Demi Kelestarian Laut, Nelayan NTB Janji Tidak Lagi Menangkap Benih Lobster

 

 

Upaya menjaga sumber daya laut, salah satunya benih lobster, melalui penerapan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan dan Pengeluaran Lobster, Kepiting dan Rajungan, terus dilakukan. Terutama, di Nusa Tenggara Barat, provinsi yang menjadi sumber produksi benih lobster.

Di wilayah yang masuk Kawasan Timur Indonesia (KTI) itu, ribuan nelayan yang sebelumnya berprofesi penangkap benih lobster, sudah menyatakan berhenti melakukan aktivitas tersebut. Namun, deklarasi ini dinilai sejumlah kalangan yang kontra hanya akal-akalan saja, karena akan mematikan ekonomi rumah tangga (RT).

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto di Jakarta, pekan lalu mengatakan, ribuan nelayan yang tersebar di tiga daerah, yakni Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Lombok Timur, membantah semua tuduhan pihak yang kontra. Bahkan, kata dia, nelayan dengan sikap terbuka menerima bantuan kompensasai Pemerintah Indonesia.

“Masyarakat eks penangkap benih lobster sudah menyatakan siap menerima bantuan kompensasi bagi usaha budidaya ikan,” ujarnya.

 

Baca: Saat Pocongan Lobster Dimusnahkan, Maka Langkah Baru Dijejak

 

Menurut Slamet, dari hasil penelusuran di lapangan langsung, dia dan tim mendapatkan fakta bahwa semua elemen masyarakat memperlihatkan kekompakan dengan tetap menghentikan aktivitas penangkapan benih lobster. Bagi masyarakat, penghentian adalah upaya yang paling masuk akal, karena bisa menyelamatkan sumber daya laut dan sekaligus menyelamatkan ekosistemnya.

“Masyarakat yang telah terverifikasi sebagai calon penerima bantuan, tidak ada satupun yang menolak dan mengembalikan bantuan yang akan diberikan. Mereka tetap komitmen dengan ikrar yang sudah diucapkan,” jelas dia.

Ucapan Slamet diperkuat oleh pernyataan Kepala Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Haji Bangun. Menurut dia, tidak satupun warga yang menolak bantuan. Ia justru heran karena berkembang isu penolakan bantuan.

“Justru, kami menunggu bantuan terealisasi dalam waktu dekat. Harapannya, usaha budidaya akan berjalan sukses, sehingga ekonomi kami kembali bangkit,” ungkapnya.

Hal senada dituturkan Amaq Mita, warga yang sebelumnya berprofesi sebagai penangkap benih lobster di Teluk Gerupuk, Lombok Tengah. Menurut dia, warga dan nelayan sudah berikrar menghentikan aktivitas penangkapan benih lobster.

“Kami siap menerima bantuan yang akan digunakan untuk alih usaha ke budidaya ikan,” tandasnya.

 

Benih lobster mutiara ini diperkirakan nilainya Rp130 ribu per ekor dan dijual ke Vietnam. Benih tersebut berhasil digagalkan dari penyelundupan lewat Bandara Ngurah Rai Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dana kompensasi

Untuk memuluskan implementasi Permen KP Nomor 56 Tahun 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah mengalokasikan dana sebesar Rp50 miliar. Dana tersebut akan digunakan untuk biaya kompensasi pemberlakuan Permen kepada nelayan dan pembudidaya ikan.

Slamet Soebjakto menyebutkan, dana kompensasi di antaranya akan diberikan untuk 2.246 RT eks penangkap benih lobster, masing-masing di Kabupaten Lombok Tengah sebanyak 873 RTP, Lombok Timur 1.074 RTP, dan Lombok Barat sebanyak 229 RTP.

“Kami telah menyerap aspirasi masyarakat dengan memberikan kesempatan pilihan usaha budidaya yang akan digeluti pasca-pengalihan. Karena sebenarnya, mereka pada awalnya pembudidaya ikan, jadi kami akan kembalikan pada profesi semula,” jelas dia.

Sementara, Direktur Badan Layanan Usaha (BLU) KKP Sharif Syahrial mengungkapkan, pihaknya siap membantu akses pembiayaan pengembangan usaha budidaya melalui sistem pinjaman lunak. Kata dia, masyarakat tinggal mengajukan proposal pinjaman melalui pendamping BLU yang ada di daerah masing-masing dan kemudian ditindaklanjuti.

Sekretaris Jenderal KKP Rifky Effendi Hardijanto mengapresiasi kesadaran masyarakat eks penangkap benih lobster untuk menghentikan kegiatannya. Menurutnya, ini menandakan masyarakat mulai memahami pentingnya pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Rifky mengungkapkan, setidaknya 4 juta ekor benih lobster yang bernilai ekonomi sangat besar, setiap tahun keluar dari NTB dengan tujuan utama ke Vietnam. Menurutnya, fenomena eksportasi benih lobster tersebut justru menguntungkan negara lain, sementara Indonesia tidak bisa merasakan nilai tambah apa-apa.

“Pemerintah sadar bahwa implementasi aturan ini pasti akan memberikan dampak ikutan yang akan mempengaruhi ekonomi masyarakat. Pemerintah tidak akan tinggal diam, telah siapkan antisipasi atas dampak ikutan tersebut dengan memberikan kompensasi berupa dukungan usaha pembudidayaan ikan,” pungkasnya.

