Cerita Warga Minta Plasma Kala Korindo Moratorium Buka Lahan Sawit di Papua

 

 

Di Jakarta, Bupati Merauke, Bupati Boven Digoel, warga calon penerima plasma dan Korindo adakan pertemuan. Di Merauke, warga protes dan tolak sawit. Warga di Merauke, tambah berang kala ada pertemuan dengan perwakilan yang mengatasnamakan masyarakat, seolah-olah semua warga menerima kehadiran perusahaan sawit.

Pagi itu,  di bilangan Jakarta Pusat, berlangsung pertemuan ‘para pihak’ antara Bupati Merauke, Bupati Boven Digoel,  perwakilan warga kedua daerah calon petani plasma, Hamdani, anggota Komisi IV DPR RI dan perwakilan perusahaan sawit, PT Korindo Grup.

Dalam pertemuan itu bahasan banyak menyangkut komitmen memberikan 20% konsesi Korindo kepada masyarakat sebagai petani plasma, tetapi terhambat komitmen moratorium hutan perusahaan. Mereka menuding, hambatan perusahaan buka lahan—termasuk plasma—karena tekanan lembaga swadaya masyarakat/ organisasi masyarakat sipil.

“Kami tak mau ada intimidasi dari LSM. Pengelolaan koperasi harus dibuka,” kata Richard Nosal Kuola, tokoh masyarakat Digoel Atas, dalam pertemuan 24 Juli 2017 itu.

Baca juga: Investigasi Ungkap Korindo Babat Hutan Papua dan Malut jadi Sawit, Beragam Masalah Ini Muncul

Dia meminta perusahaan segera membuka lahan-lahan plasma.  Dia menyangka, penyetopan pembukaan lahan perusahaan karena ulah lembaga swadaya masyarakat.

Serupa dikatakan Imanuel Gebze, warga dalam konsesi PT Dongin Prabawa, Merauke mengatakan, koperasi buka sejak 2016. Kini, mereka menanti pembukaan kebun plasma. “Kami tolong minta dibuka.”

Frederikus Gebze, Bupati Merauke, usai pertemuan di Jakarta mengatakan, pemerintah daerah terbuka bagi investor. Dengan investor, katanya, mereka dapat manfaat dan kesejahteraan. Dia kesal dengan lembaga nonpemerintah (non government organization/NGO) yang merilis laporan deforestasi dalam konsesi Korindo.

“Milik hak warga. Hak dusun, 20% biar kelola tetapi tak bisa dilakukan karena penyampaian dari NGO yang seakan-akan ada deforestasi. Seakan-akan membahayakan. Perusahaan mau membuka (lahan) tapi tak bisa,” katanya.

Dia mendesak pembukaan lahan plasma dan moratorium perusahaan setop. “Hentikan omelan bicara atas nama hutan. Lebih baik masyarakat diberdayakan kelola alam. Suatu saat kan bisa tanam kembali dan lain-lain. Prinsip kami berikan dan tunggu kebijakan dari Korindo,” ucap Gebze.

Sebagai bupati, dia sudah tandatangani pembentukan koperasi sejak 2016. Sudah ada empat dan setiap koperasi, pemerintah Merauke memberikan stimulan Rp300 juta.

“Apalagi yang jadi persoalan. Koperasi sudah diberi oleh pemda. Lahan tinggal dberikan ke masyarakat agar kelola.”

Gebze berangan, koperasi akan menjadi pemasok beragam keperluan hidup perusahaan, termasuk jadi penyedia tenaga kerja.

Menyadari banyak ‘sumbatan’ investasi, pada pertemuan ini juga mendeklarasikan forum investasi Merauke dan Boven Digoel.

“Kami bentuk forum investasi di wilayah Merauke agar segala sesuatu yang sangkut perkembangan dan info keberlangsungan investasi dapat didiskusikan semua orang, termasuk LSM dan seluruh stakeholder berkepentingan,” katanya.

