Uniknya Aplikasi Tanah Tanpa Semen dalam Arsitektur Bali

Pabrik semen saat ini menjadi perhatian, terutama yang mengeksploitasi kawasan sumber air untuk proses produksinya. Apakah bisa membangun tanpa semen? Arsitektur Bali di masa lalu menggunakan tanah sebagai tembok atau merekatkan bebatuan untuk rumahnya.

Sampai sekarang sejumlah bangunan tradisional dengan tanah pol-polan tanpa semen ini masih berdiri dan dinikmati ratusan turis tiap harinya. Misalnya di Desa Tenganan, Pegringsingan, Karangasem, Bali, yang melestarikan sejumlah rumah tradisional dan masih dihuni warga hingga kini.

Masuk ke Desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem seperti masuk ke lorong waktu masa lalu. Pemukiman berderet di sisi barat dan timur dengan rapi. Bangunan yang digunakan untuk kebutuhan bersama diletakkan di tengah-tengah. Misalnya bale pembuatan sesajen atau bale rapat desa.

 

 

Bagian mencolok di sejumlah rumah adalah temboknya yang kelihatan artistik dan tua. Teksturnya kasar, seperti tanah dionggokkan begitu saja agar menempel. Tapi itulah teknik mengelem batu dengan tanah. Tanpa semen. Sering disebut tanah pol-polan.

Banyak turis berfoto dengan latar tembok ini. Warna kecokelatannya yang kalem kontras dengan indahnya kain-kain tenun dan selendang warna-warni yang dipajang depan pintu rumah. Sebagian warga berdagang kerajinan di rumahnya. Agar tak “menyakiti” keindahan arsitektur bangunan tradisionalnya, warga sepakat dagangan digelar dalam rumah. Bukan di depan. Jadi yang kelihatan hanya kain sebagai petanda, turis bisa masuk. Melihat-lihat, membeli, atau ngobrol dengan pemilik rumah.

I Nyoman Sadra, salah seorang tokoh di Tenganan Pegringingan menyebut walau desa terus ingin menjaga kelestarian arsitektur tradisional tapi perubahan juga tak terelakkan. Ada yang sudah memanfaatkan keramik, paras, dan lainnya ketika merenovasi rumah.

Salah satu arsitek yang memuja bahan alam, Gede Kresna, juga mengaplikasikan tanah sebagai bahan utama lantai atau tembok di sanggar dan rumah belajarnya, Rumah Intaran di Desa Bengkala, Kabupaten Buleleng. Sekitar 3 jam berkendara dari Kota Denpasar.

Kresna bersama istrinya, Ayu Gayatri rajin mengampanyekan hidup selaras alam memanfaatkan bahan baku sekitarnya untuk keseharian, makanan dan bahan bangunan. Salah satunya aplikasi tanah ini. Ada yang berupa tanah pol-polan, tanah dibulat-bulatkan dan dipadatkan lalu disusun seperti tembok. Juga kombinasi tanah dan batu. Atau tanah dan batu bata. Semuanya tanpa semen sebagai perekat dan penguat.

 

Seseorang tengah menggambar tekstur tembok tanah artistik dan tua ini dalam lukisan di Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali. Foto Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Namun tanah ini sebelum diaplikasikan, diolah dulu dengan cara fermentasi. Gede Kresna memberi resep fermentasi ini. Pertama, tanah biasa digemburkan. Lalu ditambahkan air sedikit demi sedikit, biarkan sampai mengendap. Setelah itu tanah basah ini diuleni dengan cara diinjak-injak, diamkan sekitar 24 jam. “Istilahnya nadiang atau menghidupkan tanahnya,” kata Kresna. Jika tanah tak bereaksi atau menyerap air artinya pasil atau jenuh. Syarat tanah yang digunakan cukup liat, tidak berpasir, berwarna kecokelatan.

