Memetakan Solusi menuju Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan. Bagaimana Prakteknya?

Sejumlah pihak terkait perikanan berkumpul di Bali pada pertengahan Juli lalu. Mereka mendiskusikan beragam cara untuk mewujudkan perikanan skala kecil yang legal, terlaporkan, dan sesuai aturan untuk memenuhi standar perikanan berkelanjutan.

Para pihak pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat dalam lokakarya bertema Moving Towards Legal, Regulated and Reported Status for Small Scale Fisheries itu dari kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), pusat penelitian, pengusaha, dan lembaga pemerintah yang terlibat dalam rantai usaha perikanan. Sebanyak 32 peserta datang dari berbagai negara, yaitu Indonesia, Meksiko, Australia, Amerika Serikat, Italia, Belanda, Afrika Selatan, Thailand, dan Hong Kong.

 

 

Pelaksana lokakarya tiga hari itu adalah Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI), LSM di bidang perikanan yang berkantor di Denpasar, Bali bersama Universitas Wageningen dan Riset Belanda, USAID OCEAN Asia Pasifik, dan Yayasan Walton Family.

Momo Kochen, Direktur Program dan Sains MDPI mengatakan tujuan lokakarya tersebut untuk mengidentifikasi solusi seiring menguatnya tuntutan terhadap transparansi, keterlacakan, dan kepatuhan bagi negara berkembang termasuk Indonesia. Tuntutan itu sejalan dengan meningkatnya permintaan terhadap rantai pasok (supply chain) produk perikanan internasional oleh pasar impor utama.

Menurut Badan Pangan PBB FAO, definisi perikanan skala kecil adalah sub-sektor perikanan dinamis dan terus berkembang yang melibatkan tenaga kerja intensif dari penangkapan, pengolahan, hingga distribusi. Kegiatan di sektor ini bisa penuh waktu, paruh waktu atau bahkan musiman. Target mereka umumnya pasar domestik atau bahkan hanya untuk kepentingan konsumsi sendiri.

Adapun menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), perikanan skala kecil umumnya menggunakan perahu bermesin atau bahkan tanpa mesin sama sekali. Rata-rata mesinnya di bawah 5 gross ton (GT). Kegiatan penangkapan ikan paruh waktu atau musiman ini tidak menjadi sumber pendapatan utama bagi mereka.

 

Nelayan dengan hasil tangkapan ikannya di sebuah pelabuhan di Bali. Setidaknya 85 persen nelayan di Indonesia merupakan nelayan skala kecil. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Secara geografis, umumnya nelayan kecil ini tinggal di wilayah terpencil. Standar hidup mereka relatif rendah sampai batas minimal. Dengan persentase hingga mencapai 95 persen dari total nelayan di Indonesia, atau 85 persen versi KKP, jumlah nelayan kecil sangat penting untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan.

“Kami ingin mengeksplorasi apa dan bagaimana perikanan di negara-negara berkembang dapat membalikkan predikat illegal, unregulated, and unreported (IUU Fishing),” kata Momo.

 

Banyaknya Tantangan

Menurut Momo, saat ini para pihak dalam industri perikanan sedang berusaha keras mengatasi praktik ilegal, tidak diatur, dan tidak dilaporkan (IUU Fishing) dalam industri perikanan. Sebagai lembaga yang mendukung perikanan skala kecil sejak 2013 lalu, MDPI melihat banyaknya tantangan yang dihadapi para pelaku perikanan skala kecil untuk memenuhi aturan, melaporkan kegiatan dan hasil tangkapan mereka, serta menunjukkan bahwa mereka sudah melakukan praktik perikanan legal.

Padahal, menurut data MDPI, sekitar 95 persen hasil tangkapan ikan Indonesia berasal dari nelayan skala kecil. Perikanan skala kecil ini juga menyediakan lapangan pekerjaan lebih banyak sekaligus menyumbang terhadap kedaulatan pangan di negara-negara berkembang.

Di sisi lain, saat ini gerakan menuju perikanan yang legal, terlaporkan, dan sesuai aturan sebagian besar dilakukan pada perikanan skala besar dengan proyek dan investasi yang menargetkan kapal besar.

Karena itulah, para pihak yang terlibat dalam lokakarya di Jimbaran, Bali Juli lalu pun membagi pengalaman dan pandangan terkait bagaimana para pelaku dalam industri perikanan skala kecil bisa mewujudkan perikanan berkelanjutan bagi nelayan skala kecil.

 

Suasana bongkar muatan ikan hasil tangkapan, di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Berbagi Pengalaman

Pada hari pertama, para peserta mengeksplorasi pengalaman di masing-masing negara. Ada lima kawasan perikanan global yang menjadi contoh dalam diskusi yaitu Indonesia, Alaska, Madagaskar, Afrika Selatan, dan Maladewa sekaligus sebagai dasar pembagian kelompok diskusi. Di tiap kelompok, peserta dari latar belakang berbeda.

