Begini Ancaman Degradasi Hutan Terhadap Krisis Air Di Jabar

Memasuki musim kemarau, kekeringan merupakan persoalan yang sangat dikhawatirkan. Menurunnya pasokan air disusul peningkatan suhu udara sedikit banyak telah menimbulkan sejumut persoalan. Kini kondisi demikian itu lumrah terjadi di sejumlah daerah di Jawa Barat.

Menyoal tentang ketersediaan air tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan komponen biotiknya. Seperti keberadaan hutan yang mempunyai fungsi hidrologis dan biosfer. Meski begitu perhatian terhadap hutan dapat dikatakan minim, padahal perannya sangat strategis.

Keberadaan hutan di Jawa Barat baik konservasi maupun non konservasi dikelola oleh tiga badan berwenang, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA), Perum Perhutani dan Dinas Kehutanan (Dishut). Semua mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah.

 

 

Diketahui Provinsi Jawa Barat memiliki kawasan hutan seluas 816,603 hektare. Dimana 132,180 hektar (ha) dikelola oleh BBKSDA dan Balai Taman Nasional. Hutan lindung seluas 684,423 ha menjadi domain Perum Perhutani serta sisanya dibawah kewenangan Dinas Kehutanan.

Menurut keputusan Gubernur Jawa Barat tentang penetapan data dan peta lahan kritis 2013. Menunjukan bahwa luasan lahan kritis berdasarkan kriteria kritis dan sangat kritis di Kabupaten/Kota dan wilayah DAS mendekati 342,966 ha dan di fungsi lindung 216,770 ha.

Jumlah kawasan hutan di Tanah Pasundan ini terhitung hanya dikisaran 10% dari total wilayah 3,7174 juta ha. Akan tetapi, kawasan hutan yang ada pun tidak menjamin sedang dalam fase baik. Atau mungkin kondisinya kian memprihatinkan.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Jawa Barat, tahun 2011 laju kerusakan hutan mencapai 23.341 ha – 33.951 ha per tahun. Tingginya angka lahan kritis ini disinyalir disebabkan oleh konversi kawasan hutan menjadi areal non-kehutanan, perladangan, perambahan hutan serta illegal logging.

 

Kondisi Gunung Kendang, Jabar dari jalur pendakian Neglasari. Foto : wikiloc.com

 

Dari berbagai sumber yang dihimpun, laju kerusakan hutan baik di kawasan lindung maupun non lindung berkisar antara 5% – 10% per tahun. Sehingga ancaman kekeringan pada musim kemarau dan kebanjiran saat musim penghujan dipastikan akan terus berulang.

Kepala Bidang Bina Konservasi dan Jasa Lingkungan Dishut Jawa Barat Maman Suherman menyebut, secara kuantitas luasan hutan tidak berkurang. Namun, secara kualitas kebaradaan hutan memang mengalami tekanan dan degradasi.

“Untuk luas kawasan hutan telah sesuai dengan SK Gubernur. Tetapi kondisinya ada juga yang kritis. Degradasi hutan yang terjadi cukup lumayan,” kata Maman saat ditemui Mongabay belum lama ini.

Maman berujar, upaya reboisasi sudah diprogramkan sesuai dengan kewenangan institusi terkait. Dishut sendiri hanya memiliki kapasitas sebatas koridor diluar kawasan hutan. Perlihal hutan konservasi sepenuhnya ada di BBKSDA. Sedangkan hutan lindung di Perum Perhutani.

Terkait alokasi anggaran yang disalurkan untuk reboisasi dan pemulihan ekologi hutan tidak merinci. Dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan No P.55/MenLHK/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Umum Penyaluran Bantuan, hanya membahas perihal regulasi.

Dari APBN 2017, diketahui anggaran untuk pemulihan kawasan hutan diambil dari Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp92,8 triliun, terdiri dari DBH Pajak dan SDA sebesar Rp82 triliun dan Kurang Bayar DBH Pajak dan SDA sebesar Rp10,8 triliun.

 

Lokasi Galian PT Bintang Cinda Mineral Group. Foto: Walhi Jabar

 

Penambahan Area Lindung

Sementara, Pemerintah Jawa Barat telah menargetkan cakupan kawasan lindung hingga 45% dari luas areal. Langkah ini ditempuh guna mendorong terciptanya Jawa Barat sebagai green province. Setidaknya perlu 35% lahan yang untuk dihutankan di provinsi dengan penduduk 46.7 juta jiwa.

Dihubungi terpisah, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar mengatakan, kerusakan hutan masih rentan terjadi. Faktor pemicunya adalah perubahan tata guna hutan. Diduga desakan ekonomi mendasari terjadi alih fungsi lahan hutan ke non hutan.

Deddy menegaskan, upaya penanggulangan kerusakan hutan telah dianggarkan terutama kawasan hulu di DAS Cimanuk dan Citarum. Pemerintah pusat juga memberikan bantuan sebesar Rp250 miliar untuk upaya rehabilitasi di hulu.

“Sekarang langkahnya tetap harus dilakukan perbaikan. Keseimbangan lingkungan dan alam perlu dijaga demi memenuhi kebutuhan manusia secara keberlanjutan. Harapan semua, lingkungan bisa lebih baik, lahan kritis bisa jadi hutan kembali. Tapi juga ini tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri,” kata Deddy.

 

Kondisi salah satu bagian Sungai Citarum di Jawa Barat yang penuh dengan sampah. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Krisis Air

Sebelumnya, Forum Air Sedunia (Word Water Forum) yang digelar di Den Haag, Belanda tahun 2000 silam, sudah memprediksi Indonesia termasuk negara yang bakal mengalami krisis air pada 2025 mendatang. Kondisi ini akibat kurangnya langkah konservasi melindungi cadangan air ditengah peningkatan jumlah penduduk. Ditambah ragam kebutuhan air dari sektor lainnya.

Peneliti T Bachtiar mengungkapkan, degradasi lingkungan sudah terjadi tempo lalu. Bukan hanya luasan hutan yang menciut signifikan. Terlebih tekanan terhadap kawasan cekungan – cekungan air pun terus meningkat seiring pengembangan pembangunan.

“Indikatornya sederhana, rusaknya lingkungan dapat dilihat dari fenomena krisis air dan bencana banjir longsor. Saya rasa hutan di Jawa Barat jauh berkurang. Tidak aneh candangan jika air terus menurun,” kata dia kepada Mongabay melaui telepon.

Ironisnya, kawasan yang rusak berada di DAS hulu tempat penyangga atau resapan air. Secara hidrologis wilayah Jawa Barat dialiri oleh 3.277 ruas sungai induk dan anak-anak sungai yang terakumulasi ke dalam 40 DAS utama. Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air memperkirakan total potensi normal air permukaan se-Jawa Barat sebesar 35.155,94 juta meter kubik per tahun.

Namun berdasarkan pantauan Mongabay, aliran Sungai Citarum mengalami sedimentasi serta penurunan debit air. Kualitas air pun berbau dan berwarna cenderung gelap. Tumpukan sampah domestik bercampur dengan keborocan limbah pabrik. Kendati Sungai Citarum merupakan andalan 3 waduk sebagai penyuplai air baku, irigasi dan PLTA.

Dalam konteks kerusakan lingkungan, penulis buku Bandung Purba ini menjelaskan, yang paling penting adalah kebijakan pemerintah dalam pengelolaan tata ruang. Konsistensi penegakan hukum multak diterapkan proporsional. Disamping upaya konservasi kawasan hutan dan air dilakukan secara berkelanjutan.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,