berbatasan dengan Laut Cina Selatan.

Adalah Bekti Saputro, peneliti mangrove dari Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan, dan timnya yang menemukan hal luar biasa di area ini. Mereka berhasil mengindentifikasi tumuk putih atau berus mata buaya (Bruguiera hainesii). “Ini penemuan pertama di Indonesia,” ungkap Bekti. Tumbuhan ini hanya tercatat di tiga negara, dengan jumlah populasi tidak lebih dari 203 pohon.

“Di Singapura terdapat 3 pohon, di Malaysia tumbuh 80 pohon, dan sekitar 120 pohon ada di Papua Nugini,” paparnya. Bahkan, status keterancaman spesies ini lebih mengkhawatirkan dari jenis mangrove lain yang sudah populer yakni kandelia (Kandelia candel). Status konservasi kandelia adalah Least Concern (LC), sedangkan tumuk putih berlabel Kritis atau Critically Endangered (CR).

Penemuan dilatari penelitian mangrove awal 2017. Riset dilakukan oleh tim yang terdiri Sampan Kalimantan, pemerintah desa dan lembaga pengelola hutan desa (LPHD) setempat. Tujuannya untuk memperkaya data dan informasi tentang spesies mangrove di Kubu Raya. “Kami mengambil sampel di dua lokasi, Bentang Pesisir Padang Tikar dan Bentang Pesisir Dabung,” kata Bekti, baru-baru ini.

Bentang Pesisir Padang Tikar merupakan prioritas. Hasilnya, ada 67 jenis mangrove yang terdiri dari 33 jenis mangrove sejati dan 34 mangrove asosiasi. Salah satunya, Bruguiera hainesii.

 

Berus mata buaya, mangrove langka yang hanya tercatat tumbuh di tiga negara. Foto: Sampan Kalimantan

 

Temuan ini tidak serta merta. Tim mengalami dinamika beragam. Mulai identifikasi yang meleset, hingga cara verifikasi memanfaatkan komunikasi masa kini. Email, serta diskusi tatap muka via internet, menerabas waktu dan jarak yang ada. “Pada April 2017, kami menemukan jenis mangrove yang kami kira Bruguiera. Setelah dikonfirmasi, ternyata bukan spesies itu,” tambah Denni Nurdwiansyah, Deputi Direktur Sampan Kalimantan.

Akhir Mei 2017, tim berhasil menemukan jenis langka tersebut. Temuan berawal dari laporan Muhammad Ismail, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Tanjung Harapan. Pengecekan lapangan dilakukan, dan sampel diambil. “Kami verifikasi ke ahli mangrove, Benjamin Brown. Dia anggota IUCN Mangrove Specialis Grup. Kami juga minta pendapat Nurain Lapolo, dari Universitas Negeri Gorontalo,” tukasnya.

Hasilnya, terkonfirmasi bahwa tumbuhan tersebut 100% Bruguiera hainesii jika dilihat dari karakter bunga, buah, batang, akar, dan daun. Penyebutan Bruguiera hainesii oleh masyarakat di Desa Tanjung Harapan dikenal dengan nama tumuk putih. Sedangkan secara nasional dan internasional dikenal dengan nama berus mata buaya.

Lokasi penemuannya di Teluk Pari Tanjung Terong Desa Tanjung Harapan, bagian areal kerja Hak Pengelolaan Hutan Desa Bentang Pesisir Padang Tikar. Spesies ini hidup pada substrat lumpur berpasir yang menghadap Laut Cina Selatan dan berasosiasi dengan Bruguiera sexangula, Bruguiera parviflora dan Bruguiera cylindrica. “Menurut penuturan masyarakat, populasi tumuk putih sejak lama tidak begitu besar jika dibandingkan jenis lain,” tambah Bekti.

 

Berus mata buaya, statusnya yang Kritis harus dijaga selalu. Foto: Sampan Kalimantan

 

Temuan ini menjadikan Kabupaten Kubu Raya, khususnya Bentang Pesisir Padang Tikar sebagai ekosistem mangrove terlengkap dan terkaya di Asia Tenggara. Total arealnya 59.847 hektare. Hanum dalam Rahardi (2016) menyebutkan, sebanyak 202 spesies mangrove terdapat di Indonesia, sekitar 150 spesies ada di Kalimantan. Sedangkan untuk spesies mangrove sejati, dari 50 jenis di dunia, sedikitnya 40 jenis terdapat di Indonesia (Noor dkk. 2006).

