Sabuk Pantai di Pesisir Utara Jawa Barat, Tinggal Kenangan. Kok Bisa?

Keberadaan sabuk pantai di pesisir pantai utara Jawa Barat kian menghilang. Hampir setiap tahun, luasan mangrove terus mengalami penyusutan. Kondisi itupun telah berlangsung lama. Kini, masyarakat pesisir mulai merasakan dampaknya.

***

Pagi itu nampak sepi. Ujang Surian (42) membuka warung miliknya tidak jauh dari gerbang masuk obyek wisata Pantai Pondok Bali, Jumat (21/7/2017). Lokasi tersebut terletak di Desa Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Di warung berukuran 3 x 3 berdinding kayu, dia menjalani rutinitas sehari – hari. Selain berprofesi sebagai nelayan yang sudah saban tahun digeluti pria paruh baya tersebut.

 

 

Ingatannya melompat jauh ke tahun 2004 silam. Ketika Pantai Pondok Bali masih menjadi primadona wisatawan. Saat keberadaan mangrove dirasa memberikan penghidupan.

“Dulu, memang banyak bakau (mangrove). Cukup luas. Mencari ikan enak dan wisata pun lumayan,” katanya saat ditemui Mongabay.

Dia bercerita, kondisinya berubah, dalam beberapa tahun terakhir Wisata Pondok Bali sepi. Penghasilan dari hasil melaut dan tambak juga tidak bisa jadi jaminan. “Sekali melaut, rata – rata Rp100.000. Jarak tempuh 10 kilometer kadang juga lebih. Tidak tentu,” keluh Ujang.

Dia menuturkan, pengaruh hilangnya kawasan mangrove tidak saja mengubah garis pantai. Garis kehidupan pun ikut berubah. Abarasi menjadi persoalan nyata. Ekosistem makin terganggu. Ekonomi dan wisata pun makin tak menentu. Yang jelas, garis pantai benar – benar mengalami kemunduran.

“Saya sempat memiliki tambak seluas 5 petak. Sekarang sudah hilang” katanya. Usaha tambak yang digarapnya hanya ditekuni tidak begitu lama.

Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, garis pantai utara Jawa Barat terbentang sepanjang 354,2 kilometer dari Kabupaten Bekasi sampai Kabupaten Cirebon. Sementara Garis pantai di Wilayah Subang keseluruhan memiliki panjang 48 kilometer. Tetapi yang di kelola Perhutani sekitar 11 kilometer.

(baca : Begini Kondisi Mangrove Pantura Jabar)

Menurut Kepala Dusun Mayangan Carma, kerusakan mangrove mulai disadari tahun 2008 lalu. Setelah sebagain daratan hilang digulung abrasi. Disusul banjir air laut (rob) yang begitu sering menggenangi hampir disetiap bulan.

“Penyebabnya mungkin hilangnya secara alami. Tergerus abrasi sampai akhirnya amblas tenggelam,” ucapanya.

 

Kondisi kawasan mangrove di Pesisir Pantai Utara, Desa Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Abrasi dan banjir rob merupakan persoalan yang dihadapi masyarakat pesisir. Akibat degradasi hutan mangrove telah menimbulkan perubahan lingkungan. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dia mengatakan, kerusakan mangrove di wilayahnya sempat mendapat perhatian dari Perum Perhutani dan Dinas Sosial Kabupaten Subang tahun 2010. Perhatian itu berupa bantuan bibit pohon bakau. Tetapi, tidak berjalan dan terbengkalai.

Berdasarkan pantauan Mongabay, luasan mangrove memang telah terfragmen. Sebagian daratan sudah jadi perairan. Sejumlah rumah warga pun ada yang ditinggalkan akibat terkikis abrasi dan tergenang banjir rob. Masalah lainnya adalah kebersihan dan sampah. Kesan kumuh tak terawat seolah melekat pada kawasan pesisir.

Salah satu warga lainnya, Nurhasim menyebutkan, kerusakan kawasan mangrove juga dipengaruhi oleh kejadian tsunami Aceh tahun 2004 silam. Sebagian kawasan mangrove terkena terjangan ombak besar.

“Setahu saya ada pengaruh dari itu (tsunami). Ya lumayan cukup parah kerusakannya,” kata dia.

Nurhasim mengungkapkan, sejak itu barulah muncul pembukaan atau alih fungsi lahan. Masyarakat beranggapan bahwa kawasan mangrove yang rusak dapat dimanfaatkan untuk membuat tambak.

