Limbah Plastik Digunakan untuk Aspal Jalan, Ternyata Berisiko. Kenapa?

Uji coba limbah plastik untuk aspal jalan di Bali akan dipamerkan pada Forum Pertemuan Tahunan World Bank dan IMF tahun 2018 mendatang terkait dengan solusi masalah limbah plastik. Sejumlah aktivis lingkungan mengingatkan ada sejumlah hal yang perlu diwaspadai dari aspal campur plastik ini.

Siaran pers dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebut pemilihan Universitas Udayana sebagai lokasi ujicoba pertama, karena lokasi tersebut akan dijadikan showcase pada pertemuan lembaga keuangan dan kreditor internasional tersebut.

(baca : Indonesia Bebas Sampah 2020, Kemandirian Pengelolaan Sampah Harus Dilakukan)

Disebutkan, setelah berhasil diujicoba di kampus Universitas Udayana, selanjutnya pemanfaatan limbah plastik untuk aspal juga akan dilaksanakan pada jalan nasional di Jakarta, Bekasi dan Surabaya pada pertengahan Agustus tahun 2017. Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) VI (DKI Jakarta dan Jabar) dan BBPJN VII (Jawa Timur) saat ini tengah melakukan persiapannya sehingga dapat segera dimulai.

 

 

Pemanfaatan limbah plastik sebagai aspal merupakan kerjasama antara Kementerian PUPR dan Kementerian Koordinator Kemaritiman. Dalam kaitan ini, Deputi Bidang Koordinasi SDM, Iptek dan Budaya Maritim Kemenko Kemaritiman Safri Burhanuddin mengatakan bahwa untuk menyuplai kebutuhan limbah plastik sebagai aspal pihaknya telah berkoordinasi dengan Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (Adupi) di 16 kota besar yang akan mengumpulkan dan memilah sampah.

“Dalam upaya pengurangan sampah ini tahapan awalnya adalah melakukan edukasi kepada masyarakat, setelah terkumpul kami minta dukungan tim Kementerian PUPR. Pemanfaatan limbah plastik untuk aspal ini diharapkan dapat menjadi solusi yang tepat terhadap permasalahan sampah di Indonesia,” tutur Safri dalam siaran persnya.

Pada hari Sabtu (29/7/2017) telah dilaksanakan ujicoba menggelar aspal plastik sepanjang 700 meter yang bertempat di Universitas Udayana, Jimbaran, Badung. Kepala Balitbang Kementerian PUPR Danis Hidayat Sumadilaga mengatakan pemanfaatan limbah plastik sebagai aspal tersebut merupakan salah satu solusi bagi permasalahan sampah plastik.

Kementrian PUPR melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) saat ini tengah mengembangkan pemanfaatan limbah plastik sebagai campuran aspal. Sedangkan Presiden Joko Widodo pada saat pertemuan G-20 telah menyampaikan komitmen Indonesia untuk mengurangi sampah plastik laut sebesar 70 persen hingga tahun 2025.

 

Limbah plastik diujicobakan sebagai campuran aspal untuk jalan di kampus Universitas Udayana, Jimbaran, Badung, Bali pada Sabtu (29/07/2017). Foto: Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR/Mongabay Indonesia

 

Para peneliti di Balitbang Kementerian PUPR telah cukup lama melakukan penelitian pemanfaatan limbah plastik sebagai campuran aspal. “Setiap 1 kilometer jalan dengan lebar 7 meter, membutuhkan campuran limbah plastik sebanyak 2,5 hingga 5 ton. Jadi bisa dibayangkan apabila hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan di Indonesia yang memiliki jalan ribuan kilometer,” tutur  Danis.

Jumlah sampah plastik di Indonesia tahun 2019 diperkirakan mencapai 9,52  juta ton atau 14 persen dari total sampah yang ada. Dengan estimasi plastik yang digunakan 2,5-5 ton/km jalan, maka limbah plastik dapat menyumbang kebutuhan jalan sepanjang 190.000 km.

(baca : Akibat Sampah, Laut Indonesia Bakal Hadapi Tiga Ancaman Serius)

Selain itu, aspal yang dihasilkan juga lebih lengket jika dibandingkan dengan aspal yang tidak menggunakan plastik sebagai campuran. Artinya, kata Danis, stabilitas aspal dan ketahanannya lebih baik. “Stabilitasnya meningkat 40 persen, ini menjadikan kinerja lebih baik lagi,” tambah Danis.

Wakil Dekan Fakultas Teknik Universitas Udayana Ngakan Putu Sueca mengatakan bahwa pemilihan kampus Universitas Udayana sebagai laboratorium penelitian mahasiswanya merupakan hal yang positif. Diharapkan para mahasiswa dapat mengambil kesempatan untuk belajar dan mengembangkan teknologinya. “Ini merupakan sebuah wujud kerjasama yang baik antara peneliti, akademisi dan praktisi dalam mencari solusi masalah limbah plastik,” tutur Sueca.

Turut hadir pada kesempatan tersebut Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan Deded Permadi, Sekretaris Balitbang Herry Vaza, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Penerapan Teknologi Rezeki Peranginangin, Kepala BBPJN VI Atyanto Busono dan Kepala BBPJN VIII I Ketut Dhamawahana.

