Pemkab Maluku Tenggara Barat Belum Dukung Pembangunan SKPT Saumlaki?

Pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) Saumlaki di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), Provinsi Maluku, yang sudah dimulai sejak dua tahun lalu, hingga kini seperti berjalan di tempat. Tak banyak sarana dan prasarana yang sudah terbangun dengan baik seperti layaknya SKPT lain yang sudah ada seperti di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

Satu-satunya fasilitas yang sudah dibangun, adalah Pelabuhan Perikanan Indonesia (PPI) Ukurlalan yang disiapkan menjadi fasilitas utama SKPT Saumlaki. Pembangunan pelabuhan tersebut, sudah dilakukan sejak 2005 atau 10 tahun sebelum Saumlaki ditetapkan menjadi lokasi pembangunan SKPT oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

 

 

Koordinator Destructive Fishing Watch (DFW) Moh Abdi Suhufan di Jakarta, pekan lalu, mengatakan, meski sudah dibangun sejak 2005, namun hingga kini pelabuhan Ukurlalan masih belum juga dioperasikan. Padahal, untuk membangun pelabuhan tersebut selama periode 2005 hingga 2010, anggaran yang digelontorkan sudah menghabiskan Rp26 miliar.

“Sementara, KKP sendiri pada tahun ini hanya menganggarkan Rp6 miliar dan tahun 2016 lalu tidak lebih dari Rp6 miliar juga,” ungkap dia.

Abdi Suhufan menjelaskan, penyebab utama belum berkembangnya SKPT Saumlaki karena hingga saat ini masih belum ada prioritas program dan fokus intervensi SKPT dari KKP. Selain itu, masih lemah komitmen dan dukungan Pemerintah daerah serta konsentrasi nelayan yang tersebar pada beberapa titik.

Di luar itu, Abdi menyebut, KKP juga gagal melakukan pemetaan tentang kapasitas nelayan di Saumlaki yang jumlahnya hanya 9.597 jiwa atau 8,6 persen dari jumlah penduduk yang mencapai 110.425 jiwa.

“KKP perlu segera menyusun bisnis proses yang menggambarkan status kegiatan, status infrastruktur yang sudah terbangun, memetakan gap yang ada, kapasitas produksi, pembiayaan usaha dan pasar terhadap komoditas andalan SKPT Saumlaki,” ujar dia.

Yang juga menjadi persoalan, menurut Abdi, desain PPI Ukurlaran perlu direvisi bukan saja sebagai pusat produksi dan distribusi hasil laut, tetapi juga sebagai pusat kuliner dan wisata baru di Saumlaki.

 

Suasana di salah satu pesisir di Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Maluku. Foto : Ditjenpdt Kemendesa/Antara

 

Potensi Besar

Dengan kendala yang ada tersebut, Abdi Suhufan meminta Pemerintah untuk segera menyelesaikannya. Karena menurut dia, Saumlaki memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar. Dari laut Saumlaki yang masuk dalam wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 718 dan 714, diperkirakan potensi ikan di dalamnya mencapai 2,4 juta ton.

Potensi yang besar tersebut, menurut Abdi, hingga kini masih belum dimanfaatkan dengan maksimal. Pada 2015 contohnya, kata dia, produksi dan nilai perikanan tangkap Maluku Tenggara Barat jumlahnya hanya mencapai 9.425 ton dengan nilai Rp125 miiar.

Selain produk tangkap, Abdi mengatakan, Saumlaki juga memiliki catatan hasil produksi rumput laut kering sebanyak 10.714 ton dengan nilai Rp96 miliar. Kekayaan laut ini, tutur dia, berbanding terbalik dengan jumlah orang miskin di Maluku Tenggara Barat yang mencapai 28,58 persen.

“Membangun SKPT Saumlaki sangat penting untuk mengubah paradoks yang berkembang saat ini, yaitu kemiskinan masyarakat di tengah kelimpahan sumberdaya ikan,” tegas dia.

Berbeda dengan tahun buku 2016 dan 2017, Abdi Suhufan menyebut, KKP dikabarkan akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp65 miiar untuk membangun SPT Saumlaki pada 2018. Jika itu benar, kata dia, maka sebaiknya KKP melakukan akselerasi pembangunan SKPT Saumlaki dengan melebarkan fokus pembangunan dari penyediaan infrastruktur perikanan ke rekayasa sosial untuk meningkatkan jumlah nelayan, dan membentuk organisasi nelayan yang kuat.

“Perlu membuka opsi untuk mendatangkan nelayan dari luar Saumlaki dengan persiapan sosial yang matang terkait dengan permukiman dan proses transformasi sosial dengan masyarakat lokal agar tidak timbulkan konflik,” kata dia.

“Selain itu, perlu ada upaya meningkatkan skill, kemampuan dan etos kerja nelayan lokal Saumlaki agar dapat meningkatkan hasil tangkapan,” tambah dia.

 

Suasana di Pulau Yamdena, Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Maluku. Foto : Savitri Kusuma/Panoramio

 

Di luar fokus tersebut, Abdi Suhufan mengungkapkan, SKPT Saumlaki sebaiknya tidak hanya fokus pada perikanan tangkap saja, melainkan juga perlu melakukan intervensi peningkatan produksi dan pengolahan rumput laut. Kata dia, produksi rumput laut MTB merupakan terbesar ke-3 di provinsi Maluku setelah Kota Tual dan Kab Maluku Barat Daya.

“Intervensi rumput laut dilakukan melalui sinergi dengan Kementerian Desa yang mulai tahun ini melaksanakan program aquaculture estate dengan anggaran Rp16 miliar untuk kembangkan rumput laut,” jelas dia.

