Masih Terjadi Pro dan Kontra Pembangkitan PLTP Baturraden, Adakah Solusi?

Januari 2017 lalu, masyarakat di Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) terkejut. Air di Sungai Prukut yang melintasi desa setempat keruh.

Tak hanya itu, Curug Cipendok yang merupakah tempat wisata air terjun tersohor di Banyumas juga terkena dampaknya. Air yang biasanya jernih berubah menjadi coklat. Kolam-kolam ikan milik warga terpengaruh akibat keruhnya air tersebut.

Apa penyebabnya? Ternyata, PT Sejahtera Alam Energy (SAE) yang tengah mengerjakan proyek panas bumi penyebabnya. Perusahaan tersebut mengepras bukit dan tanahnya masuk ke aliran sungai.

(baca : Air untuk Penghidupan Warga Karangtengah Tiba-tiba Keruh, Ada Apa?)

 

 

Hal itu juga dikuatkan dengan riset yang dilakukan oleh Lingkar Kajian Banyumas (LKB). Dalam acara diskusi yang dihelat di Fisipol Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto pada akhir Februari 2017 silam, bahwa keruhnya Sungai Prukut akibat material eksplorasi geothermal masuk ke aliran sungai.

“Jadi material tersebut awalnya masuk ke Sungai Citepus kemudian mengalir ke Curug Cipendok. Sementara Curug Cipendok merupakan hulu Sungai Prukut. Padahal sungai yang mengaliri sejumlah desa tersebut dimanfaatkan oleh warga. Ada yang untuk memenuhi kebutuhan sumber air warga maupun kolam. Warga jelas-jelas dirugikan,” ungkap Novita Sari dari LKB.

Meski PT SAE kemudian membantu warga memenuhi kebutuhan air bersih yang melakukan penanganan hingga kini air sudah jernih kembali, namun mulai muncul kekhawatiran masyarakat. Pada akhirnya, terjadi demo yang melibatkan ratusan orang dengan menamakan dirinya Aliansi Selamatkan Slamet yang digelar pada Selasa (18/7/2017).

Mereka longmarch dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto menuju ke Alun alun Purwokerto. Bahkan, kemudian massa sempat menduduki Ruang Rapat Paripurna DPRD Banyumas dan Pendopo Kabupaten Banyumas. Tuntutan mereka mengkristal, menolak pembangunan PLTP Baturraden karena dinilai merusak lingkungan.

 

Demo menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB) atau geothermal yang dilakukan oleh Aliansi Selamatkan Slamet yang berlangsung di kompleks Pendopo Si Panji, Purwokerto, Banyumas, Jateng, pada Selasa (18/7/2017). Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Bahkan, saat ada acara workshop geothermal yang digelar oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Energi Baru Terbarukan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Aliansi Selamatkan Slamet juga sempat hadir dan cukup memanaskan situasi. Sebab, mereka tetap bersikukuh kalau PT SAE harus menghentikan proyek geothermal. Sejumlah perwakilan Aliansi Selamatkan Slamet merasa bahwa proyek panas bumi akan merusak lingkungan hutan Gunung Slamet, bahkan berpotensi menimbulkan bencana.

(baca : Pembangunan Pembangkit Listrik Panas Bumi Baturraden Harus Perhatikan Lingkungan)

Koordinator Aliansi Selamatkan Slamet Muflih Fuadi menegaskan bahwa ada sejumlah alasan mengapa aliansi menolak. Di antaranya adalah adanya ancaman terhadap kawasan yakni terganggunya aliran sungai, bahkan berpotensi mematikan sistem pengairan. “Ada juga potensi longsor dan banjir bandang, karena sebagian besar lereng selatan Gunung Slamet termasuk dalam zona merah atau wilayah rentan gerakan tanah,” tegasnya.

Ia mempertanyakan, apakah ada jaminan sungai-sungai yang dilewati tidak akan terdampak kekeruhan dan kualitas airnya tidak turun? “Apakah ada jaminan kalau proyek tersebut tidak menambah potensi longsor dan banjir bandang di lereng selatan? Apakah nantinya proyek ini tidak berdampak para perekonomian masyarakat? Banyak pertanyaan dari kami, ternyata saat ada pertemuan, PT SAE tidak mampu menjawab,” kata Muflih.

Menanggapi berbagai kekhawatiran itu, perwakilan dari Direktorat Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Bambang Purbiantoro mengatakan apa yang dikhawatirkan, sebetulnya sudah masuk dalam analisa dokumen. “Kalau soal data mari kita head to head untuk diadu. Sehingga nantinya ada titik temu. Tetapi, semuanya harus dalam koridor yang ilmiah,”kata Bambang.

