Buah Manis Bertani Organik di Pancuang Taba

 

 

Udara dingin terasa saat memasuki Kanagarian Pancuang Taba, Kecamatan IV Nagari Bayang Utara, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Deretan perbukitan berjejer mengelilingi nagari yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) ini.

Hutan rimbun senantiasa menjaga dari berbagai ancaman bencana alam. Kala kemarau, tak pernah alami kekeringan, begitupun penghujan, tak ada banjir. Hutan terjaga membuat pasokan air bersih tak pernah surut. Air pegunungan senantiasa mengalir ke pipa-pipa warga memenuhi kebutuhan air bersih buat keperluan minum, mandi, mencuci dan lain-lain.

Pancuang Taba di kelilingi perbukitan dan pesawahan cukup luas. Berbagai tanaman perkebunan ada seperti karet, kopi sampai kemiri.

Hasil bumi tak hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri juga dijual ke pasar-pasar tradisional.

Dalam bercocok tanam, sejak dulu masyarakat Pancuang Taba mengenal sistem pertanian organik. Mereka terbiasa pakai bahan-bahan alami dari sekitar mereka. Seiring pupuk-pupuk kimia, masuk, kebiasaan mulai bergeser.

“Dari dulu orangtua kami sudah bertanam organik, semua tanaman semak di pinggir sawah itu selalu dimasukkan ke sawah untuk jadi pupuk organik begitupun kotoran sapi,” kata Asrul Norman, Wali Nagari Pancuang taba, pekan lalu.

Sayangnya, dengan masuk pengaruh pupuk kimia, masyarakat mulai tergiur dan meninggalkan pupuk alami.

Bertahun-tahun bercocok tanam pakai pupuk kimia, sekarang petani di Pancuang Taba, berangsur ke pertanian organik. KKI Warsi dan Perkumpulan Pertanian Organik (PPO) Sariak Alahan Tigo (Santiago), lakukan pendampingan beberapa bulan terakhir.

Hesriyeldi,  Ketua PPO Santiago mengatakan,  sebelum pertanian organik, tim PPO terlebih dahulu penilaian untuk melihat kondisi setempat.

“Waktu penilaian awal kita mulai mendatangi sawah dan lihat, ternyata paling signifikan dan bertentangan dengan versi budidaya PPO adalah pengelolaan tata air terlalu banyak, boros. Dengan air terlalu tergenang unsur hara bisa hanyut hingga pertumbuhan padi dari segi anakan kurang,” katanya.

Setelah penilaian baru memperkenalkan sistem pertanian organik pada September 2016. Kala itu,  ada 35 petani ikut praktik lapangan da terapkan di sawah masing-masing.  Bibit diambil dari lahan masyarakat sendiri dengan kriteria bebas hama penyakit, pertumbuhan bagus, sehat dan seragam.

“Pilih bibit lokal karena adaptasi iklim padi tumbuh disini sudah cocok dengan iklim disini, rasanya disukai masyarakat, namanya padi seway. Ini padi endemik sangat bagus dan segi rasa sangat disukai masyarakat,” katanya.

Untuk pemupukan, diambilkan dari kotoran sapi. Kandang sapi langsung dekat sawah. Kala panen tiba, semua kotoran sapi kering dikirim ke sawah.

 

Petani mulai tanam padi organik. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

 

Panen meningkat

Murhadi Irianto, warga setempat sudah menerapkan pertanian organik. Dia menilai, sawah lebih stabil dan meningkatkan hasil panen serta turunkan biaya produksi.

“Dulu saat kemarau tanah kering dan rekat-retak, retakan cukup besar, sebesar kepalan tangan. Begitupun sebaliknya ketika hujan, sawah tergenang, kita tidak bisa  jalan di pematang sawah, karena datar oleh air,” katanya seraya bilang, sejak tanam organik, retakan tanah tak seberapa saat kemarau.

Sejak dulu,  petani Pancuang Taba sudah mengenal hama padi bisa terbasmi hanya dengan  mengelola sistem pengairan. “Ketika kami keringkan sawah tiga hari, ulat ini hilang, lalu masukkan air lagi. Walau kering tiga hari tak ada keretakan tanah dan musuh alami mati. Ini menghemat, hanya mengeringkan.  Artinya, sumber air ditutup sementara.”

Selama ini, katanya, ada musuh padi yang sangat ditakuti petani yakni lumut. “Seperti ini lumut, ternyata kandungan N (Nitrogen) lebih tinggi lagi dari bahan organik lain. Sebelum ini, tak bisa dimanfaatkan oleh masyarakat karena tak tau ilmunya,” katanya.

Sejak berorganik, petani tak tergantung pupuk kimia. Kalau selama ini mulai nyemai sudah tergantung pupuk, setelah organik tak ada sama sekali. Kelangkaan pupuk pun tak berimbas kepada petani.

Dari hasil panen juga mengalami peningkatan. Dari pengolahan non organik hanya 4,5 ton perhektar, olahan sawah organik bisa 5,8 ton perhektar.

Produksi ini lebih besar dari panen rata-rata di Pesisir Selatan hanya 4,5 ton perhektar. Dari kualitas, beras organik lebih berat dari beras biasa.

“Berorganik tak sulit karena memanfaatkan segala sumber daya sekeliling termasuk kelebihan sisa makanan ternak, kelebihan sayur, kelebihan sisa pembakaran.  Semua sisa-sisa. Ada sisa perkebunan, sampah sisa kulit manis, kulit pinang, itu sangat membantu.”

Raynald Daus, Manajer Advokasi dan Kebijakan Warsi, mengatakan, ada beberapa kegiatan Warsi bersama-sama masyarakat, seperti pengembangan pertanian organik.

Pengembangan pertanian organik ini, katanya,  perlu didukung beberapa inisiatif lain misal, pengelolaan biogas.

“Harapan kami sebisa mungkin pengelolaan sawah termasuk ladang di Pacuang Taba dalam satu dua tahun ke depan sudah memakai sistem pertanian organik.

 

Hamparan sawah organik di kelilingi hutan. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,