Mangrove di Bentang Pesisir Padang Tikar merepresentasikan 33% dari total 202 jenis mangrove yang terdata di Indonesia atau 47% dari total 150 jenis mangrove di Pulau Kalimantan. Khusus mangrove sejati, Bentang Pesisir Padang Tikar merepresentasikan 82,5% dari total 40 jenis mangrove sejati yang ada di Indonesia.

Selain tumuk putih, ada tiga tumbuhan lain yang status konservasinya mengkhawatirkan hidup di habitat Bentang Pesisir Padang Tikar. Dungun (Heritieria globosa) yang berstatus Endengered (EN); gedabu (Sonneratia ovata) berlabel Near Threatened (NT); dan terumtum (Aegiceras floridum) yang terdata Near Threatened (NT).

Denni mengatakan, penemuan spesies ini menjadi indikator bahwa ekosistem mangrove Bentang Pesisir Padang Tikar masih sehat dan terjaga baik. “Tutupan hutannya terjaga yang membuktikan tingginya komitmen masyarakat melestarikan ekosistem mangrove,” katanya.

Dalam konteks perlindungan, Hutan Desa Bentang Pesisir Padang Tikar telah mengantongi Hak Pengelolaan Hutan Desa seluas 76.370 hektare dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, pemantauan tetap dilakukan meski satu-satunya cara yang dilakukan adalah memaksimalkan perahu motor.

 

Mangrove yang berada pesisir Padang Tikar ini harus dijaga ekosistemnya. Foto: Putri Hadrian

 

Jaga hutan desa

Usulan hutan desa di Bentang Pesisir Padang Tikar dilakukan sejak 2014. Pada 14 Februari 2017, SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan diperoleh. Pemerintah berhasil diyakinkan bahwa ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan sekitar desa sangat dominan. Strategi pengelolaan melalui pendekatan karakteristik kawasan begitu dibutuhkan.

Juheran, Kepala Desa Tanjung Harapan mengatakan, ekonomi masyarakat sangat bergantung pada pengelolaan sumber daya alam. Mata pencaharian penduduk yang utama adalah nelayan sungai. Hanya sebagian kecil sebagai nelayan tangkap jauh. “Jika hutan mangrove hilang, mata pencaharian kami pun hilang,” kata dia. Masyarakat merasakan sendiri manfaatnya, ketika kawasan mangrove dijaga, ikan mudah di dapat dan kepiting bakau berlimpah. Tak jarang, beberapa nelayan luar datang ke sini.

Agar keseimbangan ekosistem terjaga, warga merancang sistem zonasi untuk wilayah tangkap. Ada zona lindung, zona rehabilitasi, dan zona pemanfaatan. Warga dapat mengelola zona pemanfaatan setiap saat, termasuk nelayan luar. Ketentuan zona ini juga dilakukan untuk kawasan hutan. Di zona ini, masyarakat menanam sayur-mayur, dan tanaman buah. “Hutan mangrove di Padang Tikar mempunyai banyak potensi. Sebut saja tepung nipah, gula aren, madu, minuman, manisan, serta garam yang dibuat dari pelepah nipah,” ucap Juheran.

Kawasan hutan Padang Tikar, mempunyai potensi stock carbon sebanyak 8,7 juta ton. Sedangkan produksi tepung nipah dapat mencapai 87,6 ton per tahun, dalam dua masa panen. Untuk madu, menurut taksiran Sampan Kalimantan, dapat mencapai 10 ton per tahun. Potensi ini hanya dihitung dari sarang alami, belum digabung dengan panen madu dari metode rekayasa koloni atau yang menggunakan lulut. Lulut adalah potongan kayu yang dipasang di tanaman yang disukai lebah.

Sampan Kalimantan juga mendorong terwujudnya ekonomi fair dan sustainable di landsekap Kubu-Padang Tikar. Skema perhutanan sosial diharapkan menjadi solusi pengelolaannya. Warga juga membuat aturan desa, yang memuat sanksi terjadap para pelanggar. “Masyarakat dapat memanfaatkan potensi sekaligus melakukan proteksi dalam hal pemanfaatan kawasan hutan yang sesuai fungsinya,” tutur Dede Purwansyah, dari Sampan Kalimantan.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,