 

Sebuah ruas jalan di kampus Universitas Udayana, Jimbaran, Badung, Bali diujicobakan aspal campur limbah plastik oleh pemerintah pusat pada Sabtu (29/07/2017). Foto: Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR/Mongabay Indonesia

 

Dampak Buruk

Limbah plastik untuk bahan baku aspal jalan bukan hal baru. Dikutip dari The Guardian, jalanan dari limbah plastik yang dikembangkan 15 tahun lalu di India ini memiliki kelebihan dan kelemahan.

Jalan aspal dari plastik campur aspal (bitumen) di India menjadi salah satu diskusi aktivis lingkungan. David Sutasurya, Direktur Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) ini misalnya mendiskusikan dengan Dharmesh Shah dari Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA).

(baca : Memprihatinkan, Satwa Laut di Bali dan NTB Makin Beresiko Keracunan karena Ini…)

David membagi hasil diskusi, sekaligus mengonfirmasi izin pengutipannya untuk Mongabay Indonesia. Berikut penjelasan Dharmesh Shah diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.

Jalan plastik pertama kali diusulkan sebagai solusi untuk membuang sampah plastik berharga rendah dan plastik laminasi. Namun, ia gagal lepas landas sebagai solusi untuk sampah residu karena standar kualitas jalan di India mengharuskan kontraktormenggunakan LDPE dan HDPE, di mana keduanya lebih berharga untuk didaur ulang. Akibatnya infrastruktur yang telah diadakan untuk jalan plastik seperti pencacah dll, di Chennai sekarang mangkrak.

Penggunaan limbah kemasan plastik untuk peletakan jalan diperkenalkan di India oleh Prof.V.Vasudevan dari Thiyagaraja Engineering College, Tamil Nadu. Menurut penemu, proses pencampuran bitumen mengurangi biaya dan secara signifikan memperpanjang umur jalan. Prosesnya menggunakan cacahan plastik berharga bermutu rendah yang juga bisa mencakup plastik berlapis.

Namun, prosesnya hanya bisa menggunakan kemasan berlaminasi di bawah 60 mikron tebal (pedoman Kementerian Pembangunan Pedesaan India) dan hanya toleran terhadap pastik berlapis dalam jumlah terbatas (pedoman Kongres Jalan India).

Namun, panduan dari Kongres Jalan India hanya merekomendasikan penggunaan plastik yang sesuai dengan Low Density Polyethylene (LDPE), Polyethylene Kepadatan Tinggi (HDPE), PET dan Poliuretana untuk konstruksi perkerasan. Dengan kata lain, kemasan laminasi dapat digunakan sebagai pengisi tapi bukan bahan yang diutamakan dalam proses pembuatan jalan.

Terkait potensi paparan terhadap racun. Bitumen diproses pada suhu maksimum 160 derajat celcius, yang cukup tinggi untuk melelehkan plastik tapi terlalu rendah untuk memastikan degradasi berbagai jenis racun.

 

Pejabat dari Kementerian PUPR melihat spesifikasi jalan dengan campuran aspal dan limbah plastik, usai diujicobakan di ruas jalan di kampus Universitas Udayana, Jimbaran, Badung, Bali. Foto: Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR/Mongabay Indonesia

 

Masalah yang lebih besar dari teknologi ini adalah polusi mikro-plastik. Plastik yang digunakan dalam proses pengolahan aspal hanya berubah secara fisik dan membentuk lapisan tipis pada batuan. Plastik tersebut tidak benar-benar terurai. Pelapukan jalan sepanjang waktu berpotensi memecah plastik menjadi partikel mikro plastik yang masuk ke ekosistem.

(baca : Paus Sperma Itu Pun Mati karena Sampah Plastik)

“Sayangnya, tidak ada studi mendalam lainnya yang melihat emisi dari jalan plastik dan tidak ada yang melihat Dioxin,” ujar Dharmesh Shah dalam korespondensinya dengan David dan jaringan GAIA. Dalam website GAIA, no-burn.org disebutkan ada sedikitnya 800 lembaga, komunitas, dan individu di lebih dari 90 negara yang terlibat dalam jaringan edukasi sampah dan kampanye bahaya pembakaran sampah ini.

David dari YPBB yang juga menjadi anggota Aliansi Zerowaste Indonesia (AZWI) menambahkan tidak adanya bukti tentang racun bukan berarti jalan dari plastik aman, tetapi hanya karena belum ada penelitian yang dilakukan tentang hal tersebut. “Terkait prinsip kehati-hatian, suatu teknologi yang belum cukup diteliti bahayanya seharusnya tidak boleh diaplikasikan secara luas, kecuali untuk skala laboratorium,” katanya.
Salah satu pegiat edukasi pengelolaan sampah di Bali, Catur Yudha Hariani dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali mengatakan ide jalan dari aspal campur plastik perlu kehati-hatian jika memilihnya menjadi proyek besar.

Menurutnya plastik jika dibakar akan mengeluarkan zat dioksin yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Jenis penyakit dampak dioksin mengerikan karena bisa membunuh badan manusia secara perlahan. Plastik pada kondisi panas akan memuai dan mengeluarkan racun. Nah jalan pasti terpapar matahari. Hal lain, apakah jumlah limbah plastik yang digunakan signifikan dan teknologinya efisien.

“Tetapi intinya kalau mau mengurangi plastik ya harus dengan perubahan pola pikir dan pola laku,” katanya mengingatkan pentingnya terus membangun kesadaran soal sampah. Untuk kebijakan yang bisa dikontrol, Catur menyontohkan harga plastik harus mahal dan perusahaan yang menggunakan plastik harus mau menerima kembali limbahnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,