Dengan forum investasi itu, harapannya, kalau ada hambatan, atau masalah seputar investasi di kedua wilayah, bisa diskusikan bersama-sama.

Ungkapan Benediktus Tambonop, Bupati Boven Digoel, tak jauh beda dari Bupati Merauke. Papua , katanya, merupakan daerah luas sekali, sekitar tiga kali Pulau Jawa.

Dengan kekayaan besar, katanya, daerah tak mampu mengelola sendiri. “Kami sangat butuhkan investasi. Kalau ada bupati di Papua yang tak mau investasi itu sangat aneh. Kami perlu investasi. Investasi positif, saling menguntungkan antara investor dan masyarakat. Itu yang kita butuhkan,” katanya.

Selama ini, katanya,  investasi masuk mendatangkan pasar bagi masyarakat. Sebagian besar, kebutuhan perusahaan diperoleh dari masyarakat sebagai penyedia beras, telur dan lain-lain.

Dia bilang, terima investor salah satu cara orang Papua ingin berubah. Dulu, katanya, Orang Papua, pakai koteka dibilang ketinggalan zaman. Sekarang mau maju dengan memberikan sebagian lahan buat investasi, tak boleh.

“Kami mau berubah terus apa masalahnya buat LSM atau NGO? Kami tak jual tanah orang lain. Kami tak berikan dusun orang lain.”

Dalam menarik investasi, katanya, pemerintah tak pakai pola lama, keputusan dari pemerintah. “Sudah berubah. Investor masuk harus setuju warga dulu baru pemerintah tanda tangan. Saya pikir itu tugas pemerintah buat lindungi masyarakat,” katanya.

Dia bilang, tak anti LSM tetapi kalau menyampaikan suatu hal mesti ada tawaran solusi. “Mari datang ke tempat kami… kalau ada solusi masyarakat kami pikir tak ada masalah. Mereka diperintah jaga hutan. Kalau hanya bicara-bicara saya pikir hentikan saja karena tak selesaikan masalah masyarakat kami. Yang benar itu beri solusi…,” ucap Tambonop.

Pastor Felix Amias dari anggota Missionariorum Sacratissimi Cordis (MSC) juga hadir dalam pertemuan itu. Dia bilang, kalau ada masalah, terpenting cari solusi. Dia bilang, NGO perlu ada sebagai alat kontrol tetapi tak bisa sebagai penentu keputusan. “Kalau masyarakat sudah sepakat, perusahaan sudah ada izin resmi, jalan saja.”

Dia cerita pengalaman di kampungnya kala investor akan masuk. “Saya bertanya kepada mereka, kamu mau tempat ini dibangun atau tidak?

Felix melihat, kala itu memang ada ketakutan warga akan hilang hutan tempat hidup dan budaya mereka. “Misal,  kalau tebang hutan buat perkebunan harus atur hutan yang ditinggalkan agar masyarakat bisa tetap hidup. Bisa ambil kayu bakar dan lain-lain juga budaya. Perlu ada kesepakatan. Ini tawaran solusi ketakutan itu,” katanya.

Felix bilang, kalau ada kritikan harus melihat sisi positif dan negatif. “Kalau negatif lebih banyak itu harus dikoreksi. Namanya pembangunan pasti ada dikorbankan. Tak ada pembangunan tanpa pengorbanan. Tapi kurangi korbannya. Kerugian sekecil mungkin.”

 

Dari kanan ke kiri, Nyoto Santoso, Kepala Departemen Konservasi, Fakultas Kehutanan, IPB, Frederikus Gebze, Bupati Merauke, Benediktus Tambonop, Bupati Boven Digoel dan Hamdani, anggota Komisi IV DPR. Di bagian belakang warga yang meminta perusahaan buka lahan plasma. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Surat warga

Sebelum pertemuan di Jakarta, beberapa masyarakat adat di Kabupaten Merauke, membuat pernyataan sikap mendukung perusahaan sawit. Ada yang tulis tangan pakai kertas dari buku bermerek “Mirage” maupun kertas HVS. Ada juga pakai ketikan.

