Api Mulai Bermunculan, Aktivis Lingkungan Serukan Pemerintah Tanggap Karhutla

Ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mulai tampak di Kalimantan Tengah. Berdasarkan catatan organisasi pemerhati lingkungan, Walhi Kalteng sepanjang 1 Juni hingga 7 Agustus 2017 saja, setidaknya sudah ada 87 titik api yang terpantau. Sebanyak 49 titik berada di dalam kawasan hutan, dimana 23 diantaranya berada di dalam kawasan hutan produksi dan 20 berada di dalam kawasan hutan konversi. Sementara 14 titik berada di dalam konsesi perkebunan kelapa sawit.

Rinciannya lima titik berada di dalam konsesi PT Globalindo Investasi Lestari (GIL) Barito Selatan, satu titik berada di PT Agro Subur Permai (ASP) Kapuas, tiga titik di PT Kereng Pangi Perdana (KPP) Katingan, satu titik di PT Windu Nabatindo Abadi (WNA) Kotawaringin Timur, satu titik di PT Sawit Lamandau Raya (SLR) Lamandau, satu titik di PT Agrindo Green Lestari (AGL) Pulang Pisau dan satu titik di PT Rimba Harapan Sakti (RHS) Seruyan.

Sementara itu, 24 titik api terpantau berada di dalam kawasan gambut. Rinciannya empat titik di gambut kedalaman 50-100 cm, 15 titik di gambut kedalaman 100-200 cm, dan lima titik di kedlaaman 200-300 cm. Titik api di lahan gambut itu tersebar di Kabupaten Barito Selatan, Kapuas, Katingan, Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, dan Sukamara.

Dimas Novian Hartono, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng mengatakan, masyarakat Kalteng harus mengingat peristiwa kebakaran hutan dan lahan hebat yang terjadi pada tahun 2015 telah berdampak ekologis merugikan.

Menurut Dimas, potensi kebakaran hutan dan lahan masih akan terus terjadi di tiap tahun apabila pemerintah tak melakukan perbaikan kebijakannya dan evaluasi terkait perizinan yang ada di Kalteng dan seluruh Indonesia.

“Selain moratorium izin, kita juga memerlukan adanya evaluasi izin-izin yang ada dan menindak tegas perusahaan-perusahaan yang terbukti nakal. Khususnya  dalam hal pengrusakan lingkungan hidup yang ada di Kalteng,” katanya.

Dengan mulai munculnya titik-titik api di beberapa lokasi, dia menyebut Pemerintah harus tegas dalam hal menindaklanjuti lokasi-lokasi yang terbakar tersebut. Trend setiap tahun kebakaran selalu terjadi khususnya di lahan hutan dan perkebunan, sehingga seharusnya pemerintah dan perusahaan sudah tanggap dan antisipatif untuk mencegah kebakaran.

“Kita khawatir, ini bukan hanya karena faktor cuaca tapi memang sengaja dilakukan pembakaran. Berdasarkan data yang kami dapat, ini potensi yang ada ini bukan lagi titik panas, tapi sudah mengarah pada titik api.”

Sebagai catatan, tahun 2015 merupakan karhutla paling parah yang pernah melanda Kalteng sejak tahun 1997. Luasan wilayah yang terbakar mencapai 122.882,90 hektar atau setara dengan dua kali luas daratan DKI Jakarta. Kala itu, kualitas udara memburuk sepuluh kali lipat dari ambang batas normal sehingga sekolah terpaksa diliburkan selama dua bulan. Sebanyak 13.949 orang terkena ISPA dan 4.453 terserang diare. Empat orang diantaranya meninggal dunia.

Tidak hanya buat manusia, kebakaran lahan dan hutan pun berdampak pada hidupan liar.

“Tidak sedikit satwa liar dan orangutan yang mati terbakar hidup-hidup karena tak mampu menyelamatkan diri dari Karhutla tahun 2015,” ungkap Monterado Friedman, aktivis Borneo Orangutan Surival Foundation (BOSF).

Lebih dari 100 individu orangutan yang diselamatkan selama dan pasca kebakaran hutan tahun 2015. Sebanyak 79 individu diselamatkan di wilayah sungai Mangkutub, Kabupaten Kapuas. Ditambah 15 individu lainnya diselamatkan dari wilayah Tumbang Nusa dan enam dari Kabupaten Pulang Pisau.

 

Asap dari kebakaran lahan dan hutan pada 2015, begitu pekat hingga berwarna orange. Foto: Jenito/Mongabay Indonesia

 

Petani Disalahkan dalam urusan Kebakaran Lahan

Di sisi lain, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi menyisakan peristiwa lain. Di tahun 2017 terdapat sembilan orang petani yang ditangkap dengan tuduhan membuka lahan dengan cara membakar. Pada tahun 2016, terdapat 45 petani yang ditangkap dengan tuduhan yang sama.

Bagi Tri K Admaja, aktivis Aliansi gerakan Reforma Agraria (AGRA), hal ini disebabkan ketidakseimbangan informasi yang disampaikan. Dalam KUHP membakar itu tindakan kriminal, namun, dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan diperbolehkan membuka lahan dengan cara membakar dengan kearifan lokal.

“Ini bukan masalah sosialisasi yang tidak sampai, tetapi karena proses sosialisasi yang dibuat tidak berimbang ke desa-desa. Sehingga banyak orang di desa yang setelah membakar lalu ditinggal begitu saja, karena takut dengan ancaman pidana,” tutur Tri.

Tri tidak memungkiri, bahwa pembukaan lahan di beberapa wilayah gambut tidak terlalu dalam telah berhasil menggunakan cara tanpa bakar dengan hand tractor, seperti di Kecamatan Mentangai Hulu. Namun, di wilayah lain, yang memiliki kemiringan kontur 30-40 derajat seperti Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau hal itu tidak mungkin dilakukan.

“Pemerintah gagal menganalisis masalah pokok kebakaran lahan. Semua dikerahkan untuk menindak petani, kelompok minoritas atau masyarakat adat. Di sisi lain masyarakat tak punya pilihan [untuk tidak membakar lahan], pemerintah tak ada solusi juga,” papar Tri.

Dimas Novian membenarkan pernyataan ini. Menurutnya, selama ekonomi masyarakat yang tergantung pada pola pertanian tidak ditingkatkan, larangan pembakaran lahan pun dirasa akan sia-sia. “Jangan sampai lahan masyarakat terbakar beberapa meter langsung ditindak, tetapi yang besar di perusahaan diabaikan.”

Di sisi lain, program yang ditawarkan Pemerintah melalui cetak sawah juga dianggap kurang tepat. Sebab kebiasaan masyarakat adalah melakukan ladang berpindah. Bukan pertanian lewat sistem sawah.

“Selama ini masyarakat melakukan pertanian secara organik. Dedaunan dan ranting yang dibakar yang jadi pupuknya. Dan sialnya lagi, Pemerintah lakukan cetak sawah dan sediakan bibit dari luar. Pertanyaannya, ada berapa banyak bibit lokal yang bakal hilang dan hancur? Ini yang harus dihitung.”

Dari rilis yang dikeluarkan oleh KLHK (11/08), untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan maka berdasarkan arahan Presiden dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Karhutla tanggal 23 Januari 2017 lalu, pemerintah akan meningkatkan kegiatan patroli terpadu, yang melibatkan masyarakat, TNI dan Polri.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,