Dikukuhkan di New York, Jumlah Pulau Indonesia Kini Sebanyak ….

Jumlah pulau yang ada di Indonesia dipastikan bertambah lagi setelah Pemerintah Indonesia merilis data terbaru saat berlangsungnya konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berlangsung di New York, Amerika Serikat pekan ini. Dari data yang dirilis Kemerintah Kelautan dan Perikanan (KKP), Indonesia kini terdiri dari 16.056 pulau yang sudah diberi nama dan terverifikasi.

Sebelum jumlah mutakhir tersebut dirilis, pada awal 2017 lalu Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP lebih dulu merilis jumlah pulau yang sudah terverifikasi. Saat itu, dilaporkan bahwa Indonesia sudah terdiri dari 14.572 pulau atau lebih banyak 1.106 pulau dari data resmi sebelumnya.

Direktur Jenderal PRL Brahmantya Satyamurti Poerwadi di Jakarta pekan lalu mengatakan, sejak 2015 hingga Juli 2017 dilakukan verifikasi jumlah pulau yang ada dan hasilnya didapat bahwa jumlahnya sebanyak 16.056 pulau. Dengan demikian, jumlah pulau yang terverifikasi saat ini bertambah 2.509 pulau.

“Indonesia telah memverifikasi sebanyak 2.590 pulau bernama untuk dilaporkan ke PBB pada konferensi ke-11 sidang UNCSGN. Sehingga, total pulau bernama bertambah menjadi 16.056 pulau,” ucap dia.

(baca : Bukan 13.466 Pulau, Indonesia Kini Terdiri dari ….)

 

 

Sidang UNCSGN yang dimaksud, kata Brahmantya, adalah United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names yang berlangsung sejak 7 Agustus lalu. Pada sidang tersebut, Indonesia diwakili KKP bersama Delegasi RI yang diketuai Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG).

“Kita laporkan berupa data pulau bernama ke PBB. BIG merupakan National Names Authority dari Indonesia yang menggantikan Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi,” jelas dia.

Brahmantya mengatakan, sebagai instansi yang terlibat, KKP bertugas dan berperan aktif dalam kegiatan toponimi (bahasan ilmiah tentang nama tempat, asal-usul, arti, penggunaan, dan tipologinya), validasi dan verifikasi pembakuan nama pulau-pulau kecil yang telah dimulai dari tahun 2005 hingga 2017.

Sebelum dikukuhkan dalam sidang PBB tahun ini, Brahmantya menyebut, pengukuhan oleh PBB untuk pulau-pulau bernama yang terverifikasi terakhir kali dilaksanakan pada 2012 atau lima tahun yang lalu. Saat itu, pengukuhan dilaksanakan pada sidang ke-10 UNCSGN.

“Kedepannya, jumlah pulau Indonesia yang sudah bernama masih bisa bertambah dikarenakan belum seluruh pulau-pulau kecil yang telah di validasi, dilakukan verifikasi pembakuan nama pulaunya,” lanjut Brahmantya.

(baca : Tak Bernama Sejak Lama, Pemerintah Segera Berikan Status 100 Pulau Kecil dan Terdepan)

 

Pembakuan Nama

Selain sidang UNCSGN, pada pekan yang sama juga digelar Pada 30th Session of the United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN). UNGEGN melalui 24 divisi geografis/linguistik dan kelompok kerjanya, menangani masalah pelatihan, digital file data dan gazetteers, sistem romanisasi, nama negara, terminologi, publisitas dan pendanaan, serta pedoman toponimi.

Adapun, keberadaan UNGEGN bagi setiap negara adalah sebagai pihak yang memutuskan pembakuan nama geografis berstandar nasional melalui proses administrasi yang diakui oleh National Names Autorithy dari masing-masing negara. Kemudian, setelah itu didistribusikan secara luas dalam bentuk standar nasional seperti gazetteers, atlas, basis data berbasis web, pedoman toponimi atau nama, dan lain-lain.

“Sebagai dasar perlunya standardisasi global nama geografis, UNGEGN mengutamakan pencatatan nama lokal yang digunakan dan mencerminkan bahasa dan tradisi suatu negara,” tutur Brahmantya.

 

Gardu instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan solar panel di Pulau Matutuang Kec. P. Maroro, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara sebagai penyedia listrik kepada masyarakat di pulau tersebut. Pulau Matutuang merupakan salah satu pulau program PLTS di 25 pulau-pulau kecil/terluar berpenduduk dari Ditjen. Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) KKP dan Ditjen. Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM. Foto : Agustinus Wijayanto/Mongabay Indonesia

 

Selain berpartisipasi aktif dalam melaporkan jumlah pulau bernama, Brahmantya mengungkapkan, pada sesi ke-30 sidang UNGEGN ini Indonesia melalui anggota Delegasi RI juga berperan aktif dengan mengikuti sebanyak 7 (tujuh) working group tematis dan menjadi pemateri di dalam kegiatan tersebut.

Adapun, working group yang dimaksud, adalah Features beyond a single sovereignty and international cooperation , Toponymic data files and gazetteers , Terminology in the standardization of geographical names, Country names, Exonyms, Toponymic education , Geographical names as culture, dan heritage and identity.

“Diharapkan keikutsertaan Delegasi RI dalam working group tersebut dapat bermanfaat dalam implementasi dan akselerasi pembakuan nama rupa bumi di Indonesia, termasuk pulau-pulau kecil,” tegas dia

Jumlah pulau paling mutakhir tersebut resmi ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar.

