Kala Kondisi Sungai-sungai di Jambi Makin Memprihatinkan

 

Sungai-sungai di Jambi menghidupi jutaan orang dan tempat hidup beragam ikan air tawar. Sayangnya, kondisi kini makin menyedihkan tercemar beragam limbah.

 

William Marsden, menyebutkan, tak ada tempat lain di dunia dengan suplai air lebih baik dari pesisir barat Pulau Sumatera.  Mata air banyak di mana-mana. Sungai tak terhitung dengan dominasi kecil dan arus terlalu deras buat diarungi.

Dalam buku The History of Sumatra itu, Marsden, menyatakan, gunung-gunung tersebar sampai ke tepi Pulau Sumatera, bikin banyak aliran sungai dan alam membatasi ukuran hingga sungai rata-rata kecil dan berarus deras.

Kondisi berbeda di pesisir timur, jarak perbukitan lebih jauh membuat sungai bergerak bebas dengan aliran lebih besar. Sungai-sungai ini mampu menampung banyak air hujan dan menjadi muara berbagai aliran anak sungai.

Kekaguman Marsden akan Sumatera mulai saat dia datang pada 1771. Hidup di Belanda dengan daratan di bawah air laut, merupakan hal mengesankan bagi Marsden menjelajahi alam Sumatera.

Berpangkal dari hulu Gunung Rasan, Sumatera Barat, Sungai Batanghari, terus mengalir ke selatan sampai ke Sungai Pagu, sebelum berbelok ke timur sepanjang 800 kilometer.

Aliran sungai ini melalui hutan hujan nan lebat di Taman Nasional Kerinci Seblat, di barat Sumatera dan peradaban Melayu di Jambi. Berkelok ratusan kilometer sungai ini membentuk perbatasan antara Sumatera Barat dan Jambi.

Di Batanghari, sungai ini menyatukan beberapa anak sungai yang jadi simbol sejarah peradaban Suku Anak Dalam, sebelum akhirnya lepas ke perairan timur Sumatera.

Sungai Batanghari menyimpan ragam hayati terbesar di Jambi. Aliran sangat penting, sebagai kolam dalam peyangga kehidupan jutaan ikan dari 300 spesies yang hidup disana, antara lain juaro, baung, toman, gabus, bujuk, tapah dan patin. Aligator fish juga hidup disini.

Patin, sering dibuat gulai kuning, tak jarang tersaji dengan sambal tempoyak. Sajian khas Jambi memadukan sambal cabai merah dengan fermentasi durian, menu masakan Melayu, sudah turun-temurun.

Tejo Sukmono, peneliti biologi dari Universitas Jambi menghabiskan banyak waktu riset spesies ikan air tawar Indonesia. “Sungai adalah perairan air tawar jumlahnya satu persen, tetapi menyimpan keragaman tak jauh beda dengan laut,” katanya.

Begitu juga, Sungai Batanghari, adalah bagian penting habitat ikan air tawar di Jambi. “Itu sebabnya Jambi menjadi hotspot ikan air tawar.”

Namun, katanya, kebijakan dalam dua dekade terakhir, membuat kondisi sungai berubah.  Banyak tutupan hutan di hulu jadi perkebunan sawit, tandus.

Petambangan emas di sungai makin meluas. Sungai Batanghari, sebagai muara anak sungai mulai berair keruh. Perubahan kondisi sungai mempengaruhi kehidupan di dalamnya. “Karena fisologi terganggu, pertumbuhan ikan terganggu, reproduksi juga ikut terganggu,” ucap Tedjo.

Ikan-ikan berukuran besar mulai sulit terlihat di perairan Sungai Batanghari. Sebagian ikan pindah mencari tempat lebih baik.

Alat transportasi, salah satu aktivitas di sungai-sungai di Jambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Darman berdiri di ujung perahu. Kaki beberapa kali menghentak mencari keseimbangan di atas perahu yang hanya cukup untuk duduk bersila. Darman berulang kali melempar jala ke Sungai Tembesi.

Satu kali… dua..tiga, belasan kali.

Tak ada ikan terperangkap dalam jala. Perahu bergerak ke tepi, lalu kembali ke tengah.

