Mampukah Indonesia Capai Target 20 Juta Hektare Kawasan Konservasi Laut Tahun 2018?

Pemerintah Indonesia memajukan target pembentukan kawasan konservasi laut(KKL) seluas 20 juta hektare maksimal pada 2018 mendatang atau empat tahun lebih cepat dari rencana semula pada 2020. Percepatan tersebut dilakukan, karena saat ini luas KKL sudah mencapai 17,98 juta hektare atau tersisa 2,02 juta ha lagi.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Agus Dermawan di Jakarta belum lama ini, mengatakan bahwa, meski hingga saat ini target 2020 belum diubah secara resmi oleh Pemerintah Indonesia, namun pihaknya tetap memajukan target pembentukan KKL pada tahun depan.

“Mampukah Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmennya untuk hal ini. Karena tahun depan Indonesia akan menjadi tuan rumah World Conference di Bali. Jadi, akan menjadi pekerjaan rumah besar bagi Indonesia,” ungkap dia.

 

 

Meski sudah mendekati target, Agus menilai, pembentukan KKL masih jauh dari luasan ideal yang seharusnya dimiliki oleh sebuah negara. Kata dia, dengan luas Indonesia sekarang, KKL seharusnya 10 persen dan itu sudah dibahas dalam sejumlah pertemuan internasional.

“Itu artinya, dengan luas sekarang Indonesia harus mencapai 32 juta ha. Berarti luasannya masih kurang,” ujar dia.

Agus menjelaskan, melihat kondisi sekarang, sangat berat jika Indonesia menggapai target ideal seluas 32 juta ha. Mengingat, persoalan tersebut melibatkan banyak pihak dan instansi, baik Pemerintah maupun swasta.

“Harus bersama dengan kementerian lain seperti yang terkait dengan pariwisata dan pertambangan. Harus berbagi mana kawasan untuk konservasi, izin lokasi dan izin pengelolaan untuk kawasan ruang dan laut,” tutur dia.

Menurut Agus, untuk menuju Indonesia yang baik, para ahli menilai kalau kawasan kritis yang ada saat ini di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, 20-30 persen di antaranya harus disisihkan menjadi kawasan konservasi. Sementara, yang sudah terwujud saat ini luasnya baru mencapai 17 persen saja.

Agar semua rencana ideal itu bisa terwujud, Agus mendorong daerah untuk segera menyelesaikan pembuatan peraturan daerah tentang rencana zonasi kawasan pesisir. Jika perda sudah ada, maka setiap izin lokasi yang akan diberikan, iut harus melihat dulu rencana zonasi yang sudah ditetapkan.

“Kita sudah mengawal (daerah) yang harus membuat rencana zonasi ini adalah kabupaten dan kota dan itu banyak. Selama ini, baru ada satu provinsi saja yang sudah menyelesaikan perda rencana zonasi, yaitu Sulawesi Utara,” jelas dia.

 

Keragaman hayati perairan Kabupaten Alor, yang begitu kaya harus terjaga, dengan tetap dimanfaatkan tapi memperhatikan keberlanjutan. Kawasan Konservasi Perairan Daerah Alor pun diharapkan segera memperoleh persetujuan Menteri Kelautan dan Perikanan. Foto: WWF

 

Agus menambahkan, dengan dibuatnya perda zonasi, maka Pemerintah Pusat mendorong daerah untuk melaksanakan pemanfaatan pengelolaan ruang dan laut sebaik mungkin. Dia mencontohkan, untuk pemanfaatan tersebut, siapapun harus mendapat izin terlebih dahulu dari daerah setempat.

“Tanpa rencana zonasi, tidak akan diberikan izin usaha dalam mengelola lautan,” ucap dia.

 

Kawasan Konservasi Baru

Berkaitan dengan pengelolaan KKL di Indonesia, Agus mendorong dibentuknya kawasan konservasi baru dengan luas yang besar dan signifikan. Jika itu dimungkinkan, dia berencana akan mendeklarasikan kawasan baru tersebut pada penyelenggaraan World Oceans Conference 2018 yang berlangsung di Bali.

“Bagaimana kawasan konservasi yang kita declare itu bisa dikelola dengan baik dan menghasilkan sesuatu untuk masyarakat. Tantangannya ke depan bagaimana membangun jejaring dalam skala besar,” tandas dia.

Agus menyebut, membuat KKL besar dan signifikan saat ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Hal itu, bisa dlihat dari keberhasilan pembentukan Taman Laut Sawu yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kawasan konservasi yang ada dalam gugusan kepulauan wilayah Sunda Kecil itu luasnya mencapai 3,35 juta ha.