Agar berkualitas baik, proses fermentasi ini bisa dilakukan berulang-ulang. Tanah yang liat siap diaplikasikan. “Bukan meniadakan semen karena masih diperlukan, tapi dikurangi,” tambahnya.

Jepang juga mengaplikasikan tanah untuk tembok bangunan tradisionalnya. Kresna mencontohkan di sana juga memanfaatkan bahan lokal, tulang bambu dan jerami diapit tanah. Penggunaan tanah dengan berbagai modifikasi baginya menunjukkan kemerdekaan warga memilih bahan bangunan tanpa tergantung industri.

Penggunaan tanah juga berdampak pada kesehatan penghuninya. Bisa lebih sehat karena tanah ini berfungsi sebagai insulasi udara alami, material yang bisa menyesuaikan suhu dalam ruang dari suhu luar. Adem saat siang, hangat ketika malam hari.

 

Sejumlah warga Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali, duduk di bale yang dibangun dengan pondasi batu kombinasi tanah. Foto Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Gede Kresna pernah memaparkan strategi adaptasi bencana yang diwariskan oleh leluhur orang Bali sendiri melalui bangunan tradisional. Penggiat kehidupan tradisional ini menuturkan rumah-rumah Bali kuno memiliki sistem tangguh dengan berbahan kayu dan memiliki bale di dalamnya. Temboknya berbahan tanah polpolan, sehingga apabila terjadi gempa bumi, struktur tetap berdiri. Meskipun tembok jatuh ke samping karena gravitasi.

Pada gempa bumi Buleleng 1976, rumah di desa kuno Sidatapa hanya mengalami sedikit kerusakan, dibandingkan di Seririt yang merenggut banyak korban jiwa. Hal ini disebabkan karena beralihnya pilihan ke rumah baru berbahan beton karena dianggap lebih modern. Banyak korban tertimpa beton rumahnya. Hal serupa juga dibuktikan di wilayah lain di Indonesia seperti di Nias yang rumah tradisionalnya teruji gempa bumi.

Pada 22 November 1815 menjelang tengah malam, gempa bumi besar mengguncang. Kala itu pejabat-pejabat penting di kerajaan Buleleng turut menjadi korban 202 tahun lalu. Getaran gempa itu disebut mengakibatkan pegunungan retak, lalu longsor dengan suara menggelegar seperti guntur. Longsoran pegunungan lantas menimpa ibukota Kabupaten Buleleng, Singaraja. Desa-desa turut tersapu hingga ke laut. Bencana ini mengakibatkan 10.523 orang meninggal.

Diskusi refleksi berjudul Peringatan 200 Tahun Gejer Bali, Sebuah Refleksi Kebencanaan Masyarakat Bali ini dilaksanakan di Singaraja pada 2015 mengingatkan lagi bahwa arsitektur tradisional juga bisa jadi bagian mitigasi bencana. Pusat gempa bumi diperkirakan berada di laut sebelah utara kerajaan Buleleng di Bali utara. Ibukota buleleng mengalami kerusakan parah. Gempa bumi itu menggetarkan seluruh pulau Bali, sehingga disebut juga Gejer Bali yang artinya Bali bergetar. Selain di Bali, getaran kuat juga dirasakan hingga Surabaya, Lombok bahkan Bima.

(baca : Belajar Mitigasi Bencana Dari Refleksi 200 Tahun Gempa Dahsyat di Bali)

Gempabumi besar 22 November 1815 ini ditengarai juga menimbulkan Tsunami. Laporan di dalam Catalogue of Tsunami on the Western Shore of the Pasific Ocean yang disusun oleh S.L. Soloviev dan CH.N. Go mendeskripsikan adanya air laut yang naik dan menerjang daratan dalam jangkauan yang luas pasca gempa bumi. Sebanyak 1.200 orang lainnya menjadi korban akibat bencana susulan dan naiknya air laut ke daratan. Istilah tsunami belum dikenal penduduk pulau Bali saat itu.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,