Belasan tahun, Darman mencari ikan di Sungai Tembesi, muara Sungai Batang Limun dan Sungai Batang Asai guna keperluan sehari-hari dan sekolah dua anak. “Nyo ni lah gawe, lah lamo. Kini, susah cari ikan dak macam dulu,” katanya.

Sejak beberapa tahun belakangan, hasil tangkapan Darman berkurang, terkadang tak sampai 10 kg, terlebih ikan-ikan besar.

Sebagian besar ikan tangkapan dijual ke pedagang di Pasar Atas Sarolangun. Marpuah,  10 tahun lebih berjualan ikan sungai di Pasar Atas. Lapak kecil punya banyak pelanggan. Dia menjual ikan-ikan sungai sering berganti, sesuai tangkapan warga macam Darman.

“Payah cari ikan kini. Dapat 10 kilo susah,” katanya. “Banyak suko ikan sunge, dagingnyo tu lebih manis,” katanya.

Ikan-ikan sungai dijual sesuai jenis, tetapi patin dan tapah menduduki harga termahal, Rp150.000 perkg. Ikan-ikan yang tak habis terjual jadi salai (asapan).

Afrizal,  warga Mendalo Laut, mengingat-ingat masa kecil kala bermain di sungai. Tigapuluh tahun silam Sungai Batanghari merupakan tempat paling menyenangkan, berair jernih dengan banyak ikan.

“Kalau dulu aeknyo biso diminum, kalau orang nak (mau) minumnyo, minum. Kalau sekarang kotor nian, keruh macam susu,” katanya.

“Dulu enak cari ikan, musuhnyo dak do. Dak do orang pakek lanen (racun ikan),” kata Afrizal. “Patin, toman dulu banyak. Seluang, lambak, kapiyat, mentulu, juaro, baung, ikan sitam, tapi susah sekarang, dak do lagi.”

 

Tambang emas dan pencemaran sungai

Masyarakat Jambi, mulai menambang emas jauh sebelum Marsden datang ke Sumatera. Wilayah Limun—kini satu kecamatan di Sarolangun—menjadi pusat pertambangan emas di tengah Sumatera.

Namun, Marsden berpendapat, wilayah Dharmasraya di bagian barat Sumatera, punya kualitas emas lebih baik.

Tigaratus tahun berselang setelah kedatangan Marsden, penambangan emas di Limun, terus berlangsung. Emas ditambang ilegal, jauh dari cara-cara tradisional. Puluhan alat berat bergerak menggali tanah, menciptakan cekungan-cekungan besar pada lanskap yang luar biasa luas. Saat daratan Limun mulai habis tergali, mereka beralih ke sungai.

 

Banyak sungai di Jambi, jadi tambang emas. Pencemaran makin parah. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

​Berpuluh-puluh kilometer dari tempat Darman menangkap ikan, para penambang emas di Kecamatan Limun dan  Batang Asai terus menjamur. Jumlah kian sulit dihitung.

“Di dusun kami ado ratusan, kalau dompeng di sungai ko ado-adolah tapi dak banyak macam di darat,” kata Solihin, pemuda Limun yang kadang bekerja dompeng—sebutan umum untuk penambang emas.

Tambang emas merusak struktur tanah. Muka tanah menjadi bebatuan putih yang semula berada di kedalaman belasan meter. Tepi sungai Batang Limun juga pora-poranda akibat tambang. Erosi besar-besaran terjadi. Sungai-sungai jadi dangkal banjir bebatuan, lubuk larangan tempat budidaya ikan hancur.

Analisis Citra Lansat TM 8 tahun 2016 oleh GIS Warsi, menemukan kerusakan hebat di sepanjang alur sungai, luas diperkirakan 10.926 hektar, 6.370 hektar di Kabupaten Sarolangun.

Kerusakan sungai tak sebatas erosi, tetapi limbah merkuri dibuang para penambang ke sungai jadi ancaman serius.

Pada 17 Juli, Dinas Lingkungan Hidup Sarolangun,  melayangkan surat edaran bernomor 666/235/DLH/2017,  pada Camat Limun, Camat Batang Asai dan Camat Cerminan Gedang.

Surat edaran berisi imbauan agar masyarakat di tiga kecamatan tak lagi minum, mandi dan mencuci pakai air sungai Batang Limun dan Batang Asai.

