Titiek Kartika, Pakar Gerakan Perempuan dan Lingkungan Hidup

 

 

Tidak mudah menemukan pakar yang mengerti gerakan perempuan dan lingkungan hidup. Dari sedikit nama yang muncul sebagai referensi, Titiek Kartika Hendrastiti, adalah yang paling menonjol. Aktivis dan penulis ini telah membuat pilihan “out of the box” untuk mengajak kita memahami bahwa perusakan alam identik dengan perusakan “tubuh” perempuan. Dan perempuan, memiliki perlawanan menggunakan simbolisasi itu.

“Perempuan bisa mendefinisikan masalah berdasarkan pengalaman kesehariannya, pengalaman tubuh. Bukan wacana. Bagi perempuan, kehidupan yang bersentuhan langsung dengan alam akan membuatnya menerjemahkan kerusakan alam atau lingkungan hidup itu sebagaimana kerusakan tubuhnya. Tubuhnya yang bicara,” ujar Titiek kepada Mongabay Indonesia saat ditemui beberapa waktu lalu.

Misalnya, perlawanan perempuan Desa Penago Baru dan Pasar Seluma, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu terhadap perusahaan tambang pasir besi. Perlawanan dilakukan bukan karena ancaman kelestarian lingkungan hidup, melainkan juga pemusnahan kehidupan dan penghidupan mereka. Perlawanan diakukan dengan “Mengibas Baju”, “Memeluk Masjid” dan “Menangkap Burung” yang berkontribusi mengusir perusahaan tersebut.

 

Baca: Pengetahuan Perempuan Sangat Dibutuhkan untuk Menyelamatkan Situs Warisan Dunia

 

Mereka melawan kekuatan yang luar biasa dengan keberanian luar biasa juga. Itu karena perempuan bisa menerjemahkan kerusakan lingkungan dengan kerusakan tubuh mereka. Terutama mengenai asal muasal, rahim misalnya, memang mereka tidak menerangkan itu, mereka menjalankan karena nalurinya. “Mereka mempertahankan tanah seperti mempertahankan rahim,” terang Titiek yang menuliskannya dalam buku Perempuan Lokal vs Tambang Pasir Besi Global.

Begitu pula dengan perempuan di Desa Praikaroku Jangga, Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Perlawanan mereka terhadap perusahaan tambang emas bukan hanya khawatir biji emas akan habis, melainkan karena ancaman krisis air bersih. Bagi perempuan, kebutuhan air lebih nyata dibandingkan laki-laki. Bukan hanya untuk keperluan rumah tangga, tetapi juga untuk membersihkan tubuh, termasuk organ seksual seperti saat menstruasi. “Semuanya kembali ke tubuh,” ujar Titiek yang sedang menyelesaikan tulisan tentang perlawanan perempuan di Desa Praikaroku Jangga.

Gerakan perempuan tidak pantas disebut second line atau pendukung. Walau tidak di garis depan, misalnya di dapur untuk menyediakan konsumsi, akan tetapi ini bagian dari gerakan utama. Bila tidak ada perempuan yang berperan memasak atau menyedikan konsumsi, perjuangan laki-laki sulit berjalan. Bahkan, dalam kasus laki-laki (suami) masuk penjara, perempuan (istri) yang berperan utama dalam menyikapinya.

“Mulai dari mencari pengacara, mempertahankan anak tetap sekolah, mengumpulkan segala sumber daya untuk menegakkan rumah dan desa, semuanya di tangan perempuan. Walaupun, pada masa damai, keberadaan perempuan biasanya tidak diakui penting, hanya ketika krisis,” ujar Pembantu Dekan 1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Bengkulu.

 

Titiek Kartika bersama perempuan Dusun Paponggo, Desa Praikaroku Jangga, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Foto: Dok. Titiek Kartika

 

Ubah haluan

Titiek yang merupakan alumni Universitas Gadjah Mada mulai mendalami konsep gerakan sosial, khususnya perempuan saat melanjutkan S2 di Institute of Social Studies, Belanda. Pemilik diploma nondegree dalam bidang Women and Migration pada International Women’s University, Jerman ini, mulai aktif terlibat gerakan perempuan setelah bergabung pada Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi tahun 2000. “Mulai terlibat dalam gerakan perempuan dan politik dengan isu utama memperbanyak jumlah perempuan di lembaga strategis,” kenangnya.

Menjadi representasi pada Asia-Pacific Forum for Women, Law and Development (APWLD) mulai 2006, dan terlibat dalam jaringan Women, Law and Development International (WLDI) dan Centre for Asia-Pacific Women In Politics (CAPWIP), Titiek kian yakin mendalami isu perempuan dan politik, di luar isu representasi perempuan di lembaga strategis. “Tetapi juga ada isu yang diperbincangkan dalam politik, termasuk pembangunan berkelanjutan yang juga membahas perempuan dan lingkungan hidup,” ujar anggota Regional Network on Poverty Eradication (RENPER) sejak 2012 ini.

 

Titiek Kartika yang terus menulis isu tubuh gerakan perempuan dan lingkungan hidup guna membuka cakrawala berpikir generasi muda. Foto: Dok. Titiek Kartika

 

Titiek memutuskan untuk mendalami gerakan perempuan dan lingkungan hidup saat melanjutkan S3 di Universitas Airlangga pada 2009. Ia ingin ada perubahan signifikan terhadap kehidupan perempuan. “Ada sedikit frustasi dengan isu perempuan dalam lembaga strategis. Saya banting stir, berpikir akan lebih berguna bila terlibat pada isu-isu yang menjangkau perempuan yang terpuruk,” ujar Titiek yang ikut merintis Networking Studi Perempuan dan Program Studi Gender dan Perempuan di ASEAN (SEAWSC).

Menurut Titiek, memang belum banyak kajian tentang isu tubuh (seksualitas) perempuan dan lingkungan hidup. Umumnya, kajian tentang pembagian kerja secara seksual yang menjadi awal ketimpangan. “Setiap orang yang belajar sesuatu akan mengalami fenomena seperti mengupas mangga. Dikupas kulitnya, ketemu bagian keras. Setelah itu, ada bagian agak lunak dan semakin lunak, hingga akhirnya dapat inti,” tutur wanita berkacamata ini.

Motivasi Titiek mengkaji dan menulis isu tubuh gerakan perempuan dan lingkungan hidup adalah ingin membuka cakrawala berpikir generasi muda. Khususnya, perempuan untuk melihat kerusakan lingkungan hidup yang merupakan bagian dari ketidakadilan pembangunan. “Sangat berbahaya juga bila perempuan tidak memiliki pemahaman dan pengalaman terhadap lingkungan hidup. Apalagi, kebutaan kita tentang sesuatu yang dinamakan moderenisme, akan balik ke kita sendiri. Intinya, kita memiliki tugas untuk mendekatkan generasi muda pada lingkungan hidup,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,