 

Nelayan menunjukkan anakan lobster yang dibudidayakan di Pantai Sepanjang, Gunungkidul, Yogyakarta. Foto: Melati Kaye

 

Pocongan lobster

Dikenal sebagai provinsi sentra produksi lobster, ikrar yang diucapkan para nelayan di tiga kabupaten NTB ini bermakna sangat dalam. Alasannya, rencana Pemerintah untuk menjaga potensi lobster yang masih ada bisa terus berlanjut. Selain berikrar, para nelayan juga memusnahkan ribuan alat tangkap benih lobster atau dalam istilah nelayan setempat disebut pocongan.

Pemusnahan pocongan dilakukan dengan cara dibakar di Teluk Bumbang yang merupakan salah satu sentral terbesar tangkapan benih lobster di Lombok. Di teluk tersebut, sedikitnya ada 1.000 lubang keramba jaring apung (KJA) yang di dalamnya berisi pocongan. Itu berarti, dalam sehari bisa puluhan ribu benih lobster yang tertangkap dan diperjualbelikan secara ilegal.

Padahal, selain Teluk Bumbang, sentra benih lobster di Lombok ada juga di empat lokasi lainnya, yakni Teluk Awang, Teluk Gerupuk, Teluk Ekas, dan Teluk Sepi. Artinya, jumlah tangkapan benih lobster setiap hari diperkirakan berkali lipat banyaknya.

 

Baca juga: Penyelundupan Benih Lobster Bernilai Jutaan Dolar AS Berhasil Digagalkan

 

Panjang Jumadi, nelayan yang biasa menangkap benih lobster, mengaku menghentikan aktivitas menguntungkan tersebut karena sadar bahwa kegiatan tersebut tidak benar. Karenanya, dia bersama masyarakat sepakat beralih ke usaha perikanan budidaya.

Sebagai gambaran bagaimana tingginya eksploitasi benih lobster, pada 2015 ada upaya penyelundupan 1,9 juta ekor benih lobster senilai Rp98,3 miliar ke berbagai daerah dan luar Indonesia. Sementara, dalam rentang 2014 total benih lobster yang keluar dari NTB tercatat 5,6 juta ekor dengan nilai mencapai Rp130 miliar.

 

“Lobster prasejarah” Yawunik kootenayi yang membuka kunci bagi pemahaman baru tentang evolusi arthropoda. Inilah fosil mirip lobster, jauh sebelum masa dinosaurus. Sumber foto: University of Toronto via Sci News.com

 

Kesadaran masyarakat

Ikrar dari warga dan nelayan di tiga kabupaten di NTB, menjelaskan bahwa saat ini pemahaman masyarakat tentang pentingnya menjaga sumber daya laut, perlahan tapi pasti, meningkat. Masyarakat semakin sadar bahwa menangkap benih lobster ataupun lobster dengan ukuran berat maksimmal 200 gram atau lebih kecil lagi dan sedang bertelur, adalah kesalahan.

“Kami juga bersedia memusnahkan alat tangkap benih, dan turut serta menjaga kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan. Serta, sepakat melaporkan penerima bantuan yang masih melakukan aktivitas penangkapan benih kepada Pemerintah dan aparat terkait,” ucap Legur, nelayan dari Lombok Tengah yang berikrar di depan pejabat Pemprov NTB dan masyarakat.

Selain Legur, ada juga Saeful Rizal, nelayan dari Lombok Barat, dan Lalu Mahruf, nelayan dari Lombok Timur. Ketiga nelayan itu, menjadi wakil dari tiga kabupaten saat melakukan ikrar. Saat berikrar, selain berjanji tidak akan menangkap benih lobster lagi, ketiganya juga berjanji bersama masyarakat akan mulai beralih ke usaha budidaya ikan.

Slamet Soebjakto berpendapat, dengan adanya ikrar dari nelayan dan masyarakat di tiga daerah tersebut, menunjukkan bahwa implementasi Permen KP Nomor 56 Tahun 2016 semakin bagus.

“Implementasi Permen ini bukan semata-mata didasarkan pada niatan untuk mematikan usaha masyarakat, namun Pemerintah justru ingin menyelamatkan kepentingan yang lebih besar. Yaitu, bagaimana menyelamatkan sumber daya lobster agar nilai ekonominya bisa dinikmati secara jangka panjang,” ungkap dia.

Menurut Slamet, meski ada yang menentang dengan pemberlakuan Permen tersebut, semua harus disikapi sebagai bagian dari pembelajaran bangsa Indonesia yang mengemban tugas dan tanggung jawab untuk mengelola sumber daya berkelanjutan. Aspek keberlanjutan harus dimaknai oleh semua pihak sebagai proses untuk memanfaatkan sumber daya tanpa mengorbankan generasi mendatang.

“Mereka juga punya hak yang sama atas sumber daya yang ada, kuantitas maupun kualitasnya,” ucap dia.

Pentingnya menumbuhkan kesadaran di NTB, menurut Slamet, karena di provinsi ini banyak potensi sumber daya kelautan yang bisa diandalkan, terutama lobster. Untuk itu, penting menjaga kelestarian aset tersebut, sehingga siklus kehidupan lobster berjalan normal.

“Jika eksploitasi benih lobster terus berlangsung, dipastikan siklus kehidupan lobster akan terputus, dampaknya adalah ketersediaan stok lobster di alam akan menurun drastis. Sangat mungkin, anak cucu kita tidak akan mengenali lagi komoditas satu ini,” paparnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,