Hasil uji laboratorium merkuri Dinas Lingkungan Hidup Jambi menunjukkan, muka air Sungai Batang Asai Hulu dan Hilir mengandung merkuri 0,003 Mg, dan Sungai Batang Limun Hulu 0,005 Mg, Sungai Batang Limun Hilir 0,004 Mg.

Angka itu melebihi standar baku butu tetapan gubernur pada 2007, sebesar 0,002 Mg per liter. Bahkan jauh melebihi standar World Healt Organization (WHO) batas kandungan merkuri dalam air 0.0001 ppm.

Masyarakat Sarolangun Kota ikut cemas. Muhammad Syafaat, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Sarolangun, bilang, otomatis air PDAM di Sarolangun mengandung merkuri karena bersumber dari sungai.

“Jika zat merkuri sudah masuk tubuh, kandungan tak bisa dikeluarkan melalui metabolisme tubuh. Akan tetap menempel di dalam tubuh,” kata Syafaat.

Di Sarolangun Kota, PDAM Tirta Sako Batuah memiliki sekitar 8.800 pelanggan, jika dalam satu keluarga ada lima orang, artinya ada 40.000 lebih orang terpapar merkuri. Belum mereka yang tinggal di pemukiman pinggiran sungai.

Sargawi, Direktur PDAM tak rela disebut air produksi PDAM tercemar merkuri. “Statemen Syafaat itu bisa dibuktikan nggak? Kalau tidak,  itu bahaya, pencemaran nama baik,” kata Sargawi geram.

Pada Mongabay, Sargawi menyebut, air PDAM diolah sesuai standar Peraturan Menteri Kesehatan No.416/1990.  Sebelum produksi tersalurkan ke pelanggan PDAM, air melalui empat kali proses penyaringan dan uji laboratorium kesehatan.

“Kita sudah cek, air PDAM sesuai standar, karena semua uji parameter di bawah ambang batas,” katanya.

Menurut dia, air Sungai Tembesi masih memenuhi standar sebagai air baku mutu PDAM meskipun mengakui belum uji merkuri. “Agustus atau September kita akan uji mercuri.”

Sargawi menyebut,  jika tak semua air baku PDAM dari air Sungai Batang Limun dan Batang Asai, ada dari sungai belum tercemar.  Dia percaya air PDAM tetap aman konsumsi.

Seminggu berselang, Bupati Sarolangun, Cek Endra mengimbau, masyarakat tak mengkonsumsi air sungai tercemar merkuri dan air sungai keruh. “Dilihat dari kebeningan sudah tak layak minum,” katanya.

Salah satu cara mengurangi pencemaran sungai di Sarolangun dengan membenahi tambang emas ilegal. Bupati minta, distribusi bahan bakar minyak untuk alat berat—tambang ilegal—dihentikan.

“Itu yang bisa kita lakukan. Kalau razia besar-besaran selama ini banyak menelan korban.”

Dalam rapat bersama gubernur beberapa waktu lalu, rekomendasi agar tetapkan pertambangan rakyat. Cek Endra bilang, cara ini bisa mengontrol petambang-petambang emas ilegal yang tersebar di Sarolangun.

 

Ikan sungai yang dijual di pasar-pasar Jambi. Ikan besar mulai sulit ditemukan di sungai. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Lubuk  larangan tercemar

Tak hanya pasokan air tercemar, juga ikan sungai. Semakin hari, populasi ikan sungai di Sarolangun, menurun.

Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan, Dinas Perikanan Sarolangun menyebarkn bibit ikan di perairan umum. Pada 2016, ada lebih 20.000 bibit ikan tersebar. Tahun ini, 3.200 bibit ikan semah disebar di hulu sungai.

Sedikitnya ada 34 lubuk larangan dibuat pemerintah di sungai-sungai Sarolangun, dengan maksud meminimalisir kerusakan sungai akibat tambang emas. Masyarakat lokal percaya, lubuk larangan adalah keramat.

“Kalau lubuk larangan kan gak boleh ada aktivitas, ikan juga gak boleh diambil sembarangan,” kata Nelly Marlina, Kabid Perikanan Sarolangun. Setiap pembuatan lubuk larangan selalu ditandai pelepasan ikan.