Mereka merupakan masyarakat di lingkaran perusahaan PT Dongin Prabhawa, anak perusahaan Korindo ini minta lahan masyarakat (plasma) bisa dibuka dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di dalam negeri maupun luar negeri tak protes kepada perusahaan sawit.

Ada dari masyarakat Kampung Nekias, Distrik Ngguti, tertanggal 2 Juli 2017. Mereka yang bertanda tangan adalah Sekretaris Kampung; Simon Walinaulik, Perwakilan Adat; Demianus Blamen, Dewan Majelis Gereja; Matheus Walinaulik, dan Wakil Ketua Koperasi Iska Bekai; Abraham Yolmen.

Dalam surat itu, mereka menyatakan, pembangunan kebun bagi masyarakat kewajiban perusahaan hingga diharapkan pemerintah mengambil langkah agar perusahaan segera merealisasikan pembangunan plasma.

“Kami ingin segera memiliki kebun sawit untuk kesejahteraan kami ke depan.”

Selain itu,  mereka menolak campur tangan dari pihak luar yang mengatasnamakan organisasi sosial yang bertujuan menggagalkan pembangunan kebun masyarakat. Mereka menganggap itu menghalangi peningkatan martabat dan kesejahteraan warga pemilik hak ulayat.

“Kami yang memiliki hutan, bukan orang atau pihak lain.”

Masyarakat juga sudah memiliki koperasi serba usaha yang diberi nama “Iska Bekai” lengkap dengan perizinan dari pemerintah daerah. Mereka berharap, pemerintah dapat memberikan kemudahan kepada perusahaan untuk membuka hutan demi pembangunan kebun sawit masyarakat.

Pemerintah dan perusahaan diminta tak mendengar organisasi masyarakat yang bersifat menghasut dengan alasan menyelamatkan lingkungan.

“Kami yang harus diselamatkan dari kehidupan pola lama menjadi manusia baru,” tulis warga.

Dari Kampung Yalhak, pernyataan ditandatangani sektretaris kampung: Sefnat Mahuze, tokoh adat: Yulianus Yaimahe, tokoh agama: Charles Yaimahe, sekretaris II koperasi Iska Bekai: Melianus Kaize.

“Kami tidak sepaham dengan masuknya LSM atau NGO yang menekan perusahaan PT Dongin Prabhawa, hingga berakibat terhentinya pembukaan lahan termasuk pembangunan kebun masyarakat. Kami sebagai pemilik hak ulayat yang harus diperhatikan.”

Mereka berharap, pemerintah kabupaten Merauke membantu menyelesaikan permasalahan tekanan LSM kepada perusahaan ini, dengan memfasilitasi pembukaan hutan untuk perusahaan dan mewujudkan peningkatan kesejahteraan warga.

Dalam surat itu, sembilan marga yang tergabung dalam areal PT Dongin Prabhawa menulis, mereka sudah pernah studi banding ke Sumatera Barat dan ingin mengubah hidup seperti saudara-saudara di luar Papua.

“Saya Ketua Marga Gebze Dinaulik sangat mengharapkan supaya jangan ganggu kami. Kami mau maju,” tulis Simon Kumbu Dinaulik.

 

Pertemuan aneh

John Gobai, dari Koalisi Peduli Korban Investasi di Tanah Papua angkat bicara. Dia mengatakan tindakan pemerintah daerah dengan menggelar pertemuan di Jakarta merupakan hal aneh dan bertentangan dengan UU Nomor 21/2001, tentang Otonomi Khusus Papua.

“Bagi saya ini aneh dan pola lama. Yang benar itu bicara di kampung. Biar mau ribut kah, mau berdebat atau bermusyawarah, tetap dilakukan di kampung. Jangan kooptasi hak masyarakat adat,” katanya.

