Ekowisata, Bentuk Upaya Pelibatan Warga Untuk Jaga Kawasan TN Bali Barat

Pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa dilakukan tanpa pelibatan masyarakat sekitar. Selain sebagai strategi mitigasi konflik antara pengelola dengan warga, pelibatan masyarakat berarti memberi peluang memperoleh manfaat dari keberadaan kawasan konervasi.

Seperti di Taman Nasional Bali Barat (TNBB), dengan makin dikenalnya wilayah ini oleh turis, masyarakat mulai dilibatkan sebagai pemandu wisata alam.

Minasya misalnya. Perempuan berumur 39 tahun, ibu tiga orang anak asal Desa Sumber Klampok, Kabupaten Buleleng. Desanya merupakan penyangga kawasan TNBB, bersama Desa Belimbingsari dan Kelurahan Gilimanuk.

Ia terlihat duduk santai di pos wilayah II Buleleng, bersama beberapa rekannya dari Bali Starling Volunteer, sebuah komunitas warga pemandu wisata dalam kawasan TNBB. Namanya terambil dari jenis burung maskot TNBB, curik bali.

“Saya di sini menunggu tamu.” Ia salah satu anggota tertua dari belasan anggotanya yang rata-rata anak muda, pelajar dan mahasiswa.

Artikel sebelumnya: Bukan Penebangan Liar, Sampah Ternyata Jadi Masalah Berat di TN Bali Barat

Ia menunjukkan selembar kertas laminating berisi rincian paket wisata. Tertera angka-angka harga di tiap detail paketnya. Menunjukkan jenis wisata, durasi waktu, harga, dan keterangannya.

Ada paket jungle trekking, short jarak pendek sekitar 2 jam, medium 3-4 jam, dan long 4-5 jam. Harga short trekking Rp750 ribu untuk 1-2 orang termasuk harga tiket masuk dan upah pemandu. Jika dikurangi tiket masuk 2 orang Rp400 ribu di hari biasa, pemandu bisa mendapat upah Rp350 ribu.

Ada juga safari trip, mangrove tour, bird watching, snorkeling tour, dan scuba dive. “Saya baru bisa memandu jungle trekking dan safari trip, kalau bird watching dan snorkeling belum bisa,” katanya. Jika turis berminat, ada petugas khusus lainnya.

Ikhwal komunitas warga ini dilibatkan dalam pengelolaan TNBB adalah bagian dari program desa binaan. Awalnya mereka dilatih bahasa Inggris. Para pemandu warga yang serius melanjutkan dengan praktik langsung dan belajar otodidak. “Banyak istilah yang saya pelajari dari turis,” lanjut Misnaya.

Lucunya, tamu pertamanya wisatawan asal Tiongkok. Karena sama-sama tak lancar bahasa Inggris, akhirnya keduanya menggunakan bahasa gerak tubuh.

 

Misnaya, salah satu warga yang menjadi pemandu wisata di Bali Starling Volunteer. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Para turis mancanegara yang menikmati hutan, menurut Misnaya sangat terkesan dengan satwa seperti lutung hitam. Apalagi kalau mereka sedang bergerombol dari satu pohon ke pohon lainnya. Satu kelompok menurutnya bisa lebih dari 5 ekor.

“Lutung pemalu. Cepat larinya. Harus mengendap kalau mau lihat,” tuturnya. Monyet ekor panjang sepupu lutung malah sebaliknya, gemar mendekati manusia untuk minta makanan.

Misnaya mengaku tak mematok penghasilan. Kalau musim sepi, menurutnya paling dapat Rp1 juta sebulan. Ia bekerja walau bulan puasa, saat Ramadhan ia masuk hutan tiga kali.

Misnaya mengaku senang dengan program pelibatan warga sebagai pemandu ini. Sayangnya banyak jua anak muda anggota lain tak bertahan.

“Mungkin kurang pede berbahasa. Juga kurang waktu dan masih sekolah. Tapi, mereka senang masuk hutan, minimal bisa selfie dan buat jalur trekking,” paparnya soal kegiatan Bali Starling Volunteer ini.

Selain menambah penghasilan keluarga. Manfaat lain, ia merasakan perubahan perilaku. Ia jadi turut ikut melestarikan dan menjaga alam. “Dulu saya lihat illegal logging biasa saja, sekarang ngenes. Lihat lutung saja senang, padahal dulu sering lihat biasa saja,” tuturnya.

