Tarian Tarawangsa Susi Pudjiastuti, Wujud Syukur Alam Indonesia yang Terjaga

 

 

Rabu (19/7/2017) siang, ada yang tak biasa di ruang pertemuan Gedung Mina Bahari (GMB) III Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta. Di ruangan tersebut, musik tradisional sunda terdengar menggema ke seluruh ruangan yang terletak di lantai 1. Keindahan nadanya yang berasal dari alat musik rebab, suling, dan kecapi itu, berpadu sempurna dengan tarian yang dibawakan sekelompok pria dan wanita paruh baya dari Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang.

Kesenian tradisional khas Provinsi Jawa Barat yang dimainkan di salah satu gedung milik KKP itu, tidak lain adalah karena pada siang tersebut, sang penggawa gedung, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mendapatkan anugerah dari Dewan Kesepuhan Masyarakat Adat atau Baresan Olot Masyarakat Adat (BOMA).

Wadonna Pinunjul, demikian nama anugerah yang didapat perempuan berdarah Jawa kelahiran Kabupaten Pangandaran itu, adalah anugerah tertinggi yang diberikan oleh sesepuh masyarakat Sunda kepada satu tokoh asal Jawa Barat yang dinilai berjasa untuk kategori tertentu. Dan, Susi Pudjiastuti dinilai masuk kategori untuk mendapatkan anugerah tersebut.

Duta BOMA Eka Santosa sesaat sebelum memberikan anugerah, bercerita kepada tamu undangan yang ada di depannya. Dia mengatakan, terpilihnya nama Susi Pudjiastuti bukan saja pada pertimbangan prestasinya yang meroket dalam 2,5 tahun terakhir bersama KKP. Lebih dari itu, dia menyebut bahwa Susi sudah sejak lama memperlihatkan jiwa sosial yang tinggi untuk Jabar dan Indonesia.

“Susi itu sudah memberikan bukti kepada kita bahwa kepeduliannya dalam menjaga sumber daya laut sudah memberi dampak signifikan untuk dunia perikanan dan kelautan,” ucap dia.

Upaya yang sudah dilakukan perempuan lulusan SMP itu, menurut Eka, sejalan dengan BOMA yang selama ini fokus mengampanyekan kearifan lokal dalam setiap sektor kehidupan. Salah satunya, adalah sumber daya laut.

Eka mengungkapkan, anugerah yang diberikan pada siang tersebut, sebenarnya bukanlah anugerah baru. Tapi, jauh sebelum Susi terpilih menjadi menteri, BOMA sudah memberikan anugerah tersebut pada 2012.

“Wadonna Pinunjul, anugerah yang diberikan untuk beliau, adalah anugerah yang istimewa karena diberikan kepada perempuan yang dinilai memiliki keunggulan dibandingkan perempuan lain. Dan, pada 2012, BOMA menilai Susi unggul dari perempuan lain di Jawa Barat,” papar dia.

Eka kemudian melanjutkan cerita. Di awal 1990-an, Susi sudah menarik perhatian para sesepuh BOMA karena saat itu Susi dengan lantang bersuara di barisan paling depan untuk menentang rencana penyudetan Sungai Citanduy di Kabupaten Ciamis yang menjadi induk dari Kabupaten Pangandaran.

“Kiprahnya yang serba menonjol dalam memberdayakan masyarakat serta perhatian dan kepeduliannya terhadap lingkungan hidup terbilang pol. Susah mencari yang seperti Ibu Susi, sayang laut, sayang sungai, sayang hutan, dan sayang ke rakyat kecil,” sebut dia merinci.

Karena dinilai sudah berjasa untuk lingkungan, Eka mengatakan, saat penganugerahan yang digelar siang tersebut, para sesepuh yang disebut sebagai olot-olot dan datang dari 20 kampung adat di tatar Sunda, sengaja datang ke Jakarta langsung. Kedatangan mereka itu, ingin menegaskan bahwa sesepuh Sunda ikut memberi semangat kepada Susi yang saat ini sedang memikul beban berat sebagai menteri.

 

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi ikan melimpah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pidato Bahasa Sunda

Sebelum anugerah diberikan, sebuah prosesi yang memakai adat istiadat Sunda buhun (kuno) digelar di ruangan tersebut. Selain tetarian yang dibawakan para pria dan wanita setengah baya, musik khas Sunda juga kembali menggema ke seisi ruangan. Sejurus kemudian, seorang perempuan yang mengenakan pakaian khas, datang menyanyikan kidung sunda.

Perempuan berpakaian serba putih itu, bernyanyi dengan suara khas sinden dan berkeliling panggung. Tak lama kemudian, Susi naik ke atas panggung dan memberikan salam hormat dengan mengatupkan kedua telapak tangan di atas dada sembari membungkukkan badan sedikit.