Tanah itu, katanya,  memang milik Marga Gebze, Kaize, Mahuze, dan seterusnya, termasuk Bupati Frederikus Gebze.

Namun dia mengingatkan, jabatan bupati hanya lima tahun, sementara masyarakat hidup berpuluh-puluh tahun. Sebaiknya, tetap juga mendengarkan suara yang protes sawit.

Soal pernyataan sikap masyarakat adat dan surat kepada LSM agar tak mengganggu perusahaan membuka lahan plasma di ulayat mereka, katanya, biasa terjadi di berbagai tempat.

Dia balik bertanya,”Apakah orang Papua bisa mengelola sawit atau justru menguntungkan petani sawit asal non Papua?”

Gobai bilang, dimana-mana investasi pasti ada pro dan kontra. “Itu memang tercipta dan diciptakan. Bupati harusnya jadi mediator aktif untuk semua masyarakat, bukan malah berat sebelah,” katanya.

Bagi dia, orang yang menerima sawit adalah yang masih merasakan manisnya investor. “Yang merasakan pahit belum sekarang, yang menderita mendapatkan pahit itu justru anak dan cucu mereka.”

 

Surat pernyataan sikap yang diprotes Kepala Kampung Nakias, Melkor Wayoken.

 

 

 

***

Korindo lewat sayap perusahaan, PT Tunas Sawaerma (TSE) bikin komitmen moratorium, seperti terpantau dari website Musim Mas, salah satu pembeli sawit Korindo.

Dalam website itu, menyebutkan, pada 10 November 2016, TSE, memperpanjang kajian moratorium dan mempublikasikan pemberhentian pengembangan lahan melibatkan PT Tunas Sawaerma, PT Berkat Cipta Abadi dan PT Dongin Prabhawa.

Awal mulai, TSE bikin kebijakan moratorium pengembangan lahan baru pada 9 Agustus 2016. Pada Oktober 2016, TSE mempublikasikan kebijakan keberlanjutan baru.  Kebijakan ini mencakup kegiatan operasional di Indonesia yang langsung dikelola TSE.

Pada 1 September 2016, tiga organisasi merilis laporan berjudul, Burning Paradise: Palm Oil in The Land of the Tree Kangaroo. Ketiga organisasi ini, adalah Migthy, organisasi kampanye lingkungan global dan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung (SKP-KAMe), merupakan kelompok kemanusiaan di Merauke, Papua. Juga Yayasan Pusaka, adalah organisasi nirlaba di Indonesia, dengan fokus riset dan advokasi hak-hak masyarakat adat.

Riset mereka sejak 2013 hingga Juni 2016, dengan menelusuri fakta-fakta Korindo ini lewat citra satelit, video dan foto-foto dari lapangan langsung atau lewat drone (pesawat tanpa awak).

Dari sana, terlihat bagaimana kawasan yang dulu berhutan, kini tinggal lapangan luas.  Sebagian lahan, sudah ditanami sawit, bagian lain masih hamparan kosong.

Dari video, terlihat alat-alat berat bekerja membersihkan lahan. Kayu-kayu bagus dikumpulkan. Stacking dibuat,  berupa jalur berisi tumpukan kayu-kayu kecil.

Setelah tahu fakta-fakta ini, pembeli Korindo, seperti Wilmar dan Musim Mas, menyetop sementara pasokan sawit perusahaan sampai ada perbaikan. Korindo pun mengumumkan moratorium.

Pada pertemuan di Jakarta 24 Juli itu, dari Korindo, tak ada menjelaskan perkembangan tata kelola lahan konsesi pada masa moratorium.

Perwakilan Korindo, Lee Jong Myeong, Managing Director PT Tunas Sawaerma,  hanya cerita soal pengalaman di Papua. Dia seakan ingin meyakinkan kalau dia mengerti Papua.

