Riset Ecoton: 37 % Sampah di Sungai Surabaya adalah Popok Bayi

Andre berulang-kali membenamkan tubuhnya ke dalam air. Tangannya menggenggam sebuah jaring yang berbentuk segi empat, yang tiap sisinya terbuat dari kayu. Di permukaan air, sesekali ia menggoyang-goyangkan jaring yang mulai terisi lumpur.

Andre adalah warga yang tinggal di sekitar sungai Karang Pilang. Sungai itu membelah kota Surabaya dan Sidoarjo. Selain Andre, rekan-rekannya juga melakukan aktifitas serupa. Ketika saya berada di sana, Selasa (11/7/2017), kira-kira ada sekitar 5 orang yang menyelam sambil membawa jaring berbentuk kotak.

Tiap hari mereka melakukan aktifitas itu untuk mengumpulkan cacing. Sekali menyelam, mereka bisa menghabiskan waktu antara 2 hingga 3 jam. Istirahat sebentar, kemudian lanjut lagi. Total, dalam sehari, durasi mencari cacing bisa mencapai 8 jam. Dari pagi sampai sore.

 

 

Andre melakukan kegiatan itu nyaris tiap hari. Sebab, selalu ada permintaan cacing untuk pakan ikan. Permintaan paling banyak datang dari daerah Tulung Agung. Menurut dia, daerah tersebut merupakan pusat ikan hias terbesar di Indonesia.

“Dalam sehari, cacing bisa terkumpul antara 50 sampai 60 kaleng. Selalu habis terjual. Jadi pakan ikan, buat bibit lele, bibit gurami sama ikan hias,” terangnya ketika ditemui Mongabay Indonesia, Selasa (11/7/2017).

Karena itu, kalau tidak mengatur waktu istirahat, aktifitas menyelam nyaris tidak ada liburnya. Padahal, menyelam dan mengangkat lumpur dari dalam air memerlukan tenaga ekstra. Sebab, jika jaring itu terisi penuh, beratnya diperkirakan bisa mencapai 50kg.

Tapi, para pencari cacing tidak hanya dituntut punya kekuatan di bagian otot. Keterampilan mengatur nafas juga tidak kalah penting. Salah sedikit, bisa celaka. “Angkat jaring ini macam orang fitness. Berat. Enggak kuat bisa muntah,” kata Andre sambil menggoyang-goyangkan jaring di tangannya.

Bagi dia, sejauh ini, tidak ada masalah berarti. Andre dan rekan-rekannya merasa terbiasa. Otot dan nafasnya sudah terlatih. Lagi pula, mereka harus mengumpulkan cacing untuk pakan ikan, supaya mereka juga bisa makan.

 

Tim ecoton yang melakukan evakuasi sampah popok di Sungai Karang Pilang, Surabaya. Sampah domestik dan sampah plastik memenuhi sungai yang berdampak buruk pada biota sungai tersebut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay

 

Justru, yang dipandang jadi persoalan adalah sampah-sampah di sekitar sungai. Para pencari cacing mengaku sering lihat orang buang sampah sembarangan. Orang-orang, dari sepeda motor atau mobil, melemparkannya begitu saja ke jembatan atau ke sungai.

Akibatnya, tiap kali mencari cacing, selalu saja ada sampah yang mengalir di sungai, bahkan tersangkut di jaring.

“Nih, saya dapat popok!” kata salah seorang rekan Andre begitu muncul dari dalam air.

 

Sampah Popok Bayi

Di saat bersamaan, tim peneliti Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation) melakukan evakuasi sampah di sekitar sungai, tempat Andre dan kawan-kawannya mencari cacing. Sebuah perahu digunakan untuk menyusuri sungai dan menampung sampah popok. Evakuasi juga dilakukan di pinggir jembatan.

Sebagai pengaman, tim Ecoton mengenakan sarung tangan, jaket dan masker. Maklum, aroma kotoran yang melekat di popok bayi dapat dengan mudah dikirim angin ke hidung. Beberapa orang bisa mual dibuatnya.

Total, sudah 3 hari tim Ecoton melakukan aktivitas tersebut. Hasilnya, sekitar 200 kilogram sampah popok berhasil dikumpul. Sampah-sampah tersebut, merupakan hasil evakuasi dari 4 lokasi berbeda, di antaranya Karang Pilang, Jagir, Kayun dan Gunung Sari.

Lewat temuan itu, Ecoton menyebut, 37 persen timbunan sampah di sungai adalah popok bayi. Persentase tersebut, menempatkan sampah popok di peringkat dua limbah rumah tangga pencemar sungai, atau satu tingkat di bawah sampah plastik yang mencapai 43%.

