Cerita Warga Peroleh Air Bersih dari Kaki Gunung Sindoro

 

Sore itu,  udara terasa dingin. Dari smartphone suhu menujukkan 21 derajat celcius. Winoto baru saja mandi. Rumahnya di Kaki Gunung Sindoro, Dusun Yososari, Desa Reco, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Petani berusia 45 tahun ini biasa tanam sayur dan palawija.

Sejak tiga tahun ini,  dia tak harus mengambil air jauh seperti dulu, sekitar empat kilometer. Puluhan tahun lalu, kala kemarau sumur warga kering. Winoto harus membawa jerigen dengan mengendarai sepeda motor bahkan berjalan kaki untuk mendapatkan air bersih di Lereng Sindoro. Saat ini,  instalasi air terpasang di rumah-rumah, warga tak susah dapat air, cukup memutar kran.

“Walau di lereng gunung belum tentu melimpah air. Musim kemarau di dusun kami susah air,” katanya.

Mayoritas masyarakat Desa Reco, bertani sayuran. Mereka bertani tadah hujan. Lima ratus meter dari dusun, ada mata air, hanya muncul di musim hujan. Kala kemarau tak ada air. Jika hujan deras, sumber air keruh.

Dusun Yososari,  terletak di perbatasan Wonosobo dan Temanggung. Desa ini menyuguhkan pemandangan alam nan indah. Kala cuaca cerah, puncak Sindoro terlihat di utara. Di tenggara kampung, Gunung Sumbing menjulang dengan lahan pertanian bersaf-saf di bagian lereng.

Meski terletak di pegunungan, tak semua kampung daerah itu berkelimpahan air. Beberapa kampung ada yang memiliki satu atau lebih sumber air, tetapi kampung lain, termasuk Kampung Winoto, tak ada.

Di Desa Tlahab, sekitar empat kilometer dari Yososari, sumber air bisa ditemui dengan mudah.  Tlahab adalah desa di Kecamatan Kledung. Letak di timur Desa Reco dan masuk Temanggung. Ketika pengerjaan pondasi pembangunan jembatan di Tlahab, keluar banyak air.

Wonadi, warga Yososari bercerita, mencukupi kebutuhan air di kampungnya sejak tiga tahun lalu dengan membuat sumur bor bersama. Mereka mengebor sedalam 90 meter, dengan debit dua liter perdetik, memompa air naik ke permukaan, lalu menampung dalam tandon berkapasitas 18 meter kubik.

Dari sana, air dialirkan ke rumah-rumah warga melalui pipa. Ada dua sumur di Dusun Yososari, untuk mencukupi 280 pelanggan, dari target awal 250 pelanggan.

Warga membentuk kepengurusan dalam mengelola sumur. Pengurus bertugas merawat sumur dan pipa. Mereka juga mengelola iuran warga. Wonadi menjadi ketua. Jaringan pipa utama ditanam di jalan desa dan gang kampung.

“Ada dua sumur selain untuk mengaliri dua dusun, untuk antisipasi ada kerusakan. Sumur baru bisa menambah warga di dusun sebelah yang memerlukan air bersih,” kata Wonadi.

Kala itu, warga membayar iuran kas Rp150.000 jika ingin menjadi pelanggan baru. Sekarang naik jadi Rp350.000. Biaya pipa ke rumah ditanggung pelanggan. Makin jauh dari jaringan pipa utama, biaya makin mahal.

Pengelola sumur memasang meteran di sambungan pipa warga agar pemakaian air terkontrol. Biaya beban Rp2.000 per meter kubik air dihargai Rp1.000. “Tiap tanggal 15 bayarnya.”

Menurut Wonadi, iuran akan kembali pada warga. Prinsipnya,  dan niat awal bukan seperti perusahaan yang mencari untung sebesar-besarnya, tetapi memenuhi kebutuhan air warga. “Tak gratis dan tidak komersial,” katanya.

 

Wonadi, menunjukkan instalasi pompa air. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Saat ini, ada 280 keluarga berlangganan air. Jumlah itu melebihi kapasitas sumur. Dengan debit air dua liter per detik, sumur dirancang memenuhi kebutuhan 250 keluarga. Mesin pompa bekerja rata-rata 20 jam tiap hari, namun musim kemarau bekerja 24 jam nonstop.

Dampak beroperasi dalam waktu relatif lama tiap hari, pompa pernah rusak dan pasokan air terhenti. Warga kelimpungan tak punya air.

Pemerintah menyebut upaya mendapat akses bersih seperti itu sebagai Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi berbasis Masyarakat). Program ini diterapkan di pedesaan dan pinggiran kota untuk memberi akses air minum dan sanitasi sehat bagi warga yang tak terlayani jaringan air perpipaan.

Kata Wonadi, modal awal membuat sumur dan mesin pompa pakai mekanisme water kredit, digagas lembaga water.org.  Kelompok pengelola air, mendapatkan modal pinjaman Rp70 juta, dan ngangsur selama tiga tahun.

Untuk membayar cicilan, pengelola mendapatkan pemasukan dari pembayaran pelanggan. Setiap pelanggan memiliki water meter tersendiri, hingga besaran biaya berbeda-beda setiap keluarga. Tujuan awal ada kelompok pengelola air di Dusun Yososari, katanya, agar kebutuhan air besih warga terpenuhi untuk minum dan keperluan sehari-hari.