Lee bilang, sudah ke Papua, sejak 1992. Awal masuk Papua, keamanan tak terjamin. “OPM (Organisasi Papua Merdeka-red)  itu terlalu banyak di tengah-tengah perusahaan. Putera daerah tak tenang, apalagi pendatang. Apalagi orang asing,” katanya.

Pada 2001, ada 15 orang kena sandera, salah satu dia. “Selama 21 hari tertahan di hutan bersama OPM tapi kami tetap bertahan.”

Dia merasa berpengalaman di Papua. “Jadi kami banyak makan asam garam di Papua. Saya berani bicara,” katanya tanpa merespon warga yang ingin lahan plasma segera dibuka.

Lee bilang, punya usaha di Papua, bukan satu dua tahun tetapi sudah 35 tahun jadi harus meningkatkan kepedulian terhadap masyarakat.

“Itu yang kita upayakan selama ini,” katanya, seraya panjang lebar menjelaskan soal bantuan pendidikan dan kesehatan yang sudah perusahaan berikan kepada warga Papua.

Lalu dia mempersilakan datang ke Papua, kalau ingin tahu informasi dengan benar. “Kita akan senang hati dan terbuka.”

Usia pertemuan, kala Mongabay bertanya soal perkembangan moratorium hutan pun, dia tak mau berkomentar.

Malah yang cukup panjang lebar menceritakan upaya perusahaan dalam masa moratorium adalah Nyoto Santoso, Kepala Departemen Konservasi, Fakultas Kehutanan, IPB.  Dia juga menyalahkan organisasi masyarakat sipil yang mengeluarkan riset dan menuding mereka mengada-ngada untuk cari masalah perusahaan.

Nyoto menceritakan, Korindo penjual minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ke perusahaan-perusahaan anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) seperti Musim Mas. Meskipun Korindo bukan anggota RSPO, tetapi produk sawit yang perusahaan beli harus sesuai syarat RSPO.

RSPO wajibkan kalau mau jadi anggota harus ada penilaian kawasan bernilai konservasi tinggi (HCV) dan kawasan bernilai karbon tinggi (high carbon stock/HCS).

Laporan Mighty, katanya, menyoroti Korindo pada banyak hal, seperti kebakaran lahan, dan deforestasi. “Isu pertama (kebakaran) itu tak terbukti,” katanya kepada Mongabay, usai pertemuan.

Isu kedua, pemahaman deforestasi, katanya, jadi bumerang karena areal yang dibangun awalnya hak pengusahaan hutan (HPH) juga milik Korindo. Setelah kayu ditebang, pemerintah berikan izin kebun.

“Dalam pandangan NGO itu masih hutan.”

Dia bilang kalau cek ke lapangan kayu besar tak ada lagi. “Kalau main di karbon kan rendah.” Namun, dia akui juga masih ada wilayah berkayu tinggi. “Disitulah yang terjadi tuduhan deforestasi.”

Bagi dia, hal seperti itu seharusnya tak masuk sebutan deforestasi. “Mengapa? Karena untuk hukum di Indonesia, semua legal dan clear. Cuma dari persepsi internasional kan seperti itu. Hingga buyer tak mau beli CPO,” katanya.

Dia bilang, telah mendatangi organisasi-organisasi non pemerintah yang terlibat dalam penelitian guna menggali masalah Korindo. “Karbon tinggi, kita lakukan. FPIC (free prior and informed consent-red) juga kita lakukan.  Semua setuju, malah minta plasma percepat.”

Kini, aturan pemerintah bilang masyarakat harus mendapatkan plasma 20% dari konsesi. “Oke, kita beri plasma, tapi tak bisa buka. Masyarakat menuntut kepada NGO agar segera dibuka.”

Dia beralasan, karena organisasi masyarakat sipil mendesak Korindo lakukan moratorium hingga perusahaan tak bisa buka lahan, termasuk buat plasma.