(baca : Lusi, Nama Pulau Paling Baru di Indonesia)

 

Pulau Terdepan Bertambah Lagi

Sekretaris Direktorat Jenderal PRL Agus Dermawan mengatakan, sejalan dengan program KKP yang akan menertibkan pulau-pulau di seluruh Indonesia, PRL menjabarkannya dengan memulai pengklasifikasian pulau-pulau kecil dan terdepan.

Sebelum 2017, kata Agus, jumlah pulau kecil dan terdepan adalah 92 pulau. Namun, itu berubah karena pada 2017 bertambah sebanyak 19 pulau lagi. Dengan demikian, total pulau kecil dan terdepan menjadi 111 pulau.

Selanjutnya, menurut Agus, ke-111 pulau tersebut akan segera dilegalisasi, diberikan nama, dan dikelolanya dengan lebih baik lagi.

“Itu target kita tahun 2017 ini. Kita kelola melalui Hak Pengelolaan Lahan (HPL), karena pulau kecil dan terluar kita ada 92 pulau, dan sudah didaftarkan lagi 19, jadi total 111 pulau,” jelas dia.

Agus mengungkapkan, untuk rencana pengelolaan ratusan pulau kecil dan terdepan yang akan dilaksanakan pada 2017, itu akan dilakukan melalui koordinasi antar kementerian dan lembaga terkait. Dengan melakukan koordinasi, maka diharapkan akan ada keselarasan dalam menertibkan pulau-pulau tersebut.

“Kita identifikasi masalahnya bersama, kita samakan data, karena luasan semua pulau sudah ada. Tapi akan kita crosscheck dengan Kementerian/Lembaga lain yang mempunyai fungsi planaloginya,” lanjutnya.

 

Nelayan kecil di Pulau Daga, Kepulauan Widi, Malut. Foto: Faris Barero/ Mongabay Indonesia

 

Di antara kementerian dan lembaga tersebut, Agus mengakui bahwa pihaknya juga berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menyelaraskan rencana maupun data.

“Selain itu, kita juga menggandeng Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan untuk melakukan valuasi pulau tersebut,” tandas dia.

“Sebanyak 111 pulau terkecil dan terluar ini adalah batas negara. Jadi yang diutamakan negara mau bangun apa di sana, sehingga kita tidak melulu bicara soal investor maupun ekonominya,” tambah dia.

 

Hak Anak Pesisir

Sementara itu, bertepatan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-72, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengkritik kebijakan Pemerintah yang dinilai belum berpihak kepada masyarakat kecil. Di antara mereka, terdapat anak pesisir yang nasibnya masih belum menentu hingga saat ini.

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan, persoalan anak pesisir sampai kapan pun akan terus ada, mengingat mereka tinggal di lokasi yang jauh dari perkotaan. Tanpa ada pembangunan yang terencana baik, anak-anak pesisir akan terabaikan. Namun, dengan pembangunan yang bagus, anak-anak pesisir juga belum terjamin masa depannya.

Susan mencontohkan, kasus yang sedang hangat saat ini adalah pembangunan pulau-pulau yang ada di Teluk Jakarta, Provinsi DKI Jakarta. Keberadaan proyek reklamasi tersebut, meski terkesan megah, tetapi justru merenggut masa depan anak-anak pesisir yang tinggal di sekitarnya.

“Hari ini puluhan anak pesisir di Teluk Jakarta menuliskan sejumlah harapan kepada Pemerintah, diantaranya: negeri ini lebih berdaulat di atas tanah dan airnya; masyarakat pesisir memiliki laut yang bersih dan sehat, serta orang tua mereka mampu melaut lagi,” ungkap Susan menyebutkan harapan anak-anak pesisir yang tinggal di Marunda Kepu dan Muara Angke tersebut.

Susan berharap, dengan adanya reklamasi di Teluk Jakarta, itu membawa dampak buruk bagi anak-anak nelayan yang ada di kawasan tersebut. Untuk itu, dia mengingatkan agar Pemerintah bisa membuka hati untuk melihat lebih dekat kondisi anak-anak pesisir di Teluk Jakarta.

Di pesisir Jakarta tersebut, Susan menyebut, terdapat 3790 rumah tangga perikanan (RTP) dan 60.221 anak-anak yang berusia di bawah 17 tahun. Anak-anak tersebut, kata dia, memiliki hak yang sama dengan anak-anak yang lain di seluruh Indonesia.

 

anak pulau pari
Anak-anak pulau Pari adalah generasi penerus yang menentukan masa depan pulau kecil di pesisir Jakarta. Foto: Ridzki R. Sigit/Mongabay Indonesia

 

Susan menjelaskan, berdasarkan konvensi Hak Anak PBB pada 1980, terdapat 10 hak yang harus diberikan kepada anak-anak, yaitu:

1) Hak untuk bermain;

2) Hak untuk mendapatkan pendidikan;

3) Hak untuk mendapatkan perlindungan;

4) Hak untuk mendapatkan nama;

5) Hak untuk mendapatkan status kebangsaan;

6) Hak untuk mendapatkan makanan;

7) Hak untuk mendapatkan akses kesehatan;

8) Hak untuk mendapatkan rekreasi;

9) Hak untuk mendapatkan kesamaan; dan

10) Hak untuk memiliki peran dalam pembangunan.

Susan menambahkan, proyek reklamasi yang sedang berlangsung di Teluk Jakarta memberi gambaran dengan jelas bagaimana nasib anak-anak pesisir setelah tempat tinggal dan mencari rezeki bagi orang tua mereka digusur untuk kepentingan pembangunan.

“Mulai saat ini, negara harus hadir untuk memperhatikan dan mencerdaskan kehidupan anak-anak pesisir di Indonesia,” pungkas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,