Para pelanggan,  katanya, mendapatkan banyak keuntungan dan manfaat. Rata-rata setiap pelanggan membayar Rp10.000, untuk pemakaian air, jika menggunakan PDAM sebulan setara Rp40.000.

Gusril Bahar, Country Director lembaga Water.org Indonesia mengatakan, mereka mengidentifikasi penyedia air minum dan sanitasi di pedesaaan bekerja sama dengan  Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyedia Air Minum dan Sanitasi yang didirikan Pamsimas dan  Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas).

Selaku lembaga nonprofit yang fokus program penyediaan akses air bersih dan sanitasi layak bagi masyarakat kurang mampu, katanya, Water.org, telah memulai program di beberapa negara, salah satu Indonesia.

Program itu, tak hanya memastikan ketersediaan akses, juga memastikan pihak-pihak pengelola mampu meningkatkan pelayanan lebih sensitif terhadap pihak yang membutuhkan.

 

Setop gunakan air tanah

Purwandi,  Tenaga Ahli Bidang Teknik Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan mengatakan,  penggundulan hutan menyebabkan banyak mata air hilang.

Dia mengingatkan, eksploitasi besar-besaran air tanah dalam waktu lama bisa menjadi ancaman tersendiri. Persediaan air tanah rusak, dan permukaan tanah turun.

Pemerintah, katanya,  harus mencari sumber baru selain air tanah. PDAM di berbagai daerah di Indonesia masih memanfaatkan air permukaan untuk diolah guna penyediaan air bersih layak minum bagi masyarakat.

“Ke depan PDAM tidak bisa lagi mengandalkan sumber air tanah,” katanya.

Dia mencontohkan, suplai penyediaan air masyarakat Kota Solo selama ini sebagian besar dari air tanah dengan mengebor. Separuh lebih konsumsi air Solo dengan model injeksi air tanah, yang mengancam ekosistem.  Kalau berlanjut, katanya,  10 tahun lagi Solo bisa-bisa ambles. “Jika ambles butuh triliun rupiah untuk mengatasi.”

Data Purwandi, kapasitas produksi air bersih layak minum yang dihasilkan PDAM Solo sekitar 840 liter per detik. Sebanyak 430 liter per detik disuplai dari 27 sumur bor.

Sementara kapasitas air bersih dari sumur bor terus menyusut. Eksplorasi air tanah dengan bor juga dilakukan untuk pemenuhan industri.  “Solo juga makin banyak tumbuh hotel yang biasa kebutuhan air bersih disuplai dengan air tanah,” katanya.

Purwandi mengatakan harus setop eksploitasi air tanah skala besar, terlebih di perkotaan. Sebagai ganti, katanya, dengan pengelolaan yang baik, air permukaan bisa sebagai sumber air bersih.

Sistem air perpipaan, katanya, dianggap solusi mengatasi kebutuhan air minum dan sanitasi masyarakat. “Karena (kualitas) air perpipaan lebih mudah dikontrol.”

Sayangnya, tak semua masyarakat bisa mengakses layanan ini.

Contoh lain, di Yogyakarta. PDAM Tirtamarta hanya mampu melayani sekitar 33.500 pelanggan, dengan penduduk sekitar 380.000-an orang.

Warga mengandalkan air tanah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, termasuk perhotelan. PDAM Tirtamarta mencatat ada 32. 455 sumur dangkal warga. Adapun hotel memanfaatkan air tanah dari sumur dalam.

Sejak 2014, pemerintah Kota Yogyakarta telah mewajibkan hotel berlangganan air PDAM. Lantaran pasokan bahan baku terbatas dan jaringan perpipaan PDAM belum memadai, sebagian besar hotel masih mengandalkan air tanah.

Direktur PDAM Tirtamarta Dwi Agus Triwidodo mengakui belum mampu mencukupi kebutuhan hotel. “Air baku terbatas sementara perkembangan hotel sangat masif,” katanya.

Badan Pusat Statistik Yogyakarta mencatat ada 60 hotel berbintang dan 358 hotel non bintang di Yogyakarta pada 2016.  Dwi mengatakan,  bahan baku utama dari mata air Umbul Wadon di Lereng Merapi. Debitnya, 550 liter per detik. Jumlah itu masih kurang hingga PDAM menambah pasokan dari sumur dalam dan dangkal. “Kami belum memanfaatkan air sungai,” katanya.

Peter Lawasa, Kepala Seksi Pengendalian Pencemaran dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Dinas Lingkungan Hidup mengatakan, tak mungkin memanfaatkan air sungai untuk konsumsi. “Kadar ecoli tinggi.”

Kadar ecoli sungai di Yogyakarta mencapai 103.000 per 100 mililiter. Padahal,  batas aman Pemerintah Yogyakarta, melalui Perda Nomor 7/2016, sebesar 10.000 per 100 milimiter. Bahkan ambang batas Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup Nomor 68/2016 jauh lebih rendah lagi. 3.000 per 100 mililiter.

Dia bilang, penyebab utama kadar ecoli tinggi, karena masih banyak warga buang air besar di sungai. “Ada 2.000-an orang buang air besar di satu sungai dalam waktu 24 jam.”

Peter mengatakan, buang air besar di sungai seakan jadi kebiasaan. Orang-orang itu, tetap buang air besar di sungai meski di rumah ada jamban. “Katanya kalau gak kena air gak bisa keluar,” katanya menirukan alasan orang-orang yang buang air besar di sungai.

 

Tanaman sayur warga Desa Yonosari, Kretek. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,