Belasan Satwa Ini Hasil Sitaan dari Jualan Online di Yogyakarta

 

Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jawa Bali dan Nusa Tenggara (Jabalnusra)  bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) serta Polda Yogyakarta menangkap pelaku perdagangan satwa Wi (37), warga Potorono, Banguntapan, Bantul, Jumat (4/8/17).

Petugas menyita 13 satwa, ada yang dilindungi, ada yang tidak. Satwa-satwa itu seperti lima kucing hutan dan dua jelarang. Lalu, masing-masing satu trenggiling, binturung, alap-alap, landak, dan garangan Jawa dan selembar kulit kandil. Dua kucing hutan mati.

“Pelaku diserahkan ke Polda, barang bukti dititipkan di Lembaga Konservasi Wildlife Rescue Center Yogyakarta hingga pelimpahan di kejaksaan,” kata Tri Saksono, Kepala Seksi Wilayah II Balai Gakkum (KLHK) Jabalnusra di Wildlife Rescue Centre (WRC) Kulon Progo, Yogyakarta Senin pekan lalu.

Tri mengatakan, penangkapan bekerja sama pula dengan Centre for Orangutan Protection (COP) yang telah menelusuri terlebih dahulu pelaku mulai temuan dugaan jual beli satwa melalu media sosial Facebook selama dua bulan, hingga penangkapan.

Sebelumnya, dilakukan komunikasi dengan pelaku melalui Facebook dengan menyamar sebagai pembeli. Setelah berhasil janjian bertemu, pelaku pun diamankan bersama barang bukti.

Pelaku, katanya, menaruh satwa di depan rumah yang jauh dari keramaian. Hingga kini, masih ada jaringan pelaku masih terus ditelurusi. “Pemasok satwa ke pelaku belum tertangkap. Pembeli mayoritas penyuka satwa,” katanya.

Kedepan, Gakkum dan BKSDA akan lebih aktif sosialiasi terhadap jasa pengiriman barang dan mengimbau barang dan armada angkutan lebih selektif dan selalu pengecekan. Mereka juga diminta melaporkan kala ada satwa dilindungi.
Pelakupun terjerat UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal Rp100 juta.

Tri bilang, perdagangan satwa liar memang seperti peredaran narkoba. Para pelaku berjejaring dan memiliki kode-kode tertentu jika ada rekan tertangkap. Para pelaku mempunyai grup di sosial media dan aplikasi pesan singkat di ponsel pintar.

“Rekan-rekannya di satu grup media sosial langsung keluar jika ada rekan tertangkap.”

 

Satwa sitaan dari jualan online. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Purwanto, Koordinator Polisi Hutan BKSDA Yogyakarta, mengatakan, satwa dititipkan di WRC Kulonprogo sampai pemberkasan dilimpahkan ke kejaksaan.

 

Dalam pengamatan BKSDA, trasanksi satwa di Yogyakarta tergolong tinggi. Kategori ini berdasarkan pengungkapan kasus dalam setahun terakhir ada tiga. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan Jawa Timur 18 kasus, yakni 17 elang, kini di Lembaga Konservasi di Mojangan.

Selama ini, satwa dagangan dari luar, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat, bahkan beberapa dari luar Jawa.

Soal transaksi di media online, kata Purnomo, sudah jadi cara lima tahun lalu, namun dalam tiga tahun terakhir antara pembeli dan penjual tak ingin bertemu langsung. Mereka mengandalkan pembayaran non tunai dan pengiriman.

Heri Susanto, Anti Wildlife Crime Coodinator Center for Orangutan Protection (COP) mengatakan, jaringan penjualan satwa ini panjang. Jika ditangkap satu, langsung terputus.

“Dari kasus yang COP tangani, paling lama hukuman 1,8 bulan untuk kasus perdagangan orangutan di Jakarta. Kasus ini kami mendorong menghukum maksimal,” katanya.

Randy Kusuma, Manager Konservasi WRC Yogyakarta, mengatakan, kedua kucing hutan yang mati memang parah ketika pertama kali tiba. Usia sekitar 1-2 bulan mengalami dehidrasi akut. Satunya belum sampai satu minggu dan keduanya hanya bisa bertahan sampai Sabtu pagi. Dua kucing hutan lain sehat dan satu kucing hutan bayi masih perawatan intensif.

“Satwa lain yang harus diperhatikan ekstra binturong. Ketika datang di WRC, kulit wajah mengelupas dan mata bengkak.”

Satwa lain yang memerlukan perawatan ekstra yakni elang alap-alap, salah satu sayap tampak janggal diduga patah tulang atupun retak. Dalam waktu dekat,  WRC akan rongent elang itu.

 

Satwa-satwa sitaan kebanyakan berasal dari luar Yogyakarta. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,