Menurut catatan mereka, setiap tahunnya, 6 miliar piece popok diproduksi di Indonesia. Besarnya angka produksi itu, perlu diikuti dengan pengetahuan tentang bahaya buang sampah popok sembarangan. Sebab, bahan-bahan plastik pada popok tidak akan terurai, selain menjadi mikroplastik.

 

Sampah popok bayu yang berhasil dikumpul oleh Tim Ecoton di Sungai Karang Pilang, Surabaya. Sampah domestik dan sampah plastik memenuhi sungai yang berdampak buruk pada biota sungai tersebut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay

 

Riska Darmawanti, peneliti senior Ecoton mengatakan, terdapat senyawa dioxin dan phtalat dalam popok bayi. Jika senyawa ini melebur dalam air, kata dia, maka akan terjadi pencemaran. Karena, bakteri yang menempel di popok akan meningkatkan pencemaran bakteri E-coli di sungai Surabaya.

Kemudian, popok yang telah menjadi sampah tidak akan terurai karena terbuat dari plastik. Limbah plastik itulah yang sangat mungkin dimakan ikan, plankton maupun kerang.

Padahal sungai di Surabaya merupakan sumber air minum serta habitat bagi 25 spesies ikan, yang sebagian besar dikonsumsi oleh penduduk daerah aliran sungai.

“Nah, bisa berbahaya kalau manusia makan ikan atau meminum air yang tercemar limbah plastik, secara sengaja maupun tidak sengaja,” kata Riska ketika ditemui Mongabay di sela-sela evakuasi sampah di kawasan Karang Pilang, Surabaya.

 

Mendorong Keterlibatan Berbagai Pihak

Dari temuan tersebut, Ecoton menyatakan perlunya membangun kesadaran berbagai pihak. Masyarakat, pemerintah dan produsen popok perlu bersama-bersama menyelesaikan persoalan sampah.

Ecoton menyimpulkan, salah satu sebab kebiasaan buruk itu terus berlanjut karena mitos yang dipertahankan sejumlah orang. Sebagian masyarakat, berkeyakinan bahwa membuang popok ke sungai bisa membuat pantat bayi tidak panas.

“Saya yakin, yang buang popok sembarangan juga punya tempat sampah di rumah. Tapi, karena mitos-mitos itu, mereka buang sampah di sungai. Padahal, secara logis, lebih berbahaya buang popok di sungai,” terang Amirudin, Community Development Ecoton.

Selain itu, mereka juga mendesak pemerintah untuk lebih maksimal mengendalikan polusi popok di sungai Surabaya. Caranya, dengan menyediakan tempat-tempat khusus untuk pembuangan popok. Sebab, berdasarkan wawancara yang dilakukan Ecoton, sejumlah warga memang berharap adanya tempat khusus untuk membuang sampah popok.

“Dari hasil wawancara, warga sekitar protes bau tidak sedap yang diakibatkan sampah popok. Jadi, mereka minta tempat khusus untuk itu,” terang Ajis, tim Ecoton yang ikut mengevakuasi sampah popok.

 

Tim ecoton yang melakukan evakuasi sampah popok di Sungai Karang Pilang, Surabaya. Sampah domestik dan sampah plastik memenuhi sungai yang berdampak buruk pada biota sungai tersebut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay

 

Prigi Arisandi, Direktur Ecoton menambahkan, popok seharusnya dibuang di tempat penampungan akhir, dengan metode sanitary landfill. Mengeruk tanah terlebih dahulu, memberi membran, mengecornya, kemudian meletakkan sampah di situ. Tidak boleh menggunakan metode open dumping.

Selain itu, pihaknya juga mendesak produsen popok untuk memberikan peringatan kepada pembeli. Peringatan itu sekaligus merupakan bentuk edukasi agar konsumen tidak membuang popok ke badan air atau sungai.

“Perusahaan popok harus juga bertanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat. Memberi peringatan, tahapan-tahapan, jangan langsung buang popok ke sungai tapi bersihkan dulu kotorannya. Karena kotoran itu bisa jadi kompos, macam-macam,” jelas Prigi.

Agar keterlibatan produsen popok lebih maksimal, pemerintah perlu mendorongnya dengan regulasi. Dia meyakini, semua pihak, bertanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan. Tapi, tanggung jawab manajemen, peraturan dan pengawasan, dinilai melekat sepenuhnya pada pemerintah.

“Terkait dengan sungai ada KLHK, Jasa Tirta, Balai Besar Wilayah Sungai Brantas. Duduklah, bicarakan sungai ini,” pungkas Prigi.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,