“Ini potret kita hadapi seperti ini. Korindo tak bisa jual. Kita diancam agar tak laku dijual di dunia. Ini lebih jahat dibanding teroris. Ini upaya satu pihak tekan pihak lain. Satu pihak jerumuskan pihak lain. Harusnya nasional satu pihak, satu suara,” katanya dalam pertemuan.

 

Kayu-kayu bagus hasil pembersihan hutan buat kebun sawit dikumpulkan dan menjadi nilai ekonomi tersendiri. Foto: dari laporan Burning Paradise: Palm Oil in The Land of the Tree Kangaroo.

 

Dia juga mengklaim masyarakat sebagai pemilik daerah dan pemda setuju. “Tata ruang sudah oke. Clear semua,” katanya, seraya bilang, moratorium sampai Oktober tahun ini.

Sisi lain, kata Nyoto, pemerintah mestinya berdiri di depan nyatakan, perusahaan tak ada masalah. “Kalau moratorium gini, berkuasa mana, LSM dengan pemerintah? Akhirnya, lebih berkuasa LSM kan?  Ini yang perlu kita luruskan,” katanya, sambil katakan NGO luar negeri tak semua memahami hukum Indonesia.

Dia menuding, pemerintah tak paham dan lalai mengawal kebijakan mereka sendiri. Kalau tak boleh buat kebun, katanya, jangan berikan izin sawit dan tak melepas kawasan hutan.

“Mestinya kan begitu. Saya berulangkali bilang ke pemerintah harus konsisten dalam bikin kebijakan itu. Ini gak konsisten. Ini ada yang dimoratorium, diem saja.”

 

Sesat pikir moratorium

Pastor Anselmus Amo, Direktur SKP KAMe-Merauke, menanggapi. Katanya, terjadi sesat pikir tentang moratorium.

“Moratorium, tak diberikan oleh NGO. Ini statemen yang menyesatkan, yang disampaikan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab,” katanya, dalam rilis media, Rabu (9/8/17).

Menurut Pastor Amo, ada gugatan oleh NGO terhadap aktivitas perusahaan yang membuka lahan dengan cara membakar lahan, yang dilarang oleh aturan pemerintah. “Sayang sekali bila pemerintah daerah agak ‘tutup mata’ dengan hal ini.”

Ketidakpedulian pemerintah daerah, katanya, sudah tersistematis, jadi walaupun bupati bicara hal baik bagi warga, belum tentu berjalan baik oleh pelaksana teknis.

“NGO menggugat perusahaan karena ada pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan. Bila perusahaan memperhatikan HAM dan lingkungan, tak mungkin ada gugatan NGO.”

Senada Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch. Dia mengatakan, jangan menyesatkan pola pikir masyarakat dengan alasan moratorium.

Kebun plasma, katanya,  harus diberikan perusahaan kepada masyarakat sesuai UU Perkebunan No 39/2014. Jadi, katanya,  tak ada alasan bagi perusahaan tak membangun kebun plasma. Apalagi Korindo Grup sejak lama di Merauke dan Boven Digoel.

“Seharusnya sekarang sudah ada kebun plasma untuk masyarakat. Pertanyaannya, selama ini kemana saja dan kenapa tak bangun kebun plasma untuk masyarakat?  Jadi, jangan gunakan moratorium sebagai alasan untuk tak membangun kebun plasma.”

 

 

 

***

Siang itu, Melkor Wayoken, laki-laki  53 tahun Kepala Kampung Nakias juga pemilik ulayat Dusun Maam, terlihat berkaca-kaca.

Sesekali dia membolak balik sebuah koran lokal di Jayapura dan membaca komentar beberapa perwakilan masyarakat yang menolak LSM yang dituding menyulitkan Dongin Prabawa, beroperasi di Distrik Ngguti, Dusun Maam.

Warga yang bicara di koran itu adalah Sekretaris Kampung Nakias, Simon Walinaulik, Abraham Yolmen, Demianus Blamen dan Yohanes Samkakai.