Bahaya merkuri juga mengalir ke sungai-sungai lubuk larangan dampak kerusakan hulu mengalir ke sana. Menurut Nelly, lubuk larangan di hilir sungai akan tercemar merkuri, terutama wilayah dihuni banyak penambang liar, seperti Limun dan Batang Asai hilir.

Di Desa Lubuk Bedorong, Kecamatan Limun, lubuk larangan tak lagi terlihat jernih, dan sedikit sekali ada tanda-tanda kehidupan ikan. “Ikannyo sudah buyar, pindah tempat lain,” kata Fadil, warga Limun.

Meski kondisi sungai buruk, Dinas Perikanan tetap menebar benih ikan seperti tahun sebelumnya, demi ketercukupan ikan konsumsi masyarakat. Untuk menghindari ancaman merkuri, penyebaran dilakukan di hulu.

 

Pendangkalan Sungai Tembesi bak menyerupai pulau-pulau kecil. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Budaya sungai memudar

Hampir satu dekade terakhir kekeruhan air Sungai Batanghari melebihi ambang batas. Sungai sepanjang 800 kilometer ini juga mengalami pendangkalan. Nova, Kapala Seksi Program BPDAS Jambi, mengatakan, kondisi Sungai Batanghari pada status prioritas I, artinya, kondisi kritis.

Tudingan banyak pada para penambang liar di Sarolangun, Muaro Bungo,  yang menjadi hulu dari sungai ini. Pemerintah yang memberi izin pada perusahaan perkebunan di hutan bagian hulu juga diminta bertanggung jawab.

Antropolog di Jambi, Juan Fransiska, mengatakan, orang-orang dahulu hidup di pinggir sungai belajar dengan pola kehidupan.  Mereka membangun tanpa merusak sungai. Masyarakat di pinggiran sungai bergantung pada penduduk yang hidup di hutan (hulu). Sungai, katanya,  bagian ekosistem, dan manusia itu pengelola ekosistem.

Mereka hidup dengan seloko-seloko. “Sungai jangan dikeringkan, jangan disia-siakan, hutan belantara jangan dibinasakan,” katanya.

“Hutan jadi hulu sungai. Kalau hutan rusak, sungai rusak juga.”

Orang-orang zaman dulu hidup beradap. Mereka akan berpikir kerusakan sungai terjadi akibat ada sistem sosial yang keliru, ada fungsi pemimpin yang tak benar.  “Pranata di sana tidak jalan.”

Di Seponjen, Muara Jambi, orang tak bisa pakai air sungai lagi padahal dulu mereka biasa untuk mandi, dan buang air. Aktivitas mulai berkurang, banyak warga gatal kulit usai mandi di sungai.

Tambang, limbah pabrik hingga kebakaran hutan menyebabkan bagian hulu rusak, membuat tradisi di sungai mulai ditinggalkan.

Kata Juan, desa makin lama makin berubah. Banyak nilai-nilai baru masuk ke pikiran-pikiran manusia. “Jadi manusia beradat mulai berubah, mereka cenderung transidental (mementingkan diri sendiri).”

Melayu kuno adalah budaya sungai. Masyarakat dulu, belajar dari pengalaman. Ekosistem sungai rusak akan berdampak langsung pada mereka. Rumah panggung di Jambi, adalah bentuk adaptasi dari ancaman banjir.

Pasca kebakaran  hebat 2015, Jambi dihantam banjir.  Kabupaten Sarolangun, Bungo, Batanghari, Muaro Jambi, Tebo, Kota Jambi, Merangin dan Tanjung Jabung Barat, terendam. Setidaknya,  ada 34.781 rumah berisi 104.343 warga menjadi korban banjir, dua meninggal dan satu hilang.

Dia bilang, perlu masyarakat terorganisir memegang adat untuk tetap menjaga keseimbangan ekosistem. Keserasian antara manusia, sungai dan keadaan yang terus berkembang.

“Kearifan lokal sebenarnya mampu melawan aktivitas besar yang merusak. Mereka tahu, sungai berguna buat mereka,” kata Juan.

 

Tambang-tambang emas ilegal di Sungai Tembesi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,