Bukan Penebangan Liar, Sampah Ternyata Jadi Masalah Berat di TN Bali Barat

Pengantar redaksi. Dalam seri tulisan tentang pengelolaan kawasan konservasi, Jurnalis Mongabay Indonesia Luh De Suriyani menelusuri permasalahan yang ada dalam pengelolaan di Taman Nasional Bali Barat, kawasan hutan terbesar tersisa di wilayah ujung barat pulau Bali seluas 19 ribu hektar. Seri tulisan berikut ini akan menyoroti tentang permasalan pengelolaan, dampak pengunjung dan kondisi ekowista. Selamat membaca.

Berbeda dengan umumnya taman nasional lain, TNBB sangat dekat dengan akses jalan nasional, yaitu dekat dengan pelabuhan penyeberangan Jawa-Bali yaitu Gilimanuk di pesisir paling barat pulau Bali. Akses ini pulalah yang membuat mobilisasi manusia yang melintas TNBB membawa dampak bagi kawasan konservasi ini. Selain masalah sampah yang terbawa lintasan arus laut maupun aktivitas manusia.

Sejak 19 Februari hingga 29 Juni 2017 saja, sampah anorganik terangkut seberat  9,1 ton. Jenis sampah yang terkumpul antara lain berupa plastik kresek, stereofom, bungkus makanan, botol plastik, pampers, kaleng, dan lain-lain. Para petugas sedikitnya melakukan 50 kali kegiatan bersih sampah, rata-rata 10 kali tiap bulannya, di berbagai lokasi yang menjadi titik konsentrasi sampah anorganik.

Sampah terbanyak berasal dari pantai di seputaran Pulau Menjangan dan Labuan Lalang, yaitu seberat 5,1 ton. Sisanya berasal dari pantai di belakang kantor Balai TNBB seberat 766 kg, dari sekitar pemukiman di kelurahan Gilimanuk dan Pantai Karangsewu seberat 2,5 ton, serta di seputaran Pantai Prapat Agung dan Sumber Rejo, seberat 800 kg. Aksi bersih sampah waktu itu melibatkan pula para dive operator. 

“Sampah mulai dicatat 19 Februari karena muncul tiap hari,” kata Wiryawan, Kepala Tata Usaha TNBB. Pria ini saat ini sedang bertugas memimpin TNBB sementara di lapangan sedangkan secara struktural Plt adalah Kepala BKSDA Bali.

Namun tidak saja di tepi pantai, sampah banyak ditemukan pula di daratan. Tebaran sampah dapat dijumpai dekat jalan pengunjung misalnya di kawasan Prapat Agung dan Lampu Merah di seksi II. Kemudian pesisir Pulau Menjangan yang ramai dimanfaatkan untuk rekreasi bawah air.

Ketika berkendara di dalam hutan pun, tak sedikit sampah anorganik di bawah pohon. Paling banyak bekas minuman, kemasan makanan plastik, sampai kotak makanan.

Lalu darimana sumber sampah di daratan?

Sampah di daratan berasal dari pengunjung. Agaknya ada yang senang berhenti atau rehat untuk makan, lalu meninggalkan sampahnya begitu saja.  Sampah terbanyak berasal dari warga yang akan bersembahyang ke sejumlah pura besar di kawasan TNBB. Misalnya pura Segara Rupek dan pura-pura di Pulau Menjangan.

Hilir mudik warga dengan pakaian sembahyang dan membawa sesajen terlihat di Labuan Lalang, lokasi penyeberangan menuju Pulau Menjangan. Sementara di daratan, salah satu spot teramai di wilayah seksi II menuju pura Segara Rupek dan dua pura lain, pengunjung rata-rata berkendara roda empat.

Jalur jalan menuju pura membelah hutan. Sekitar 10 km atau satu jam berkendara karena jalan rusak berbatu. Jalan masuk kini sedang diperbaiki, diaspal, dan rencananya hanya 2,5 km di jalur terdekat dari dan menuju jalan raya.

Entah apa yang terjadi jika jalan dalam hutan seluruhnya diaspal, laju kendaraan lebih cepat. Sementara dalam hutan ada banyak satwa yang harus dilindungi. Ayam hutan, rusa, dan monyet ekor panjang kerap terlihat di ruas jalan mencari makan.

Bahkan perilaku monyet ekor panjang ini menarik. Ia akan berlarian ke tepi jalan ketika ada kendaraan lewat. Kemudian berdiri dengan sigap, siap menerima makanan dari pengendara. Perubahan perilaku hewan liar karena intervensi manusia.