Sembari membawakan kidung Sunda, sang perempuan yang diketahui bernama Rita Laraswati, kemudian menyerahkan sinjang atau kain khas yang biasa dililitkan di tubuh perempuan Sunda dan dipadu dengan kebaya. Selain sinjang dan kebaya, sebuah ikat kepala juga disematkan ke kepala Susi Pudjiastuti oleh dia. Semua itu, dilakukan dengan iringan musik dan tetarian khas.

Setelah itu, Susi kembali mengatupkan tangan di dada sebagai tanda ucapan terima kasih dengan badan membungkuk. Dilanjutkan, dengan pidato ucapan terima kasih yang dibawakan dalam bahasa sunda, bahasa yang biasa digunakan masyarakat Pangandaran, tempat dia dilahirkan dan dibesarkan.

“Sampurasun,” demikian kata pertama yang diucapkan dia seusai menerima anugerah dan langsung disambut kompak oleh tamu undangan dengan jawaban “rampes”.

Seusai kata tersebut, Susi berterima kasih dan tak lupa meminta maaf karena pada 2012 tidak menghadiri prosesi pemberian anugeran Wadonna Pinunjul. Kemudian, dia bercerita tentang masa kecil dan besarnya di Pangandaran yang diwarnai dua budaya, Jawa dan Sunda.

“Walau di rumah biasa menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa resmi, namun di luar rumah saya berbahasa Sunda. Karena, masyarakat di sana mayoritas berbahasa itu. Juga, para pekerja yang bekerja dengan saya, mereka adalah kebanyakan orang Sunda. Tapi, Sunda saya logatnya agak kasar,” ucap Susi.

Mendapat anugerah tersebut, Susi mengaku semakin termotivasi untuk berbuat lebih baik bagi bangsa dan negara. Dia berjanji akan ikut menjaga sungai, lautan, hingga daratan yang ada di Nusantara.

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mendapatkan anugerah dari Dewan Kesepuhan Masyarakat Adat atau Baresan Olot Masyarakat Adat (BOMA). Foto: Biro Kerja Sama dan Humas KKP

 

Tari Tarawangsa

Seusai prosesi pemberian anugerah yang dilanjutkan sesi tanya jawab dengan sesepuh Sunda, Susi didaulat oleh sesepuh untuk membawakan tari tradisional khas Sunda yang hampir punah. Tarian tersebut adalah Tarawangsa yang biasanya dibawakan sebagai ekspresi rasa syukur kepada Gusti Nu Maha Suci atau Tuhan Yang Maha Esa.

Rita Laraswati, pegiat budaya asal Kabupaten Garut yang melaksanakan prosesi mengenakan kain sinjang, baju kebaya dan ikat kepala kepada Susi Pudjiastuti, menjelaskan bahwa Tarawangsa adalah kesenian tradisional asli Jawa Barat yang keberadaannya saat ini nyaris punah.

“Tarian ini biasanya dibawakan pada acara hajatan, masa tanam atau panen padi. Tarian ini biasanya hanya ditemukan di Rancakalong (Sumedang), Cibalong dan Cipatujah (Kabupaten Tasikmalaya), Banjaran (Kabupaten Bandung), dan Kanekes (Banten),” ungkap dia.

Rita menambahkan, selain masa tanam dan panen, Tarawangsa di masa lalu juga biasa dimainkan pada prosesi khas seperti Ngaruwat, Ngalaksa, Ngarosulkeun, dan Buku Taun. Tak hanya itu, Tarawangsa juga biasanya dimainkan pada acara-acara hajatan seperti kenduri pernikahan dan khitanan.

Tari Tarawangsa tersebut, kata Rita, biasanya dimainkan dengan diiringi alat musik seperti rebab dan kecapi. Sebagai tarian klasik dan bentuk ucap syukur, Tarawangsa biasanya dibawakan tanpa bantuan penyanyi atau sinden yang di masa lalu sudah maklum ada dalam setiap perayaan.

Rita menyebut, sebagai tarian klasik dan kuno, Tarawangsa diduga sudah ada sejak masa kerajaan dulu dan biasanya dimainkan oleh para penari dengan menggunakan perlengkapan seperti selendang warna warni: kuning, putih, merah, dan hijau.

“Tetapi, kini, setelah waktu mendesak ke masa moderen, Tarawangsa terus mengalami perubahan dan kini menjadi kesenian dengan unsur magis. Menari Tarawangsa, berarti menari untuk mencari kedamaian jiwa,” jelas dia.

Dengan makna dalam yang terkandung di dalamnya, Rita menyebut, Tarawangsa yang dibawakan Susi Pudjiastuti diharapkan bisa memberi kedamaian dan identitasnya sebagai perempuan dari tanah Sunda. Identitas yang tetap dibawa selamanya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,