Menurut Wayoken,  apa yang mereka laporkan sama sekali tidak benar.  Wayoken hampir menangis saat Mongabay wawancara. Dia langsung mengecek informasi di koran.

Dia heran mereka  bisa mewakili penduduk Nakias. Dia sendiri adalah Kepala Kampung Nakias. “Mereka tak berhak mewakili masyarakat,” kata pria yang juga Kepala Adat Kampung Nakias ini.

Semestinya,  dia mendapat informasi segala persoalan menyangkut Dusun Maam,  termasuk pertemuan di Jakarta.

Dia jengkel, kala undangan, melalui pesan singkatpun tak dia terima, sebagai aparat pemerintah paling bawah, tiba-tiba ada orang Kampung Nakias dan Kampung Tagaepe, muncul mengatasnamakan warga.

“Pertemuan itu dalam rangka apa? Utusan dari siapa?  Benarkah mewakili pemilik adat atau tidak?”

Wayoken mengatakan, kebun berada dalam wilayah masyarakat Maam, milik Kampung Nakias, Tagaepe, Salamepe, Banabepe. Pemilik sah dusun itu Ny. Elisabeth Ndiwaen dan Mariana Walinaulik, tetapi mereka tak ikut dalam pertemuan itu.

Sebagai pemerintah Kampung Nakias, dia kesal ada yang mengaku wakil warga mengatakan, Dusun Maam, dan beberapa kampung sekitar sudah sejahtera.

“Kata itu tepatnya untuk perusahaan sendiri, karyawan yang ada dalam perusahaan ini yang menikmati kesejahteraan.”

Dia beberkan, warga hidup dalam keterbatasan, termasuk Pemerintah Kampung Nakias juga. Sekolah SD YPK di Nakias, dalam kondisi miris. Rumput hampir setinggi ruang kelas. Perusahaan tak pernah melirik sekolah di Kampung Nakias.

“Yang sejahtera hanya karyawan di Maam, menyekolahkan anak SD, bus selalu siap mengantar jemput. Anak karyawan saja. Anak-anak Kampung Nakias tak ada sekolah di Nakias, Tagaepe, Salamepe atau Boepe. Tidak pernah diperhatikan perusahaan juga,” katanya.

Wayoken kritis terhadap kehadiran sawit di kampung mereka. Dalam rapat pembentukan koperasi dia juga menyampaikan kepada pengurus—semua orang Papua–, bahwa, perusahaan tak memperhatikan orang di Maam.

Wayoken mengibaratkan, warga di Maam seperti ayam bertelur di padi, tetapi mati kelaparan. “Mereka berenang tapi mati kahausan,” katanya dan berharap, kepala daerah memperhatikan warga bukan kepentingan pribadi.

Warga Maam, katanya, sudah menolak perusahaan ini puluhan kali tetapi mereka bercokol. Kalau warga protes, katanya, mereka panggil aparat keamanan.

”Kami orang Marind punya aturan.  Dusun Maam adalah tempat sakral orang Marind, tempat mencari makan semua orang Marind.”

Serupa ungkapan Elisabet Ndiwaen, perempuan asal Kampung Nakias. Dia tak setuju PT. Dongin Prabhawa masuk tanpa kesepakatan.

“Saya sebagai pemilik hak ulayat apapun tetap pertahankan hak dan berbicara kebenaran,” katanya.

Dulu, katanya, dia penentang Bupati Merauke Romanus Mbaraka,  kala menjabat karena memperbolehkan perusahaan masuk.

 

zin-izin sawit di Boven Digoel. Sumber dari Atlas Sawit Papua

 

Dongin Prabhawa, katanya, masuk ilegal karena melecehkan hak Marga Dinaulik.