Dalam diskusi kelompok, yang kemudian dipresentasikan kepada kelompok lain, para peserta antara lain mengidentifikasi situasi, tantangan, dan upaya menuju perikanan berkelanjutan di kawasan tersebut. Kasus di Alaska, Amerika Serikat sebagai contoh, adalah adanya tantangan dalam kecepatan dalam melaporkan praktik perikanan yang ilegal. Hal itu terjadi karena bedanya kewenangan antara pemerintah negara bagian dengan negara federal.

Lamanya proses pelaporan itu menjadi tantangan tersendiri dalam upaya untuk mengatasi masalah perikanan ilegal di Alaska.

Adapun di Indonesia, tantangan yang dihadapi adalah jauhnya lokasi nelayan dalam menangkap ikan. Hal ini mengakibatkan hasil tangkapan mengalami penurunan kualitas sehingga berdampak pada harga di pasaran. Tantangan lain Indonesia, sebagaimana juga terjadi di Madagaskar, adalah tidak dilibatkannya nelayan-nelayan di wilayah terpencil dalam pengelolaan perikanan.

Diskusi pada hari pertama menjadi dasar untuk mencari solusi-solusi yang mungkin diterapkan untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan di perikanan skala kecil. Dua hari selanjutnya, para peserta membagi kelompok dalam lima isu terkait perikanan berkelanjutan yaitu Tata Kelola, Data, Sosial, Pasar, dan Keuangan untuk mencari solusi-solusi tersebut.

 

Lokakarya di Bali mendiskusikan pengalaman dan ide untuk mencari solusi bagi perikanan berkelanjutan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

“Menjual” Ide

Tiap kelompok kemudian “menjual” ide-ide solusi tersebut kepada para peserta maupun juri pada hari terakhir lokakarya. Proses bernama Shark Tank itu serupa kompetisi karena memang memperebutkan hadiah uang sebagai pendanaan ide (seed funding) sebesar US $10.000 untuk pemenang.

Beragam solusi pun muncul dari tiap kelompok.

Kelompok Sosial misalnya mempresentasikan tentang aplikasi bergerak (mobile apps) untuk pengelolaan keuangan. Melalui aplikasi ini, para penggagasnya yakin bahwa nelayan kecil nantinya akan bisa mengelola keuangan dengan baik.

Ada pula ide tentang perlunya melibatkan warga dalam melaporkan praktik perikanan. Kelompok Data ini mengusulkan adanya informan publik, semacam pewarta warga yang bisa melaporkan praktik itu melalui platform seperti media sosial ataupun ponsel pintar.

Dengan cara tersebut, menurut Yadranka Farita dari The Nature Conservacy (TNC) yang ikut dalam kelompok data, publik bisa ikut mendorong transparansi dalam praktik perikanan yang legal, terlaporkan, dan sesuai aturan.

Kelompok lain, Tata Kelola, mengusulkan adanya panduan alur komunikasi di semua tingkat mulai dari tingkat nasional hingga pasar. Menurut Lucky Adrianto, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) yang masuk anggota kelompok ini, model alur komunikasi itu nantinya bisa diterapkan tak hanya di Indonesia tapi juga negara-negara lain untuk menjawab isu regulasi dalam tata kelola perikanan.

Tiap kelompok mempresentasikan idenya di depan peserta maupun lima juri yang berasal dari kalangan pemerintah, peneliti, LSM, media, dan pengusaha. Juri dan peserta kemudian memberikan nilai pada kelompok terbaik versi mereka.

Hasilnya, Kelompok Pasar keluar sebagai pemenang Shark Tank. Ide mereka adalah tentang bagaimana proyek yang akan mengidentifikasi di mana hilangnya kualitas ikan terjadi selama proses dari penangkapan menuju pengolahan.

Rene Benguerel, anggota Kelompok Pasar, mengatakan selama ini kurangnya kualitas penanganan pasca-penangkapan mengakibatkan besarnya kehilangan kualitas tuna. Turunnya kualitas berpengaruh terhadap daya serap tuna tersebut.

Karena itulah, Kelompok Pasar, akan melakukan upaya untuk tetap menjaga kualitas tangkapan melalui tiga langkah sederhana yaitu menggunakan es, penanganan secara hati-hati, dan melindungi dari sinar matahari. Dengan begitu kualitas ikan tangkapan akan tetap terjaga.

Dengan hadiah dana sebesar $10.000, Kelompok Pasar akan mewujudkan proyek tersebut dan kemudian menjadikannya sebagai pelajaran bagi nelayan-nelayan kecil di negara berkembang.

Dari Bali, ide awal akan dikembangkan dalam bentuk pilot project yang nantinya jadi referensi global untuk mewujudkan perikanan yang legal, terlaporkan, dan sesuai aturan terutama bagi nelayan-nelayan skala kecil.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,