Lumba-lumba Terdampar di Perairan Takalar. Dampak Tambang Pasir?

Warga Desa Mangindara, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Kamis siang (6/7/2017) dikagetkan dengan adanya lumba-lumba yang terdampar. Mamalia laut sebesar ukuran manusia dewasa ini terlihat tergeletak tak berdaya dengan beberapa luka di bagian tubuhnya.

Menurut Irwan Daeng Lewa, salah seorang warga Desa Mangindara, lumba-lumba itu ditemukan oleh seorang nelayan yang kemudian disampaikan kepada nelayan lainnya, sehingga terkumpul puluhan warga yang mencoba melakukan evakuasi terhadap hewan tersebut.

“Beberapa kali kita coba dorong dan angkat ke laut tapi selalu kembali. Nanti sore hari nya baru bisa betul-betul kembali ke laut,” jelas Irwan.

 

 

Terkait penyebab terdamparnya lumba-lumba tersebut, sejumlah spekulasi berkembang di kalangan warga, mulai dari terkena pancing nelayan, terkena baling-baling perahu hingga dampak dari adanya tambang pasir di sekitar kawasan tersebut.

“Kalau saya lihat ada luka di bagian mulut dan sirip belakangnya, seperti goresan. Mungkin kena pancing atau baling-baling kapal. Ada juga warga yang mengaitkan itu dengan tambang pasir,” ungkap Irwan.

(baca : Terjerat Jaring, Nelayan Gorontalo Berjibaku Selamatkan Paus Pembunuh)

Menurutnya, kejadian terdamparnya hewan di pantai Mangindara sebenarnya bukan kali pertama terjadi. Di awal tahun 2017 lalu juga ditemukan dua individu lumba-lumba, dalam keadaan sudah mati.

Terdapat perdebatan tentang jenis mamalia laut tersebut, apakah sejenis lumba-lumba atau paus. Bahkan ada yang menyebutnya ikan hiu. Penjelasan tentang jenis hewan tersebut diperoleh dari Yusran Nurdin Massa, Direktur Blue Forests, yang menyatakan hewan tersebut kemungkinan adalah Paus Pembunuh Kerdil (Feresa attenuata), berdasarkan ciri-ciri yang terlihat dari foto yang dikirimkan oleh Irwan.

“Saya share foto ini di grup whatsapp teman-teman penggiat masalah ini, katanya kemungkinan besar ini adalah Paus Pembunuh Kerdil. Meskipun namanya Paus namun sebenarnya tergolong dalam family Dolfinidahae atau keluarga lumba-lumba,” jelas Yusran.

Paus Pembunuh Kerdil sendiri panjangnya bisa mencapai 2,6 meter dan dengan bobot 225 Kg. Memiliki bentuk badan yang ramping dengan kepala membulat tanpa moncong. Warna tubuh abu-abu hingga hitam. Ciri-ciri khususnya adalah bentuk flipper yang ujungnya membulat.

 

Lumba-lumba kembali ditemukan terdampar tak jauh dari lokasi pertama kali ditemukan di pesisir Desa Mangindaran, Sabtu (8/7/2017). Hanya saja ditemukan dalam kondisi tak bernyawa lagi dengan kulit yang mulai terkelupas. Diperkirakan ini adalah lumba-lumba yang ditemukan dua hari sebelumnya. Foto: Facebook Irwan Daeng Lewa

 

Andry Indryasworo Sukmoputro, Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar tak menampik dugaan tersebut. Meski belum memastikan, namun ia juga memperkirakan hewan tersebut adalah Paus Pembunuh Kerdil.

“Saya bukan ahli masalah ini, namun dari beberapa orang yang telah melihat foto dan videonya memang diperkirakan Paus Pembunuh Kerdil. Kita masih harus melakukan investigasi di lapangan untuk mengecek langsung. Kita akan segera turunkan tim ke sana. Cuma sayangnya tadi katanya sudah dilepaskan,” katanya.

Mengenai penyebab terdamparnya lumba-lumba ini, Andry memperkirakan karena disorientasi oleh faktor-faktor tertentu. Bisa juga karena ada gangguan terhadap habitatnya.

“Penyebabnya bisa macam-macam. Mungkin juga karena disorientasi atau habitatnya terganggu karena ada aktivitas tertentu di daerah tersebut. Kita juga belum tahu pasti apakah di lokasi itu memang sudah sering terjadi hal yang sama. Ini belum diteliti. Nanti akan ada tim ke sana.”

(baca : Begini Penampakan Paus Biru yang Terdampar di Tidore)

Menurut Andry, kejadian mamalia laut terdampar di pantai sebenarnya merupakan hal yang lazim dan sering terjadi. Tidak hanya lumba-lumba, hewan lainnya yang sering terdampar adalah paus, dugong dan hiu. Sehingga pihaknya kemudian mengantisipasi hal ini dengan membentuk tim quick response.

Selain itu, BPSPL juga memberikan pembinaan kepada masyarakat, baik melalui sosialisasi ataupun Bimbingan Teknis tentang tindakan apa yang seharusnya dilakukan jika menemukan hewan terdampar di pantai.

