Dibekuk, Pedagang Cula Badak dan Organ Satwa Liar Dilindungi di Aceh Selatan

 

 

Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Aceh berhasil membongkar kasus perdagangan anggota tubuh satwa liar dilindungi. Saat konferensi pers yang digelar di Aula Reskrimsus Polda Aceh, Banda Aceh, 20 Juli 2017, sejumlah barang bukti berupa cula badak sumatera, sisik dan lidah trenggiling, serta janin dan kepala rusa yang telah diawetkan, diperlihatkan.

Direktur Reskrimsus Polda Aceh, Kombes Pol. Drs. Armensyah Thay menyebutkan, cula badak sumatera dan sejumlah anggota tubuh satwa dilindungi tersebut, disita dari pedagang satwa di Desa Batu Hitam, Kecamatan Tapak Tuan, Kabupaten Aceh Selatan, 12 Juli 2017 lalu.

“Lelaki berinisial AS (53 tahun) pelakunya. Anggota reskrimsus langsung mendekati pelaku, menyamar sebagai pembeli sisik trenggiling,” ujarnya.

Armensyah mengatakan, setelah cocok dengan harga sisik yang ditawarkan, tim sepakat bertemu di rumah pelaku. “Begitu tiba di lokasi, pelaku kami tangkap dan semua barang bukti kami sita. Ada satu cula badak, satu kepala rusa, dua janin rusa yang diawetkan, empat kilogram sisik trenggiling, 29 lidah trenggiling, serta timbangan.”

 

Baca: Badak Sumatera, Apakah Baik-baik Saja di Habitatnya?

 

Diduga, pelaku telah setahun menjalankan aksi ini, khususnya menjual sisik dan lidah trenggiling. Dia membeli dari masyarakat, setelah itu menjual kembali.

“Terkait cula badak dan kepala rusa yang lengkap dengan tanduknya, pelaku mengaku bukan miliknya, titipan untuk dijual. Cula badak telah disimpan cukup lama, tapi kasus ini masih dikembangkan.”

Armensyah mengatakan, pelaku dijerat Pasal 40 ayat (2) juncto Pasal 21 ayat (2) Huruf A, B, dan D, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 juncto Pasal 55, 56 KUHP. Pelaku diancam lima tahun penjara. “Penangkapan ini merupakan kasus pertama sepanjang 2017, terkait penjualan satwa lindung yang berhasil ditindak,” tuturnya.

 

Cula badak sumatera yang disita dari pelaku AS, di Aceh Selatan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Cula badak

Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo yang turut hadir menjelaskan, cula badak yang disita itu merupakan hasil perburuan yang disimpan cukup lama. Dari pengakuan pelaku, cula itu adalah warisan.

“Sepengetahuan kita, pemburuan badak di Aceh tidak ada, karena tim patroli dari berbagai lembaga seperti WCS dan FKL sangat intensif menjaga hutan.”

Lokasi keberadaan badak di Aceh juga sangat dirahasiakan, mengantisipasi masuknya pemburu. “Badak sangat sensitif, pemalu dan sangat sulit untuk kawin. Tidak sama dengan satwa lain, badak memilih pasangannya dengan musim kawin yang singkat.”

Sapto juga menambahkan, saat ini satwa yang paling banyak diburu di Aceh adalah harimau, gajah, orangutan, rangkong, rusa, trenggiling dan beberapa satwa dilindungi lainnya. Padahal satwa-satwa ini adalah kekayaan Aceh yang harus dijaga. “Karena terus diburu, populasi satwa-satwa ini terus menurun jumlahnya,” ujarnya.

Manager Konservasi Forum Konservasi Leuser (FKL) Rudi Putra menyebutkan, mengenai perburuan badak sumatera di Aceh, tim patroli FKL beberapa kali menemukan adanya tanda-tanda kegiatan tersebut. Tapi, khusus di daerah yang dipantau FKL, para pemburu tidak bisa menjalankan aksinya.

“FKL memiliki tim patroli yang bertugas membatasi ruang gerak pemburu satwa terancam punah, seperti badak, harimau, gajah, orangutan sumatera, dan satwa lain.”

Rudi menyebutkan, pemburu badak sumatera dan satwa liar lainnya di Aceh, bukan hanya masyarakat setempat, tapi juga sering ditemukan dari luar semisal Padang, dan Lampung. Mereka menyewa masyarakat lokal sebagai penunjuk arah.

“Badak sumatera itu satwa yang sangat pemalu dan sensitif, tidak bisa diburu sembarang orang. Butuh waktu yang lama dan modal banyak, pelaku juga akan menghabiskan banyak waktu di dalam hutan,” tuturnya.

 

Badak sumatera memiliki pendengaran dan penciuman yang tajam. Tubuhnya juga dipenuhi rambut yang pendek dan kaku. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Tidak jera

Kepala Divisi Kampanye dan Advokasi Walhi Aceh, Muhammad Nasir mengatakan, maraknya perburuan satwa langka dan dilindungi di Aceh, salah satu penyebabnya adalah, hukum yang ada belum memberi efek jera pelaku.

“Rendahnya hukuman yang dijatuhkan pengadilan, dua atau tiga tahun, tidak membuat pelaku takut.”

Selain hukuman dan denda yang rendah, kasus kejahatan perdagangan satwa liar yang selama ini terungkap, hanya sampai kepada para pemburu atau perantara. Sementara, penampung besar tidak pernah terjamah.

“Penampung atau pembeli anggota tubuh satwa liar itu bukan lah orang biasa. Jika mereka tidak ditangkap dan mata rantai perdagangan tidak diputus, perburuan akan terus terjadi,” pungkasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,