Hery Kusumanegara, salah satu petugas TNBB spesialis bird watching menyebut pemandu warga dari Bali Starling Volunteer sangat membantu karena petugas Pengendali Ekosistem Hutan sedikit sementara pengunjung banyak. Hanya ada sekitar 108 orang pegawai TNBB untuk mengampu area konservasi seluas lebih dari 19 ribu hektar ini.

Upaya-upaya lain merangkul warga desa tetangga menurutnya sangat penting. Karena konflik pasti ada, tinggal strategi mitigasi. “Tugas kita berbenah saja untuk menjaga kawasan. Ekowisata sedang tren,” ucapnya.

Ia menyebut bird watching digemari turis mancanegara, dan ini menurutnya tak sulit di TNBB. Tinggal menyodorkan daftar burung dan arahkan turis ke lokasi penyebarannya. Ia menyebut ada 35 jenis endemik Bali dan Jawa, termasuk falcon pancawarna, raja udang, jalak putih, dan lainnya.

 

Perahu wisata di Karang Sewu yang diusahakan oleh warga setempat. Foto; Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Gundahnya Nelayan Teluk Karang Sewu

Namun peluang dari wisata belum merata. Sejumlah nelayan di Karang Sewu, salah satu kawasan laut TNBB berharap bisa dilibatkan lebih intensif dalam pengelolaan TNBB. Mereka sedang gundah karena mendengar TNBB akan lakukan penataan fasilitas wisata di kawasan padang rumput, laut, dan mangrove ini.

Karang Sewu memang indah, baru masuk pintu gerbang saja kesejukan sudah menyambut. Di sini ada petugas menyorongkan tiket masuk Rp10 ribu untuk satu mobil. Kemudian jalan tanah memandu ke padang rumput dan mangrove. Beberapa pohon di pinggir laut digunakan sebagai berteduh dan piknik. Kendaraan masih bisa parkir di mana saja. Sejumlah warung perlu ditata agar lebih bersih dan rapi.

Sebuah dermaga kayu kecil menjadi salah satu spot favorit. Ada yang memancing dan beberapa perahu nelayan. Dua nelayan berusia 30-an tahun menyapa ramah, bernama Miftahudin dan Pujiantoro.

“Ayo keliling pulau dengan perahu, lewat mangrove dan Gilimanuk,” katanya tanpa nada memaksa. Mereka menawarkan satu perahu Rp100 ribu untuk 4 orang.

Kami menyetujui. Perahu melaju ke arah timur ke dekat lebatnya mangrove. Ada kapal-kapal kecil nelayan sedang mencari ikan dan kepiting.

Kemudian mendekati zona Segara Rupek, Lampu Merah, Pulau Gadung, Burung, Kalong, Teluk Lumpur, Batu Payung, dan Teluk Buaya. Semua pulau-pulau super mini itu berupa rumpun-rumpun mangrove. Dinamakan sesuai bentuk dan isinya di masa lalu.

Kemudian memutar ke barat melewati Pelabuhan Gilimanuk. Lalu mengarah ke arah dermaga melewati beberapa spot seperti patung Siwa, patung Buddha tidur di dekat pelabuhan, dan pantai-pantai kecil. Sudah tak ada pasir di pesisir sekitarnya, hanya karang-karang mati menjadi krib penahan ombak. Mungkin karena itu disebut Karang Sewu. Karang yang padat dan rapat.

“Ini tempat kami main waktu kecil, dulu karangnya putih,” ujar Miftahudin. Dulu hutan dan padang savanna disekitarnya masih lebat. Kini kawasan hijau berkurang diisi pemukiman, seiring padatnya kawasan sekitar pelabuhan Gilimanuk.

Di balik potensi wisata yang ada, keduanya risau dengan dampak penataan kawasan oleh TNBB. Mereka mendengar dermaga akan dipebaharui lebih panjang, lalu akan ada restoran apung, dan fasilitas lain.

“Kami takut tak bisa lagi ikut mengelola daerah ini, kami rintis wisata naik perahu keliling selain cari ikan,” lanjut Miftahudin tentang zona perairan tradisional di TNBB ini.

Mereka berharap TNBB melibatkan warga sekitar dan kelompok nelayan mengelola pengembangan kawasan wisata yang akan dilakukan mulai tahun 2017 ini. Tujuannya, agar tak tergusur dan mengurangi pengangguran. Jelasnya, Kelompok Nelayan Karang Sewu menurut mereka berjumlah sekitar 30 orang.

Mereka pun mengaku dalam memandu wisata, turut terlibat menjaga kebersihan, seperti memungut sampah yang ditinggalkan para pengunjung.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,