Tanpa HGU, Koalisi Nilai PT Perkebunan Nusantara XIV Operasi Ilegal di Sulsel

 

Koalisi organisasi masyarakat sipil terdiri dari Sawit Watch, Walhi Sulawesi Selatan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel menengarai PT Perkebunan Nusantara XIV (Persero) XIV telah beroperasi ilegal di Kabupaten Enrekang dan Wajo, Sulawesi Selatan.

Perusahaan negara ini dinilai berusaha tanpa dilengkapi hak guna usaha (HGU) sebagai syarat wajib perusahaan sesuai putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015, hasil uji materi UU Perkebunan.

PTPN XIV beroperasi di Kecamatan Maiwa, Enrekang 5.230 hektar dan di Gilireng dan Keera (Wajo) seluas 12.170 hektar.

“Tindakan PTPN XIV merugikan negara dari penerimaan pajak. Negara tak mendapatkan apapun dari tindakan ilegal PTPN XIV yang tak ber- HGU,” kata Indah Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch kepada media, Jumat (14/7/17).

Sebagai perusahaan negara, harusnya PTPN XIV malu, karena tak memberikan contoh kepada perusahaan lain dalam kepatuhan terhadap hukum.

“PTPN seharusnya jadi contoh praktik perkebunan yang baik, bukan sebaliknya, beri contoh buruk,” katanya.

Untuk mendukung kebijakan reforma agraria, seharusnya lahan eks HGU yang berakhir jadi tanah obyek reforma agraria (Tora).

Tora ini, katanya,  jadi upaya penyelesaian konflik dan mengatasi ketimpangan agraria. “Bupati bersama Badan Pertahanan harus segera menyiapkan langkah teknis,” katanya.

Asmar Exwar, Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, mengatakan, konflik antara masyarakat dengan PTPN XIV berlangsung sejak 2004. Ketika masyarakat mulai meminta tanah kembali sesuai perjanjian dengan PT. Bina Mulia Ternak (BMT) sejak 1972.

“Peralihan jadi PTPN XIV dengan perkebunan sawit telah melukai hati rakyat di Wajo dan Enrekang,” katanya.

Menurut dia, ada ribuan masyarakat di dua kabupaten itu kehilangan akses dan wilayah kelola. Lahan untuk bertani, berkebun dan beternak tak bsa terpakai.

Puluhan petani dikriminalisasi, pohon-pohon di kebun milik warga juga dirusak dan ditebang. Ternak-ternak warga mati diracun tanpa ada proses oleh kepolisian.

“Selama bertahun-tahun masyarakat berhadapan dengan Brimob tanpa henti meneror dan intimidasi masyarakat yang menolak keberadaan PTPN XIV,” katanya.

Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator Wilayah KPA Sulsel juga meminta persoalan menyangkut kehidupan ribuan petani ini segera selesai.

Konflik kronik, massif, sistemik dan berdampak luas ini, seharusnya jadi prioritas penyelesaian oleh Presiden Joko Widodo tanpa mengulur-ulur waktu.

Program Reforma Agraria, katannya, tak akan berhasil jika konflik PTPN terjadi hampir di seluruh Indonesia.

Dia bilang, andai setengah saja dari konsesi PTPN XIV kembali ke masyarakat dengan dua hektar per keluarga, ada 16.000 keluarga atau sekitar 64.000 petani bisa mendapatkan manfaat.

“Pertimbangan ini harus jadi salah satu langkah dalam penyelesaian konflik berkepanjangan ini.”

 

Aktivitas PTPN XIV di Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang seluas 5.230 hekar tanpa HGU telah menutup akses masyarakat terhadap lahan yang dulu mereka miliki. Foto: Rizki Anggriana Arimbi/Mongabay Indonesia

 

Syafruddin dari AMAN Sulsel menambahkan, usaha PTPN XIV sangat jelas menyengsarakan masyarakat adat sekitar wilayah yang dikuasai.

“Pemerintah setempat seharusnya jeli melihat persoalan ini, karena bukan hal baru, sudah puluhan tahun.”

PTPN berdiri 11 Maret 1996 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19/1996 tertanggal 14 Februari 1996 tentang Peleburan PT Perkebunan XXVIII (Persero), PT Perkebunan XXXII (Persero), PT Bina Mulya Ternak (Persero) jadi PTPN XIV (Persero). Ia termasuk eks proyek-proyek pengembangan PT Perkebunan XXIII (Persero) di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Koalisi menyampaikan beberapa tuntutan antara lain, mendesak, pemerintah meninjau ulang dasar hukum, penguasaan lahan PTPN XIV serta penyelesaian menyeluruh dan adil  dengan mengutamakan hak dan kepentingan warga Keera, Wajo dan Enrekang.

Juga mendesak, kepolisian profesional dan imparsial dalam penanganan baik pengamanan maupun penegakan hukum atas sengketa lahan ini.

Kemudian, meminta Pemerintah Enrekang dan Wajo memfasilitasi pengembalian lahan masyarakat dan bupati bisa menghentikan semua operasi PTPN di dua kabupaten ini.

 

Masih proses

PTPN XIV ketika dikonfirmasi menolak berbagai tudingan itu. Jimmy Jaya, Kepala Bagian Sekretaris Perusahaan PTPN XIV mengatakan, soal HGU, dalam masa perpanjangan setelah berakhir 2003.

Dia bilang, HGU PTPN 1973-2003. Sesuai Permenag Agraria/Kepala BPN No 9/1999, katanya, dsebutkan dua tahun sebelum masa berlaku berakhir harus ajukan perpanjangan.

“Kita kemudian mengajukan perpanjangan pada 2001, sedang proses. SK belum turun karena ada kendala teknis dan non teknis yang harus diselesaikan sebelum clear and clean,” katanya.

Berbagai masalah teknis dan non teknis itu antara lain ada perubahan wilayah konsesi karena tumpang tindih dengan kawasan hutan, penolakan masyarakat dan kewajiban pajak yang diselesaikan.

Mengenai kewajiban pajak, kata Jimmy, masih ada tunggakan, namun utang dalam proses pelunasan. Dia akui akan masalah dengan keuangan (pajak) belum semua terbayar. “Kita ada tagihan 2002-2006 belum terbayar. Tagihan 2015-2016 sudah selesai semua,” katanya.

 

Brimob mengawal PTPN selama ini dinilai malah meresahkan warga karena kerap melakukan upaya kekerasan dan itimidasi, termasuk mencabuti tanaman warga. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,