“Hanya saja karena lingkup kerja yang cukup luas sehingga tidak semua tempat bisa kita lakukan upaya-upaya pembinaan ini. Di Kendari misalnya kita sudah bikin jejaring untuk penyelamatan lumba-lumba di Teluk Kendari. Di sana kan sering ya,” katanya.

Menurut Andry, upaya pembinaan kepada masyarakat sangat penting karena penyelamatan hewan-hewan tersebut memang membutuhkan penanganan khusus. Ada beberapa prosedur yang harus dijalankan, seperti tidak memegang ekor dan sirip dan harus dibopong.

“Kalau misalnya dalam kondisi Kode 1 atau sehat maka bisa dilepas,” tambahnya.

 

Hiu paus (Rhincodon typus) yang terkena jaring nelayan pada 27 Mei 2017 di perairan Solor Selatan, Flores Timur. Foto : WCU/DKP Flores Timur

 

Dalam penyelamatan mamalia laut terdampar sendiri terdapat sejumlah kode yang diberikan yang bertujuan memudahkan pelaporan. Misalnya, Kode 1, yang berarti hewan masih hidup (alive). Kode 2 berarti hewan baru saja mati dan belum ada pembangkakan (fresh dead). Kode 3, bangkai mulai membangkak (moderate decomposition), Kode 4, bangkai sudah membusuk (advance decomposition), dan Kode 5, bangkai sudah menjadi kerangka (severe decomposition).

Menurut Andry, prosedur penyelamatan mamalia laut terdampar antara lain adalah mendekati mamalia tersebut secara hati-hati di mana harus dihindari daerah mulut dan ekor. Lubang nafas dan matanya harus dihindarkan dari pasir atau benda-benda asing lainnya, termasuk air. Jika mamalia tersebut berada di air, maka harus bopong dan diberikan sokongan agar terapung.

Langkah selanjutnya adalah melindungi bagian sirip agar tidak patah, di mana sirip terdiri dari tulang rawan, sehingga rentan patah. Jika patah mamalia tersebut tidak bisa berenang.

“Kalau terdamparnya di pasir maka harus menggali pasir di bagian bawah sirip dada dan badan. Lubang tersebut kemudian diisi dengan air. Tujuannya untuk mengurangi tekanan gravitasi, karena tulang dada mamalia juga rentan. Gunakan matras sebagai alas.”

Dianjurkan juga untuk menghindarkan mamalia laut tersebut dari stres dengan cara menghindarkannya dari kerumunan orang di sekeliling mamalia terdampar tersebut.

“Stres bisa menyebabkan kematian pada mamalia. Jika terkena terik matahari, mamalia laut yang terdampar harus dilindungi. Selanjutnya, saat mengangkat ke tandu, sirip harus ditekuk sejajar tubuh, tetapi jangan dipaksa. Ketika dilepaskan kepala mamalia laut tersebut harus mengarah ke laut.”

 

Aksi ‘bakar pantai’ dilakukan warga Takalar, Sulawesi Selatan, terkait penolakan mereka terhadap penambangan pasir di sepanjang perairan Galesong hingga Sanrobone dan Tanakeke. Aksi pembakaran ban ini dilakukan di 210 titik di 21 desa yang ada di sekitar pesisir Takalar. Foto: Wahyu Chandra

 

Dampak dari Tambang Pasir?

Menurut Yusran penyebab terdamparnya lumba-lumba tersebut kemungkinan karena habitatnya terganggu, apalagi dua hari setelah dilepaskan, Sabtu (8/7/2017) lumba-lumba ini, kembali ditemukan terdampar di pantai Mangindara, tak jauh dari lokasi pertama ditemukan.

“Menurut informasi dari WWF biasanya mamalia laut akan kembali terdampar ketika sudah tidak merasa cocok lagi dengan habitatnya. Dan memang kan dua hari kemudian ia ditemukan kembali terdampar di lokasi yang tak begitu jauh, meski sudah dalam keadaan mati.”

Yusran tak menampik adanya spekulasi dari warga yang mengaitkan penyebab terdamparnya mamalia laut tersebut karena aktivitas penambangan pasir di sekitar perairan Galesong dan Tanakeke.

“Kejadian ini bersamaan dengan intensifnya aktifitas penambangan pasir laut di sekitar perairan Tanakeke. Perairan sekitar Tanakeke terutama sisi barat memang ada alur migrasi biota ini, seringkali dijumpai gerombolan lumba-lumba di sana,” ungkap Yusran.

(baca : Tolak Tambang Pasir Laut, Warga Takalar Ramai-ramai Bakar Pantai)

Menurutnya, penting untuk meneliti dan mengkaji secara mendalam penyebab terdamparnya lumba-lumba tersebut, baik dari ciri-citi fisiologis maupun kondisi sekitar perairan. Indikasi ini dinilai sebagai alamat buruk bagi upaya perlindungan biota laut, semua pihak terutama Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat melakukan riset mendalam.

“Setidaknya bisa memberi penjelasan ilmiah bagi masyarakat yang menghubungkan hal ini dengan maraknya penambangan pasir laut di perairan sekitar habitat lumba-lumba. Jika benar, maka tentunya biota laut di wilayah ini akan sangat terancam, mengingat luasnya wilayah konsesi tambang pasir laut yang sedang dan telah mengajukan perizinan penambangan pasir laut di sana untuk kepentingan reklamasi,” tegas Yusran.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,