Abdon: Jadikan Masyarakat Adat Aktor Utama Penggerak Ekonomi Sumut

 

Pemerintah Indonesia, mulai berbenah dan berupaya memberikan perlindungan kepada masyarakat adat di negeri ini walaupun masih jauh dari harapan. Perampasan lahan dan sumber hidup, kekerasan maupun kriminalisasi masih banyak menimpa masyarakat adat di berbagai belahan negeri termasuk di Sumatera Utara.

Salah satu konflik antara warga adat dan perkebunan kayu, PT Toba Pulp Lestari (TPL). Sebagian wilayah adat, seperti di Pandumaan Sipituhuta, Humbang Hasunduntan, sudah kembali ke masyarakat.

Baca juga: Berkonflik Lahan dengan Toba Pulp Lestari, Ketua Adat Tungko Ni Solu Terjerat Hukum

Tahun lalu, Presiden Joko Widodo yang menyerahkan putusan pelepasan sekitar 5.000-an hektar dari konsesi TPL. Konflik lahan perusahaan dengan komunitas adat lain belum usai.

Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nasional mengatakan, Sumut, punya 1,7 juta hektar hutan yang harus kembali ke rakyat, dengan instrumen hukum yang ada.

“Pemulihan hak-hak masyarakat adat, pengembalian tanah rakyat, redistribusi tanah petani kecil, harus dilakukan dengan pendampingan dari sisi ekonomi,” kata penerima Magsaysay Award 2017 ini.

 

 

Dia bilang,  kesenjangan kuasa lahan antara warga dan perusahaan serta dominasi ekonomi korporasi harus dikurangi.  “Fokus utama ke depan bagaimana masyarakat adat, petani, nelayan jadi aktor ekonomi kuat di Sumut,” kata pria yang kini didapuk maju berkompetisi dalam pemilihan Gubernur Sumut, mendatang.

Sumut, katanya,  memiliki karakter kawasan berbeda-beda, namun sebagian besar agro industri. Jadi, katanya, pengembangan harus dengan memperkuat agro industri itu sendiri dan berbasis produksi masyarakat.

Selama ini, katanya,  basis industri dikuasai perusahaan besar. Jadi, bagaimana agar penguatan ekonomi rakyat berbasis adat dan lahan. Dia contohkan, di Danau Toba bisa dikelola wisata berbasis adat dan lahan. “Itu sudah terbukti berhasil di Bali. Tak ada alasan investasi diberikan pada perusahaan asing seperti Tiongkok dan Jepang.”

Kalau Badan Otoritas Danau Toba,  mau membawa investor asing dan merampas tanah masyarakat adat, harus dilawan. “Tetapi harus disiapkan konsep baru pariwisata berbasis adat dan lahan.”

Kala berada di Sumut, Abdon didatangi para tetua dan pemuda adat agar membantu tangani koflik lahan sampai kriminalisasi yang mereka hadapi. Sekjen AMAN dua periode, 2007-2017 ini mengatakan, permintaan masyarakat adat di tempat kelahirannya ini, membuat dia tergerak pulang kampung dan ikut membantu warga.

Dia menilai, faktor utama konflik masyarakat adat dengan pengusaha, katanya, tak lain karena kepala daerah baik gubernur dan bupati/walikota tak berpihak kepada masyarakat adat.

Selama 24 tahun, katanya, dia terus berpikir bagaimana mengembalikan wilayah adat dan tanah untuk petani. Pasca Presiden Soeharto lengser,  banyak peraturan perudang undangan baru dia turut serta membahasnya termasuk gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) hingga keluar keputusann hutan adat bukan hutan negara.

 

Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional, yang baru menerima penghargaan Magsaysay Award. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, mengatakan, sejak Indonesia merdeka, seperti berlanjut ke penjajahan baru. Tanah adat titipan leluhur terampas, dan terbagi-bagi.

Pengambilan keputusan atas nasib masyarakat adat, katanya, tak pernah sepengetahuan mereka.  “Ketika ada perlawanan, dikriminalisasi, berakhir di penjara. Ketika mengalah berakhir jadi pengemis di tanah sendiri, kadang jadi budak, ditipu dengan skema-skema skala kecil,” katanya.

Lewat penguasaan lahan oleh perusahaan besar, uca[ Rukka, belum pernah ada bukti masyarakat adat peroleh kesejahteraan. “Alam sudah rusak, tani habis.”

Contoh kasus di Talang Mamak, tanah mereka habis, paling miskin, pendidikan rendah, dan menuju kepunahan karena pertambahan penduduk lebih kecil dari kematian. “Ini semua terjadi karena saat keputusan diambil masyarakat adat tak ada disana.”

Kondisi ini, katanya, bikin AMAN sejak 2009 bertarung di politik elektroral. “AMAN punya 41 legislator tersebar di Indonesia. Kecil memang tetapi mampu membuat perubahan, contoh perda masyarakat adat. Ada dua bupati di Mentawai dan Halmahera Tengah.”

Penyelesaian masalah di Tano Batak, sendiri, katanya, mulai berjalan, namun tersendat karena ada kepentingan politik dari kepala daerah.

AMAN berkesimpulan, sepanjang bukan masyarakat adat yang mengambil kebijakan, selamanya tal akan pernah mendapatkan hak mereka.

“Masalah wilayah adat di Sumut bisa terlesaikan jika pemegang kebijakan warga adat.”

 

Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta yang mendapatkan kembali hutan adat mereka yang sempat masuk konsesi PT TPL. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonnesia

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,