Opini: Selamatkan DAS Peusangan, Selamatkan Kehidupan

 

 

“Bila Ekosistem DAS Peusangan terganggu, maka kehidupan 1 juta jiwa lebih manusia ikut terganggu.”

 

Daerah Aliran Sungai (DAS) Peusangan adalah kawasan ekosistem penting yang ada di Aceh. Keberadaan DAS Peusangan telah dirasakan dan merupakan sumber air yang penting bagi kehidupan manusia yang bermukim di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireuen, Aceh Utara, dan Kota Lhokseumawe. Secara geografis, hulu DAS ini berada di Aceh Tengah, tepatnya di Danau Lut Tawar, Takengon, dan hilirnya berada pesisir Kabupaten Bireuen.

Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (2013), luas DAS Peusangan ini mencapai 255.385 hektar yang tersebar di 5 (lima) Kabupaten. Aceh Tengah seluas 129.327 hektare, Aceh Utara seluas 2.758 hektar, Bener Meriah seluas 44.637 hektar, Bireuen seluas 78.435 hektar, dan Nagan Raya seluas 229 hektar.

Adapun berdasarkan data Aceh Dalam Angka 2016, jumlah penduduk yang memanfaatkan air di DAS Peusangan ini sebanyak 1.433.216 jiwa. Tersebar di Kabupaten Aceh Tengah sebanyak 184.794 jiwa, Bener Meriah sebanyak 121.870 jiwa, Bireuen sebanyak 389.024 jiwa, Aceh Utara sebanyak 557.721 jiwa, dan Kota Lhokseumawe sebanyak 179.807 jiwa.

Air yang dihasilkan oleh DAS Peusangan pun digunakan oleh sejumlah perusahaan air bersih, baik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Krueng Peusangan milik pemerintah Kabupaten Bireuen, maupun usaha penyediaan air minum yang dimiliki swasta.

Selain PDAM Krueng Peusangan, ada juga PT. Pupuk Iskandar Muda yang beroperasi di Kabupaten Aceh Utara, PT. Kertas Kraft Aceh yang beroperasi di Kabupaten Aceh Utara, dan PT. Arun NGL (Perta Arun Gas) yang beroperasi di Kota Lhoskeumawe. Masing-masing perusahaan tersebut mengambil air di hilir DAS Peusangan, tepatnya di Desa Blang Mee Kecamatan Kuta Blang dan Desa Pante Baro Kumbang, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen.

 

Sungai Alas atau masyarakat lokal menyebutnya Lawe Alas merupakan sungai yang arumnya cukup menantang dengan potensi air melimpah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ekosistem DAS Terganggu

Meski penting bagi sumber kehidupan, namun tak urung DAS ini pun terancaman kerusakan. Dalam kurun 2009-2013 deforestasi terus terjadi, yang menyebabkan hilangnya tutupan hutan, seluas 2.011 hektar. Deforestasi diakibatkan oleh ulah manusia, seperti illegal logging, penambangan ilegal, pembukaan lahan pertanian dan perkebunan, serta pembukaan pemukiman warga secara ilegal.

Padahal, secara total DAS ini hanya memiliki tutupan hutan sekitar 69 ribu hektar, yang tersebar di Aceh Tengah (52 ribu hektar), Aceh Utara (464 hektar), Bener Meriah (4.600 hektar), Bireun (12 ribu hektar), dan Nagan Raya sekitar 229 hektar.

Selain berkurangnya kawasan hutan, kawasan tangkapan air akibat alih fungsi lahan, aktivitas penambangan pasir dan batuan, baik di hulu, tengah dan hilir DAS Peusangan juga menjadi sumber malapetaka baru. Aktivitas penambangan yang tidak terkontrol juga mengakibatkan ekosistem sungai rusak, pencemaran air dan erosi.

Berkurangnya kawasan hutan, tak urung juga mengganggu fungsi kawasan hutan sebagai habitat satwa. Konflik satwa dengan manusia diindikasikan meningkat di kawasan ini. Termasuk, konflik yang terjadi dengan berbagai jenis satwa liar yang dilindungi yang masih ada di DAS Peusangan, seperti gajah, harimau, hingga ragam jenis satwa lainnya.

Pembukaan lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman warga di hulu dan tengah DAS Peusangan juga berpengaruh pada keberlangsungan DAS penting ini. Bila tutupan hutan, kawasan tangkapan air terganggu, maka bisa dipastikan sumber air ikut terganggu, hingga pada akhirnya bencana kekeringan akibat kerusakan DAS ini pun mengancam kehidupan manusia.

 

Arung jeram ini dapat dilakukan di Ketambe yaitu dengan menelusuri Sungai Alas. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menyelamatkan DAS Peusangan

Untuk menyelamatkan DAS Peusangan yang kian rusak, para pihak terutama pemerintah, swasta, masyarakat dan NGO harus bersama melindungi DAS Peusangan dari kerusakan. Masing-masing pihak melalui kekuatan yang dimiliki, harus bersinergi menjaga sumber kehidupan yang sudah terlanjur terancam ini.

Pemerintah lewat kekuatan regulasi seharusnya bisa memonitor dan melakukan penegakan hukum bagi permasalahan lingkungan yang terjadi. Pemerintah juga dapat memediasi permasalahan konflik satwa-manusia seperti yang terjadi di Aceh Tengah, Bener Meriah dan Bireuen. Salah satunya, melalui penetapan koridor satwa atau Kawasan Ekosistem Esensial.

Pemerintah juga dapat membatasi penambangan pasir melalui penetapan zonasi penambangan setelah melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Untuk persoalan hutan lindung, pemerintah dapat melakukan pendataan terkait pembukaan lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman warga yang berada di dalam kawasan hutan lindung, sehingga dapat dicarikan solusi bersama.

Bila pemerintah telah mempertahakan status kawasan hutan, maka para pihak yang terlanjur masuk kedalam kawasan hutan dengan kerelaan harus meninggalkan lahan pertanian dan bersama-sama melakukan rehabilitasi lahan atau reboisasi. Solusi lain adalah dengan pengaturan pola tanam dan tanaman agroforestry yang tidak merusak lingkungan.

Sementara pihak swasta juga dapat berkontribusi untuk melindungi DAS Peusangan. Perusahaan yang memanfaatkan DAS Peusangan sebagai sumber bahan baku air dapat memberikan Jasa Lingkungan atau PES (Payment on Environmental Services) guna merehabilitasi dan reboisasi kawasan hutan dan kawasan tangkapan air yang terlanjur rusak, dengan melibatkan masyarakat setempat.

Bagi perusahaan perkebunan yang telah membuka lahan perkebunan sehingga mengganggu koridor satwa, terutama gajah, maka perusahaan dengan kerelaan perlu melepaskan lahan untuk dijadikan koridor gajah, sehingga konflik satwa-manusia tidak lagi terjadi.

Sementara NGO, baik lokal maupun nasional yang bekerja di DAS Peusangan dapat ikut berperan aktif mendorong pemerintah, swasta dan masyarakat untuk melindungi DAS Peusangan melalui konsep pembanguan berkelanjutan yang dilakukan. Sehingga, pembangunan yang dilakukan pemerintah, swasta, dan masyarakat tidak mengganggu ekosistem DAS Peusangan. Semoga! Salam Lestari.

 

*Abdul Halim, Staf Forum DAS Krueng Peusangan, Bireuen, Aceh. Artikel ini merupakan opini penulis

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,