“Sampai pembagian uang di Kampung Tagaepe, belum tahu hingga sekarang siapa yang menerima. Kami, Marga Dinaulik tak pernah ambil uang itu. Tak tahu perwakilan dari mana. Jadi yang terima uang atas nama Marga Dinaulik ini kami tidak tahu.”

Dia terus menentang sawit masuk demi anak cucu. “Bukan saya punya anak cucu saja tetapi semua orang Marind.”

Koperasi terbentuk pada 2009, dia tetap menolak. Koperasi tersendat karena perusahaan mau memperluas kebun di Maam dengan alasan masuk wilayah hak guna usaha (HGU).

Dinaulik menentang perluasan lahan Maam dengan cara meminta hutan lagi. Dia tak setuju pembongkaran hutan dengan alasan dalam HGU sudah mencantumkan lahan koperasi.

“Saya pasti lawan perusahaan sampai titik darah penghabisan kalau pembangunan demi koperasi mau bongkar hutan lagi. Hutan sudah habis. Cukup sudah perusahaan menipu.”

Dia tak mau hutan terbongkar lagi. Walau kebiasaan disana, perempuan tak punya hak berbicara tentang tanah tetapi warisan leluhur milik Dinaulik.

“Semua warga Marind punya hak juga, termasuk cucu Marga Dinaulik. Cukup sudah hutan dibongkar demi kemauan perusahaan.”

“Kami perempuan tetap bersuara, untuk pertahankan hak kami karena ahli waris dari leluhur kami,” katanya sambil meminta bupati, sebagai anak adat orang Marind agar menyelesaikan masalah ini.

Soal LSM atau NGO masuk ke sana, katanya, malah mereka yang mengundang datang karena khawatir hutan bakal habis.

“Kami yang mengundang mereka, karena kami merasa sandaran kami sudah tidak ada lagi. Siapapun orangnya, tidak boleh batasi LSM Karen mereka (bekerja) untuk masyarakat. Bila perusahaan atau pemerintah tak mampu selesaikan merekalah yang kita datangkan.”

Mariana Dinaulik, tokoh perempuan asal Kampung Nakias, pemilik Dusun Maam mengatakan, bosan menghadapi Dongin Prabhawa dan Pemda Merauke.

Dia berharap, presiden turun ke Merauke menyelesaikan masalah ini. “Jangan hanya LSM tetapi presiden.”

Pada Hari Masyarakat Adat Internasional, 9 Agustus 2017, komunitas adat dan organisasi masyarakat sipil, termasuk media di Papua, bikin pernyataan bersama antara lain, soal Korindo.

Mereka dari masyarakat adat Kampung Nakias, Tagaepe, Ihalik, Wambon Tekamerop, SKP KAMe, Sawit Watch, Yayasan Pusaka, Papuan Voices, Belantara Papua, SKPKC Fransiskan Papua, Garda Papua, Suara Papua, Tabloid Jubi, Yayasan Teratai Hati Papua (YTHP), Forum Independen Mahasiswa Papua, PMKRI Cabang Merauke.

Melkor Wayoken datang juga. Dia kesal, ada oknum aparat Kampung Nakias menyamar jadi kepala kampung dan menandatangani surat pernyataan lalu pakai cap pemerintah Kampung Nakias.

Pernyataan itu, katanya,  dibuat tanpa sepengetahuan dia sebagai kepala kampung. “Lalu dorang pergi dengan rombongan Bupati Merauke dan Bupati Boven Digoel buat pertemuan di Jakarta. Saya jelas tidak terima, kalau memang dorang tahu saya ada di sini kenapa dorang tidak panggil saya sebagai pemerintah kampung yang punya wilayah di mana perusahaan bekerja?” katanya dalam rilis.

“Saya ini dipilih oleh masyarakat Kampung Nakias. Dorang tahu saya berada di Merauke tetapi dorang tidak panggil saya.”

 

Sawit di Merauke, antara lain ada grup Korindo. Foto dari Atlas Sawit Papua

 

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,