Kenapa Penyelundupan Benih Lobster Terus Meningkat?

Praktik penyelundupan benih lobster dari Indonesia ke luar negeri hingga saat ini diduga kuat masih terus terjadi. Praktik ilegal itu terus berlangsung, meski Pemerintah Indonesia melalui tim gabungan terus mengintensifkan perburuan pelaku penyelundupan biota laut yang sangat berharga itu.

Demikian diungkapkan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan di Jakarta belum lama ini. Menurut dia, dalam tiga tahun terakhir, praktik penyelundupan benih lobster semakin sulit dibendung.

“Praktik penyelundupan benih lobster yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini semakin meningkat,” ungkap dia.

 

 

Abdi mengatakan, regulasi yang diikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tentang larangan ekspor benih lobster dinilai masih belum cukup efektif untuk mengurangi eksploitasi benih lobster secara ilegal. Hal itu, bisa dilihat dari nilai benih lobster yang berusaha diselundupkan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Adapun, Abdi menambahkan, regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus), Kepiting (Scylla), dan Rajungan (Portunus) dari wilayah NKRI.

“Dalam tiga tahun terakhir, nilai benih lobster yang diselundupkan keluar negeri dan digagalkan oleh aparat terkait semakin meningkat,” tutur dia.

Abdi menjelaskan, berdasarkan data yang dimiliki, sejak awal 2017 hingga Juni 2017 sudah ada 13 kali upaya penyelundupan yang dilakukan dari berbagai daerah. Upaya penyelundupan yang berhasil digagalkan aparat keamanan bekerja sama dengan Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM KKP) itu, nilainya mencapai Rp158 miliar.

Nilai tersebut, kata Abdi, jauh lebih besar dari dua tahun sebelumnya, yakni 2015 dan 2016. Pada 2015, upaya penyelundupan benih lobster nilainya ditaksir mencapai Rp27,3 miliar. Sementara, pada 2016, mencapai Rp71,7 miliar.

“Data tersebut merupakan hasil monitoring dari berbagai macam kasus yang digagalkan oleh aparat terkait yaitu Bareskrim Polri, Badan Karantina Ikan KKP, dan beberapa kepolisian daerah seperti Jawa Timur dan Lampung,” ujar dia.

 

Anakan lobster sitaan Balai Karantina Perikanan di Bandara Kualanamu, Medan. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Kerugian Lebih Besar

Meski jumlahnya sangat besar, namun Abdi masih menyangsikan nilai sebenarnya. Mengingat, potensi penyelundupan benih lobster jumlahnya jauh lebih besar. Oleh itu, dia menduga, masih ada praktik terlarang tersebut yang berhasil lolos dan otomatis tidak tercatat di data aparat terkait.

“Ini sangat memprihatinkan dan bukan tidak mungkin nilai kerugian negara yang ditimbulkan akibat praktik ini sesungguhnya bisa lebih besar mengingat benih lobster yang lolos jumlah bisa lebih banyak,” jelas dia.

Lebih jauh Abdi menerangkan, dari pemantauan tim DFW Indonesia, hingga Juni 2017, tercatat sudah empat kali upaya penyelundupan benih lobster terjadi di Indonesia. Upaya yang berhasil digagalkan itu terjadi di Bandara Adi Sucipto (Yogyakarta), Lombok (Nusa Tenggara Barat), Banyuwangi (Jawa Timur) dan Soekarno-Hatta (DKI Jakarta).

Dari empat kali upaya penyelundupan itu, Abdi mencatat, benih lobster yang berhasil diselamatkan jumlahnya mencapai 273.191 ekor dengan nilai ekonomi mencapai Rp35 miliar. Fakta tersebut, kata dia, menunjukkan bahwa bandara merupakan titik rawan penyelundupan benih lobster.

“Aparat terkait harus memperketat pemeriksaan di beberapa bandara utama, seperti Ngurah Rai- Bali, Soekarno Hatta-Jakarta, Lombok dan Palembang. Terutama untuk penumpang dan pesawat tujuan Batam, Singapura dan Vietnam,” jelas dia.

 

Benih lobster mutiara ini diperkirakan nilainya Rp130 ribu per ekor dan dijual ke Vietnam. Benih tersebut berhasil digagalkan dari penyelundupan lewat Bandara Ngurah Rai Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Abdi menambahkan, terus meningkatnya aktivitas penyelundupan benih lobster dari Indonesia, terjadi karena permintaan produk tersebut juga terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Benih lobster yang diselundupkan, biasanya dijual dengan harga tinggi untuk negara tujuan seperti Vietnam.

Sementara itu DFW-Indonesia Muh Arifuddin mengingatkan bahwa kasus penyelundupan benih lobster bukanlah kasus sepele. Mengingat, jumlah dan nilai penyelundupan benih lobster dari tahun ke tahun semakin meningkat.

“Vietnam selama ini dikenal sebagai negara produsen penghasil lobster dan mereka mempunyai politik dagang mempertahankan image tersebut,” kata dia.

 

Destinasi Utama

Wakil Kepala Bareskrim Polri Antam Novambar pernah mengatakan, selain merugikan Negara dalam jumlah yang banyak, penyelundupan akan membuat biota laut tersebut berkurang di perairan Indonesia.