Sementara, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP Andi Rusandi, mengungkapkan, salah satu poin penting setelah kawasan konservasi laut terbentuk, adalah bagaimana menjaganya dengan baik. Untuk bisa melakukan itu, harus ada pengawalan yang ketat dari Pemerintah maupun masyarakat di sekitar kawasan.

“Contoh adalah alat tangkap ikan, itu harus yang ramah lingkungan. Jika dirasa memang belum ramah (lingkungan), maka harus dicari solusinya. Itu bisa dilakukan, asalkan ada komunikasi dengan nelayan dan masyarakat,” ucap dia.

Salah satu bukti keberhasilan menjaga kawasan konservasi laut, menurut Andi, bisa dilihat dari Taman Laut Sawu. Di sana, sebagian besar masyarakat yang ada di sekitar kawasan tersebut, atau umumnya sekitar Sunda Kecil, sudah mengenal seperti apa itu konservasi.

Menurut Andi, karena ada pemahaman dari masyarakat, penerapan konservasi di sekitar tempat tinggal mereka juga menjadi lebih mudah dilaksanakan. Bahkan, kata dia, hampir 50 persen masyarakat di sekitar Sunda Kecil menyatakan setuju konservasi dilaksanakan di sekitar tempat tinggal mereka.

“Peran masyarakat adat sangat signifikan dalam melaksanakan konservasi di Sunda Kecil. Kita usulkan agar peran masyarakat adat bisa masuk dalam Undang-Undang, agar menjadi semakin jelas. Kita tidak bisa bergerak selama regulasinya masih abu-abu,” ujar dia.

“Ada 10 kabupaten di Sawu ini. Tahun ke tahun harus bisa lebih kongkrit lagi,” tambah dia.

 

Salah satu pesisir di pulau yang termasuk dalam kawasan konservasi laut Taman Nasional Perairan Sawu di Nusa Tenggara Timur. Foto : pusluh.kkp.go.id

 

Konservasi dan Masyarakat Adat

Wakil Ketua Dewan Konservasi Perairan Provinsi NTT Friedrich Tielman pada kesempatan sama mengatakan, sebagai provinsi yang masuk dalam gugusan kepulauan Sunda Kecil, konservasi menjadi sesuatu yang sangat penting dan bagus. Kesadaran itu juga diakuinya sudah dimiliki oleh sebagian warga yang tinggal di NTT.

“Karena kawasan Sunda Kecil ini sangat penting dan strategis, jadi konservasi juga harus dilaksanakan di sini,” jelas dia.

Agar konservasi bisa dilaksanakan di semua kabupaten dan kota di NTT, Friedrich menyebut, pihaknya sengaja melibatkan lembaga adat yang ada di tingkat terbawah hingga teratas. Selain itu, dilibatkan juga forum-forum konservasi yang sudah dibentuk dan dilaksanakan di tingkat kabupaten dan kota.

“Provinsi dan kabupaten sudah siap fasilitasi pihak-pihak yang ada di NTT. Kita harapkan peran NTT untuk ikut serta dalam melestarikan lingkungan dan itu berlangsung dari waktu ke waktu dan semakin kuat,” tutur dia.

Menurut Friedrich, meski konservasi itu konsepnya untuk melestarikan ekosistem dan menjauhkan dari kerusakan sekecil apapun, namun baginya konsep konservasi itu haruslah mencakup untuk kesejahteraan masyarakat. Kata dia, supaya kesejahteraan terus meningkat, maka haruslah diperhatikan keberadaan masyarakat yang ada di sekitar Sunda Kecil.

“Kita sadar kalau NTT adalah provinsi dengan wilayah laut konservasi terluas di Indonesia. Jadi, kesejahteraan juga harus tetap dinomorsatukan bagi masyarakat,” tandas dia.

Untuk diketahui, gugusan kepulauan Sunda Kecil adalah kawasan yang mencakup pulau dan peraian di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan NTT. Kawasan tersebut adalah salah satu dari 11 ekoregion di kawasan Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle).

Country Director The Nature Conservancy (TNC) Rizal Algamar saat perayaan “Sembilan Tahun Konservasi di Sunda Kecil” beberapa waktu lalu, menjelaskan bahwa konservasi yang dilaksanakan di daerah harus memang harus mendukung keberlangsungan dan kesejahteraan warga setempat.

Menurut dia, salah satu yang bisa dilakukan untuk mencapai itu adalah bagaimana meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan laut dan mendorong terlaksananya perikanan berkelanjutan. Dengan cara itu, maka konservasi dan kesejahteraan bisa berjalan berdampingan dan terus berlanjut sampai kapan pun.

“Kita akan ikut berperan untuk melaksanakan konservasi bersama masyarakat dan itu akan berjalan berdampingan,” tandas dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,