Ia menambahkan kalau proyek tersebut tidak akan dihentikan, meski ada penolakan dari berbagai pihak. “Saya katakan proyek pembangunan PLTP Baturraden akan jalan terus. Sebab pembangunan PLTP Baturraden merupakan bagian dari proyek percepatan pembangunan energi 35 ribu megawatt (MW). Memang, dalam proyek tersebut ada pembabatan hutan, tetapi luasannya kecil jika dibandingkan dengan luasan total hutan di lereng Gunung Slamet. Apalagi, sesuai dengan aturan yang ada hutan yang ditebang harus dikembalikan lagi atau direboisasi dua kali lipat luasannya,” ujarnya.

 

Pertemuan berupa workshop geothermal yang digelar oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Energi Baru Terbarukan Unsoed yang melibatkan berbagai pihak terkait dengan PLTPB Baturraden, pada Juli 2017 di Purwokerto. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Bambang mengungkapkan sempat terjadi miskomunikasi mengenai informasi kalau luasan hutan yang ditebang mencapai 24 ribu ha. “Sama sekali tidak benar itu, karena ternyata sampai sekarang atau masa eksplorasi, hanya 45 ha yang dilakukan penebangan. Jadi, 24 ribu ha adalah wilayah kuasa pertambangan (WKP) saja. Tidak seluruhnya ditebang. Secara teori, untuk 110 megawatt (MW) PLTP hanya membutuhkan pembukaan luas areal lahan 15 ha. Kalau sekarang misalnya 45 ha, maka nanti akan dikembalikan atau reboisasi. Ingat juga, bahwa geothermal merupakan green energy. Dan saat sekarang banyak yang berbondong-bondong menginvestasikan untuk green energy,” kata Bambang.

Sementara Direktur PT SAE Bergas Rohadi mengakui adanya kekeliruan yang dilakukan pada saat keruhnya Sungai Prukut pada Januari lalu. “Terus terang, peristiwa tersebut membuat kami melakukan evaluasi total. Dan kami akan sangat berhati-hati dalam membangun proyek ini. PT SAE sebetulnya telah menempuh berbagai macam prosedur resmi untuk sampai ke tahap eksplorasi. Tentu untuk mengeluarkan izin, pemerintah pasti telah melakukan kajian dan pertimbangan yang matang. Tidak mungkin kami memperoleh izin kalau akan berdampak buruk,” jelasnya.

Ia mengakui, sampai sekarang telah membuka areal hutan seluas 45 ha. Dari pengajuan izin yang diajukan, batasan luasan yang ditebang 445 ha. “Tentu saja, PT SAE akan seminimal mungkin melakukan penebangan hutan. Sebab, sesuai dengan aturan yang ada, kami harus mengganti luasan hutan yang ditebang dua kali lipat luasnya. Kalau hitung-hitungan perusahaan, maka akan lebih efisien jika membuka areal hutan seminimal mungkin,” tandasnya.

Saat sekarang baru masuk dalam eskplorasi satu sumur yang berada di atas Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok. Sementara total investasi yang telah digelontorkan dari uang perusahaan berkisar US$30 juta hingga US$35 juta. Itu untuk membangun infrastruktur dan persiapan pengeboran. Untuk sampai rampung eksplorasi kebutuhan dana mencapai US$60 juta hingga US$70 juta.

 

Sejumlah petani beraktivitas di sekitar pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Dieng Banjarnegara Jawa Tengah. Sejauh ini PLTP aman dan ramah lingkungan. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sekretaris Pusat Penelitian dan Pengembangan Energi Baru Terbarukan Unsoed Ropiudin mengakui kalau masih adanya silang pendapat mengenai pembangunan geothermal di Baturraden. Makanya, pihaknya sempat menggelar acara yang mempertemukan parapihak yang berseberangan pendapatnya.

“Memang, dalam seminar yang ditandai karena ada kritik yang dilontarkan oleh Aliansi Selamatkan Slamet ke PT SAE cukup membuat suasana panas. Namun, saya ingin menengahi, kalau kritik yang disampaikan seharusnya dipandang sebagai kritik yang konstruktif untuk PT SAE. Ini merupakan kontrol, karena kalau tidak ada kontrol, juga bisa kebablasan,”katanya.

Namun demikian, kata Ropiudin, seharusnya semuanya juga saling open mind atau mau terbuka dalam berpikir. Sehingga masing-masing pihak akan saling menerima masukan.

“Para pihak yang masih berseberangan seharusnya saling open mind atau terbuka dalam berpikir. Sehingga sama-sama bisa saling mengkaji dan tidak ada unsur paksaan. Kejadian ini terjadi, karena pada awalnya tidak ada saling trust. Oleh karena itu, trust harus dimunculkan. Tentu saja tidak bisa instan, buruh proses. Unsoed sebagai lembaga, saya kira juga harus hadir dengan independen,” ujar Ropiudin.

Pro dan kontra pembangunan PLTP Baturraden memang masih terjadi. Tentu saja harus ada titik yang mempertemukan seluruh pemangku kepentingan. Tidak ada yang instan, semuanya butuh proses dan memerlukan keterbukaan dalam berpikir.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,