“Mereka sering diberi makanan oleh pengunjung,” ujar Ketut Darmika, polhut wilayah seksi II.

 

Monyet ekor panjang. Perilaku beberapa kelompok monyet di TNBB berubah, mereka menunggu di tepi jalan untuk diberi makan pengunjung. Foto: Ridzki R Sigit/ Mongabay Indonesia

 

Di areal tanggung jawab seksi II, ada 3 pura yang dikunjungi pengunjung nyaris tiap hari sampai malam. Terbesar adalah pura Segara Rupek, Prapat Agung, kemudian Payogan. Pengamanan pun harus 24 jam.

“Kendalanya, masyarakat belum paham arti TNBB. Agar tak meninggalkan apa pun termasuk sampah. Pengunjung ke pura banyak buang sampah plastik,” jelas Darmika. Ada yang bisa diberitahu untuk membawa sampahnya, ada yang tidak. “Pernah saya malah dapat tanggapan sinis, ini kan hutan,” lanjut Darmika tentang pembenaran buang sampah sembarangan.

Made Mudana Kepala Resort Prapat Agung di seksi II yang mengurus keamanan kini juga harus ikut memantau pembuang sampah. Padahal tensi keamanan sedang ditingkatkan pasca kasus perburuan 4 kijang di dalam hutan oleh rombongan pengendara berpakaian adat dengan modus ke pura pada Januari 2017 lalu.

Alih-alih sembahyang, mereka tepergok membawa 4 kijang mati dalam mobilnya. “Penembakan ini menyakitkan hati kita sebagai umat Hindu karena mereka pake udeng seperti sembahyang,” ujar pria yang sudah lebih 30 tahun bertugas di TNBB ini.

Peningkatan keamanan berimbas dari pemeriksaan tiap pengunjung. Pasca kasus itu, kendaraan yang masuk dicatat nama dan tujuannya. “Dilema, ada yang marah diperiksa karena bilangnya mau sembahyang,” keluh Mudana.

Baca juga:  Kijang Mati Diburu di Taman Nasional Bali Barat, kok Bisa?

Pengunjung membludak saat puncak upacara atau Piodalan Segara Rupek saat Purnama Jyesta setahun sekali. Pengelola mendata sedikitnya ada 2500 mobil, dan orang di atas 50 ribu selama ritual 11 hari.

Sampah yang tercecer dan dikumpulkan lebih dari 250 karung aneka jenis plastik saja. Belum lagi botol dan lainnya.

“Kami sering dikomplain turis mancanegara soal sampah. Misal melihat gundukan sampah yang terpaksa dibakar. Pengunjung WNA lebih tanggungjawab. Kenapa kita pemilik sendiri, tidak menjaga rumah sendiri?” Hartatik, Kepala Seksi Wilayah II TNBB risau. Perempuan ini baru 2 tahun dipindah dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

 

Sedikitnya 9,1 ton sampah anorganik terangkut dari kawasan TNBB selama hampir 5 bulan sampai Juni lalu. Foto: Arsip TNBB

 

Ketut Reni, perempuan tua penjaga warung di sekitar pura mengaku bisa dari pagi sampai malam menarik gerobak sampah saat puncak upacara. Ia mengaku sebagai pengayah (relawan) pura. Kesehariannya adalah mengurus sampah selain dagang. “Sampah saya bakar,” katanya.

Salah satu warga yang sedang bersembahyang saat ditemui 5 Juli lalu di kawasan Pura Segara Rupek mengatakan tong sampah kini cukup banyak jadi tak jadi alasan warga buang sampah sembarangan. Ia sendiri mendatangi pura di dalam hutan ini untuk memohon keselamatan dan kesehatan.

Pura di kawasan konservasi seringkali memberi dampak positif karena menjadi sakral dan disucikan. Warga takut melakukan kegiatan terlarang. Salah satu yang perlu dikampanyekan lebih intens adalah perilaku buang sampah yang bertanggungjawab untuk menjaga kesucian kawasan.

Sejumlah papan imbauan dan larangan buang sampah sembarangan tersebar di sejumlah titik. Mudah terbaca. Para pengelola TNBB saat menjumpai pengunjung pun spontan mengingatkan untuk tak buang sampah sembarangan.

“TNBB adalah etalase untuk mengenal lingkungan. Nilainya harus dipertahankan. Bali sekecil ini hutannya harus terjaga,” urai Hartatik.

Ini tentunya menjadi tantangan bagi pengelola TNBB untuk segera mencari solusi untuk mengurangi ancaman berton-ton sampah yang menyerbu baik dari laut maupun daratan.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,