Opini: Aturan Perlindungan Kearifan Lokal Belum Sepenuhnya Melindungi

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan aturan pelaksana tentang pengakuan dan perlindungan kearifan lokal melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.34  2017. Permen ini mendasarkan diri pada mandat Pasal 63 ayat 1 huruf t UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

Tulisan ini untuk menelaah aspek normatif pengaturan kearifan lokal dalam UU PPLH dan Permen LHK No.34/2017 guna melihat proyeksi pelaksanaan hukum, terutama terkait persoalan perlindungan masyarakat adat dalam praktik mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup. Terutama perlindungan masyarakat adat atas praktik membakar lahan berdasarkan kearifan lokal.

 

Kerangka konsep kearifan lokal

Kearifan lokal secara luas dimaknai sebagai sistem tatanan yang hidup dalam masyarakat adat, baik bidang sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup. Sedangkan dalam pendekatan lebih khusus, kearifan lokal merupakan strategi masyarakat adat memenuhi kebutuhan dan menghadapi berbagai permasalahan kehidupan (Wagiran 2011).

Keraf (2010) menjelaskan kearifan lokal ini dalam lima atribut, pertama, kearifan lokal sebagai milik komunitas dari hasil relasi dengan alam, kedua, kearifan lokal adalah pengetahuan praktis.

Ketiga, kearifan lokal bersifat holistik, keempat, kearifan lokal adalah standar moral komunitas, dan kelima,  kearifan lokal adalah pengetahuan lokal dan bersifat partikular.

Penjelasan tentang atribut-atribut kearifan lokal ini menunjukkan bahwa keberlangsungan relasi masyarakat adat dengan sumber daya alam vital melingkupi berbagai aspek kehidupan.

Arti penting keberlanjutan relasi sumber daya alam dengan masyarakat adat, misal, terlihat dalam nilai kearifan lokal orang Papua tentang “alam sebagai ibu.” Dalam konteks ini, masyarakat adat seolah tidak bisa dipisahkan dari sumber daya alam, merupakan ruang hidup dengan makna sosial, magis-relijius, sekaligus hubungan hukum (hak).

 

Pengaturan kearifan lokal dalam UU PPLH

UU PPLH mengatur kearifan lokal dalam lima hal, pertama, menjelaskan pengertian kearifan lokal (Pasal 1 ayat 30). Kedua, mengatur kearifan lokal sebagai salah satu asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 2 huruf I).

Ketiga, mengatur kearifan lokal sebagai unsur penting ekoregion dan RPPLH (Pasal 7 ayat 2 huruf e dan g serta Pasal 10 ayat 2 huruf d).

Keempat, kewajiban pemerintah melahirkan tata cara penetapan masyarakat adat dan kearifan lokal (Pasal 63 ayat 1 huruf t). Keenam, pengecualian pidana membakar lahan atau hutan oleh masyarakat adat berdasarkan kearifan lokal (Penjelasan pasal 69 ayat 1).

Pengaturan kearifan lokal dalam UU PPLH ini mengandung dua prinsip dasar, yaitu, pertama, negara berkewajiban mengakui keberadaan masyarakat adat dan kearifan lokal dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Kedua, kearifan lokal merupakan asas dan unsur penting pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

 

Aturan pelaksana kearifan lokal

Sebagai aturan pelaksana pengakuan dan perlindungan kearifan lokal, Permen LHK No.34/2017 memuat lima pokok pengaturan, yaitu,   pertama, penegasan masyarakat adat sebagai pengampu kearifan lokal di wilayah adat, kedua,  pengaturan jenis dan kriteria kearifan lokal.

Ketiga, pengaturan ruang lingkup obyek kearifan lokal, keempat, pengaturan tentang akses “pihak ketiga” terhadap kearifan lokal, dan  kelima, prosedur pengakuan masyarakat adat dan kearifan lokal.

Bila dilihat lebih dalam, muatan pengaturan kearifan lokal dalam Permen LHK No.34/2017 ini menjurus pada pengaturan kearifan lokal sebagai hak kekayaan intelektual (property rights) komunitas, dan mekanisme akses terhadap kearifan lokal atas sumber daya genetik dan keragaman hayati.

Hal ini terlihat dari dasar hukum yang dipakai, yaitu merujuk juga pada Protokol Nagoya (ratifikasi UU No.11/2013) tentang akses pada sumber daya genetik dan pembagian keuntungan adil dan seimbang yang timbul dari pemanfaatan konvensi keragaman hayati.

Dasar hukum ini selaras dengan maksud dan tujuan Permen LHK No. 34/2917 dalam Pasal 2, yaitu perlindungan hukum terhadap pengampu dan pengakses kearifan lokal. Juga jaminan pembagian keuntungan seimbang (adil) antara pengampu dengan pengakses dari pemanfaatan kearifan lokal.

Demikianlah, kerangka pengaturan kearifan lokal dalam Permen LHK No.34/2017 mengandung bias pada pemanfaatan kearifan lokal sebagai property rights, terutama untuk kepentingan pengakses kearifan lokal (individu, badan usaha dan lain-lain).

Konsekuensinya, kearifan lokal sebagai konsep holistik relasi masyarakat adat dengan alam, dan kearifan lokal sebagai pengetahuan praktis dalam mengatasi persoalan pengelolaan lingkungan hidup belum maksimal diatur.

Setidaknya ini terlihat dari, pertama,  belum dijelaskan kriteria teknis rinci tentang batasan membakar lahan berdasarkan kearifan lokal. Permen ini tampak tak berniat mengatur hal ini , terlihat dari tak dirujuknya penjelasan Pasal 69 ayat (2) UU PPLH, meskipun pasal itu mengatur obyek yang sama tentang kearifan lokal.

Akibatnya, pengaturan kearifan lokal dalam permen ini belum sepenuhnya menjangkau persoalan teknis praktik mengelola lahan atau hutan dengan cara membakar oleh masyarakat adat, hingga ancaman kriminalisasi masyarakat adat akibat belum jelas kriteria teknis membakar lahan potensial masih terus berlangsung.

Kedua, pengakuan kearifan lokal dalam permen ini belum diletakkan dalam kerangka basis pengelolaan lingkungan hidup. Permen LHK No.34/2017, tidak mempertegas eksplisit kearifan lokal sebagai basis pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, baik dalam konsideran maupun pada batang butuh pengaturannya.

Permen ini hanya menyebutkan, dalam bagian menimbang, yaitu masyarakat adat dan kearifan lokal berperan sangat penting bagi kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Klausul “peran sangat penting” dalam pertimbangan ini secara implisit memposisikan kearifan lokal elemen pendukung pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, alih-alih sebagai basis.

Penulis adalah Peneliti di Perkumpulan Untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis  (HuMa)

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,