Hal itu didorong oleh sikap pemerintah yang kurang tanggap terhadap perosalan pesisir. Setahun selanjutnya, kata dia, warga melaporkan kerusakan yang terjadi kepada pemerintah setempat. Mengusulkan perbaikan tapi tidak ada tanggapan.

Lantas masyarakat membuat tambak – tambak secara masif hingga akhirnya tak terkendali. Kondisi itu pula yang mempercepat penyusutan mangrove di Pesisir Pantura Subang.

“Karena pengelolaannya ada di Perum Perhutani sehingga dibuatlah program tumpang sari. Warga memiliki hak garap. Mungkin kurangnya kontrol hingga semua (mangrove) ditambak dan habis,” ujar Nurhasim yang merupakan salah satu penggerak masyarakat Mayangan.

 

Kondisi kawasan mangrove di Pesisir Pantai Utara, Desa Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Abrasi dan banjir rob merupakan persoalan yang dihadapi masyarakat pesisir. Akibat degradasi hutan mangrove telah menimbulkan perubahan lingkungan. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dari berbagai riset yang pernah dilakukan di desa berpenduduk lebih kurang 900 jiwa itu, diketahui daratan telah berkurang lebih dari 2 kilometer. Selain faktor abarasi juga terjadi sedimentasi di Sungai Cipunagara. Akibatnya, tiga desa terluar seperti Desa Legon Wetan, Mayangan dan Tegal Lurung, kian mengkhawatirkan.

Dikatakan Nurhasim, upaya antisipasi abrasi dengan penanaman mangrove sering dilakukan. Hasilnya jauh dari harapan. Problematika yang dihadapi adalah kurangnya pemahaman dan pengawasan. Tahun ini, Desa Mayangan mendapat bantuan CSR (sosial) berupa 2800 bibit mangrove.

“Persoalannya sekarang lahan sudah menjadi perairan. Bibit sebanyak itu mau ditanam dimana? Bagaimana agar upaya ini optimal? Kami masih membahas soal ini serta mencari titik temu. Harapannya penanaman jangan sebatas menanam. Harus ada keberlanjutan,” tegasnya.

(baca : Ekspansi Industri dan Sanksi Lemah, Hutan Mangrove Indonesia Terus Musnah)

 

Pemulihan Pesisir Ditingkatkan

Dilain tempat, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar melakukan penanaman mangrove dalam rangka Hari Mangrove Internasional 2017 di pantai Desa Klayan, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Minggu (30/7/2017).

Sekitar 20 ribu tanaman pencegah abrasi itu ditanam dengan melibatkan pelajar dan pihak terkait. Selepas itu, Deddy Mizwar berkomitmen untuk intensif menaman mangrove guna memperbaiki kawasan pesisir. Disamping perlunya sinergi antara pemerintah, akademisi, swasta dan masyarakat.

Deddy menerangkan, abrasi di Pantura disebabkan karena kerusakan mangrove. Sedangkan abrasi di Pantai Selatan akibat penambangan pasir besi.

“Tapi bicara lingkungan mau tidak mau harus dilakukan. Bagaimanapun rusaknya tapi tetap perlu ada perbaikan,” kata pria yang akrab disapa Demiz.

 

Kondisi kawasan mangrove yang makin rusak di Pesisir Pantai Utara, Desa Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Abrasi dan banjir rob merupakan persoalan yang dihadapi masyarakat pesisir.Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Merujuk UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, implementasi kewenangan daerah di wilayah Pesisir berada pada Pemerintah Provinsi. Demiz menegaskan, mulai tahun depan sudah dirancang regulasi pembenahan pesisir. Apalagi Pantura digadang – gadang menjadi kawasan industri baru.

Kedepan, kata dia, akan memfokuskan sosialisasi kepada masyarakat agar mau peduli dan melakukan pengawasan guna meminimalisir kerusakan. “Karenanya, jika kelestarian alam tidak dijaga, alam juga tidak akan menjamin kehidupan kita. Maka peningkatan kesadaran diperlukan disini,” pungkasnya.

Permasalahan di kawasan pesisir sudah harus jadi sorotan. Bukan soal penjabaran Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia. Melainkan mengentaskan kesenjangan kebijakan pemerintah. Bahwa, kawasan pesisir memang minim perhatian. Padahal negeri kita adalah negeri bahari.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,