“Nelayan, ayolah jangan tergoda untuk menjual benih lobster. Tunggu dan besarkan dulu mereka hingga bernilai tinggi,” ucap dia beberapa waktu lalu.

Antam menyebutkan, dalam memuluskan aksinya, para pelaku dari berbagai daerah di Indonesia, akan memanfaatkan Surabaya di Jawa Timur sebagai penghubung utama ke Singapura, negara yang menjadi tujuan utama penyelundupan. Dari Singapura, berikutnya benih lobster dan biota laut lainnya akan dikirimkan ke Vietnam.

“Kalau sudah sampai Vietnam, mereka yang untung dan kita yang rugi. Benihnya dari kita, dan besarnya mereka yang menikmati. Harga saat benih dan sudah besar itu jauh sekali,” ujar dia.

 

Kepala BKIPM KKP Rina (tengah) didampingi Wakil Kepala Bareskrim Polri Inspektur Jenderal Polisi Antam Novambar (kiri) dalam saat gelar perkara di Jakarta, Senin (27/02/2017) menjelaskan tentang terbongkarnya penyelundupan lobster. Foto : BKIPM KKP/Mongabay Indonesia

 

Antam mencontohkan, saat masih menjadi benih di Indonesia, lobster dihargai sekitar Rp30 ribu per kilogram. Namun, begitu sudah dikirimkan ke Vietnam dan dibesarkan di sana, harganya melonjak sangat drastis hingga sekitar Rp1,4 juta per kilogram.

Dengan fakta tersebut, Antam menyebut, Vietnam menjadi negara yang sangat untung karena bisa mendapatkan harga yang sangat tinggi setelah dibesarkan. Sementara Indonesia, justru merana karena selain tidak mendapat untung, lobster juga semakin terancam populasinya karena terus menerus diselundupkan.

“Vietnam menjadi negara terbesar penghasil lobster. Setelah dilepas di sana, nelayannya enak sekali, karena harganya menjadi sangat mahal untuk setiap ekornya,” jelas dia.

Hal senada juga diungkapkan Kepala BKIPM KKP Rina. Menurut dia, Singapura sejak lama selalu menjadi destinasi utama penyelundupan benih lobster dan juga biota laut lainnya. Setelah sampai Singapura, biasanya benih-benih lobster akan langsung dikirimkan ke Vietnam, negara yang budidaya perikanannya sedang menanjak pesat dalam beberapa tahun ini.

“Karena itu, kita terus kampanyekan untuk hentikan penyelundupan benih lobster. Nelayan jangan mau menjual (benih lobster) dengan harga murah. Tunggu saja besar dulu jika mau menjual lobster. Harganya tinggi, jelas menguntungkan,” tutur dia.

 

Budidaya Lobster

Untuk mencegah terus meningkatnya penyelundupan benih lobster, Pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan lebih jauh dengan melaksanakan budidaya lobster. Kegiatan bernilai ekonomi tinggi tersebut, kata Arifuddin, selama ini belum dikembangkan lebih serius oleh KKP.

Menurut Arifuddin, kendala yang terjadi kenapa budidaya lobster masih belum berkembang pesat, adalah karena hingga saat ini pemanfaatan teknologi reproduksi belum baik, dan juga persoalan pakan dan penyakit yang belum terpecahkan.

“Kementerian Kelautan dan Perikanan mesti lebih proaktif melakukan promosi dan pendampingan terhadap kelompok pembudidaya agar mereka mau mengembangkan budidaya lobster,” tandas dia.

Menurut Arifuddin, jika ingin budidaya lobster bisa berkembang lebih baik KKP harus melakukan perubahan secara fundamental terhadap program budidaya tersebut. KKP, kata dia, tidak boleh lagi hanya sekedar menyediakan dan membagikan bibit secara gratis kepada kelompok.

“Namun, harus memberikan pendampingan secara intensif,” tegas dia.

Tak hanya melakukan pendampingan, Arifuddin mengungkapkan, KKP juga perlu segera menetapkan sentra pengembangan budidaya lobster berdasarkan lokasi yang dekat dengan ketersediaan benih alam. Kemudian, tambah dia, KKP juga harus memberikan dukungan terhadap pengembangan riset dan teknologi budidaya sehingga menjadi jelas proses budidaya dari hulu ke hiir.

“Sejauh ini Nusa Tenggara Barat, Bali dan Jawa Timur merupkan lokasi potensial pengembangan budidaya lobster di Indonesia,” papar dia.

 

Nelayan menunjukkan anakan lobster yang dibudidayakan di Pantai Sepanjang, Gunungkidul, Yogyakarta. Foto : Melati Kaye/Mongabay Indonesia

 

Arifuddin menjelaskan, untuk melaksanakan budidaya lobster dibutuhkan kesabaran dan ketekukan. Hal itu, karena untuk bisa melaksanakan panen, diperlukan waktu sedikitnya satu hingga dua tahun. Ketekunan wajib dilakukan, karena lobster sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan.

“Budidaya lobster juga membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Sehingga diperlukan konsistensi program dan kesungguhan pemerintah untuk mengembangkan lobster sebagai salah satu komoditas unggulan perikanan Indonesia,” pungkas dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,