Di Saumlaki sendiri, Abdi menyebut, saat ini terdapat pabrik pengolahan rumput laut (chip) di Desa Lermatang, Saumlaki yang dibangun oleh Kementerian Desa pada 2010. Namun, sejak dibangun hinggai saat ini, pabrik tersebut belum juga beroperasi. Untuk mengatasi hal ini, menurut dia, integrasi program menjadi kunci keberhasilan.

“KKP, Kementerian Desa, Pemda Maluku dan Pemda Maluku Tenggara Barat mesti duduk dalam satu meja bundar untuk menyusun tabulasi masalah serta rencana aksi dalam membangun SKPT Saumlaki dengan mempertimbangkan semua aspek modalitas pembangunan yang ada saat ini,” tegas dia.

“Hal ini mengingat Saumlaki merupakan daerah perbatasan yang memiliki makna dan berperan penting dalam kacamata geo-strategis, geo-ekonomi maupun geo-politik bagi negara dan bangsa Indonesia,” tandas dia.

 

Efisiensi Anggaran

Peneliti DFW Indonesia Wida Safitri mengatakan, pembangunan SKPT Saumlaki diperkirakan tidak akan mencapai target. Perkiraan itu muncul, karena KKP memutuskan untuk mengurangi alokasi anggaran SKPT sebesar Rp114 miliar dari semula Rp771,8 miliar menjadi Rp657,8 miliar. Kata dia, pengurangan anggaran tersebut berdampak pada pembangunan 8 SKPT dari total 12 SKPT yang dibangun pada 2017 ini.

Menurut Widya, pengurangan alokasi anggaran menunjukan ketidaksiapan perencanaan SKPT oleh KKP sehingga pembangunan infrastruktur vital yang mendukung industrialisasi di daerah pinggiran menjadi terlambat.

Pihak KKP, sebut dia, mengajukan penghematan anggaran termasuk SKPT karena alasan ketidaksiapan lahan serta belum selesainya perencanaan teknis seperti detail engineering design (DED) dan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) di beberapa lokasi seperti Biak, Mimika, Saumlaki, Rote Ndao dan Sumba Timiur. Masalah teknis tersebut, seharusnya sudah diselesaikan sejak tahun pertama proyek ini akan dijalankan pada 2015 lalu.

“Problem perencanaan teknis akhirnya mengaburkan tujuan besar program ini untuk membangun industri perikanan di daerah pinggiran,” jelas dia.

 

Seorang nelayan di Kabupaten Pulau Taliabu di Provinsi Maluku Utara dengan kapal tanpa motor. Sebagian besar kapal nelayan masih merupakan kapal tanpa motor atau sampan, dan sebagian berupa katinting. Potensi perikanan di Kabupaten Taliabu Maluku Utara belum tergarap dengan baik karena minimnya fasilitas tangkap dan pasca produksi. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Akibat kebijakan penghematan ini, Widya menjelaskan, rencana pembangunan gudang beku di Mimika dan Integrated Cold Storage (ICS) dI Saumlaki masing-masing 200 ton senilai Rp20 miliar menjadi batal. Padahal, ujar dia, sebelumnya KKP telah memberikan izin kepada 30 kapal ikan berukuran diatas 30 gros ton (GT) asal Indramayu, Jawa Barat untuk melakukan penangkapan ikan di Laut Arafura.

“Gagalnya pembangunan unit pengolahan ikan di Mimika dan Saumlaki akan timbulkan masalah. Hasil tangkapan ikan yang tidak bisa langsung diolah. Biaya logistik tidak akan bisa ditekan jika unit pengolahan tidak terbangun di lokasi SKPT,” tutur dia.

 

Kendala SKPT

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Sjarie Widjaja pada kesempatan terpisah mengatakan, pembangunan SKPT di sejumlah lokasi memang tidak bisa mencapai perkembangan yang sama. Antara satu lokasi dengan lokasi yang lain, ada berbagai macam persoalan yang bisa mempercepat atau menghambat pembangunan.

Salah satu lokasi yang hingga saat ini masih bermasalah, menurut Sjarief, adalah salah satu lokasi yang ada di bawah pengelolaan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap dan hingga kini persoalan kepemilikan tanah masih belum selesai.

“Saumlaki belum ada hibah tanah dari Bupati, kalau (lokasi) yag lain sudah ada tanah di kita. Ini yang akan kita selesaikan. Saya akan datang ke sana saat peringatan Hari Kemerdekaan nanti, sekalian menyelesaikan persoalan ini,” ucap dia.

Selain Saumlaki, lokasi lain yang pembangunannya dilakukan oleh DJPT, kata Sjarief, adalah Natuna, Merauke, Sebatik, Dogo (Tahuna). Dari semua lokasi yang sedang dalam pembangunan itu, masing-masing memiliki karakteristik berbeda.

“Ada yang pembangunan sudah berlangsung dan hampir selesai, tapi kapal-kapal ikan masih belum ada yang berlabuh. Tapi sebaliknya, ada juga yang pembangunannya belum bagus progress-nya, namun kapal-kapal sudah banyak yang masuk,” papar dia.

Dari lima lokasi yang ada tersebut, Sjarief menyebut, Natuna sudah beroperasi per 1 Juni lalu dan saat ini sudah ada 144 kapal ikan yang masuk. Kemudian, Merauke yang fasilitasnya masih sangat minim, justru sudah didatangi kapal-kapal ikan.

Untuk sarana seperti cold storage, Sjarief menegaskan, pembangunan akan dilaksanakan di lokasi Sebatik dan Merauke. Sementara, lokasi lain hingga saat ini masih belum diketahui apakah akan dibangun cold storage atau tidak.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,