Memulihkan Lahan-lahan Bekas Tambang Pasir di Desa Sekitar Merapi

 

Keningar, berjarak sekitar tujuh kilometer dari Puncak Merapi, persis berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Merapi. Lalu, Desa Sumber, lebih rendah dibanding Keningar. Lebih dekat lagi dengan puncak,  ada Desa Ngargomulyo. Ketiga desa berada di Kecamatan Dukun, Magelang, Jawa Tengah.

Pada letusan hebat Merapi 2010, dalam peta zonasi erupsi keluaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), loka-lokasi itu masuk daerah rawan bencana.

Sarpono, warga Desa Sumber, mengatakan, kala erupsi desanya rusak tertutup pasir dan batu.

“Tanaman pertanian rusak, pohon-pohon mati. Hancur, tak ada tersisa. Kami diminta mengungsi ke bawah,” katanya, usai mengikuti pertemuan di Balai Desa Keningar, Senin, 7 Agustus lalu. Hadir dalam pertemuan perwakilan Bappenas, Bappeda, Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Sesami, warga, dan media.

Di Keningar, rumah-rumah warga agak di bawah, sementara lahan pertanian di atas. Usai erupsi, kondisi Keningar,  tak jauh beda dengan Sumber. Desa bak lautan pasir. Batas-batas lahan garapan warga kabur, bahkan hilang.

 

Tambang merusak

Muntahan pasir Merapi memancing penambang pasir dari luar mengeruk kekayaan alam desa-desa sekitar gunung. Kendaraan besar dan alat-alat berat lalu merangsek masuk desa. Jalan desa rusak. Aspal mengelupas, dan jalan bergelombang.

Deru kendaraan besar dan alat berat memecah kedamaian desa di kaki gunung itu. Warga sempat protes, tetapi penambangan terus berlanjut.

Kawasan penambangan pasir tak kalah rusak. Gundukan pasir di sana sini, dan lubang mengangga dibiarkan begitu saja.

Awal Agustus itu, terlihat beberapa titik di Keningar, masih ditambang. Truk-truk tampak hilir mudik mengangkut pasir. Jalan masuk ke area penambangan ada yang dibatasi portal untuk mencegah mereka yang tak berkepentingan masuk.

Di persimpangan jalan menuju lokasi penambangan ada pos kecil. Beberapa laki-laki menunggu di sana. Sebagian rambut dicat tembaga.

“Tak ada perjanjian tertulis antara penambang dan pemilik lahan,” kata Sarpono. “Sewa satu hektar dibayar Rp100 juta, sampai selesai.”

Pemilik lahan mengira, setelah ditambang lahan diratakan kembali. Kenyataan tidak. Alhadil, warga kesulitan mengolah lahan kembali. Kontrak juga tak jelas hingga warga kesulitan meminta kembali lahan kepada penambang dengan alasan masih ada pasir tersisa.

“Saya berterima kasih kepada Sesami karena membantu mencari batas lahan,” katanya. Batas lahan itu sementara ditandai dengan tali.

Sesami adalah LSM yang mendampingi warga memetakan kembali lahan warga usai erupsi. LSM yang mendapat dana ICCTF  ini juga mendampingi warga memulihkan lahan, memanfaatkan biogas, dan bioslurry.

Ines Septi Arsiningtyas, Program Officer Sesami menjelaskan, pendampingan itu mulai sejak Juli 2016, meliputi tiga desa terdampak yaitu Sumber, Keningar, dan Ngargomulyo.

ICCTF memberikan bantuan dana hampir Rp1 miliar untuk satu program dari Juli 2016-Desember 2017.

“Kami mendorong warga tak jadikan lahan bertani sebagai lokasi penambangan pasir. Warga pemilik lahan sepakat menandatangani surat pernyataan agar lahan tidak ditambang kembali,” katanya.

Seturut dengan itu, batas antarlahan diperiksa kembali, yang melibatkan seluruh warga pemilik lahan. Bukan perkara mudah menentukan batas karena kontur lahan sudah berubah, dan penanda batas banyak hilang. Dengan komunikasi yang baik, masalah bisa selesai.

“Itu juga memudahkan kami mendokumentasikan lahan, dan menghitung berapa luas yang harus ditanami.”

Dalam catatan ICCTF, pemilik lahan pasca tambang yang menerima manfaat ada 200 keluarga di Keningar, 798 keluarga Ngargomulyo, dan 12 dusun di Sumber.

 

Lokasi bekas tambang pasir di Keningar. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Hijaukan lahan berpasir 

Pasca tambang, lahan mengalami degradasi karena tereksploitasi sejak 2005. Untuk menghijaukan daerah itu, kualitas tanah harus pulih kembali. Kandungan lahan kebanyakan pasir dan sedikit tanah, perlu pupuk dalam jumlah banyak agar bisa memberi nutrisi cukup untuk tanaman.

Sesami bersama warga binaan memanfaatkan pupuk kandang. Kebetulan sebagian warga peternak sapi, hingga pupuk kandang lebih mudah.

Uniknya, warga sekaligus diajak memanfaatkan pupuk kandang sebagai bahan biogas untuk keperluan memasak sehari-hari.

“Kami membantu warga membuat biodegester. Bentuk seperti dome, dibangun di dalam tanah,” kata Ines.

Biodigester ini menampung kotoran sapi milik warga. Gunanya, memproses kotoran sapi hingga menghasilkan gas. Kapasitas dome 12 kubik. Ada 10 keluarga terlayani, dengan 10 biodigester, tersebar di tiga desa. “Ini bisa memotong siklus penggunaan energi fosil atau non terbarukan.”

Biaya pembuatan biodegester hampir Rp20 juta. Dengan konstruksi dinding batu bata dan semen. Cukup kuat dari kemungkinan rusak gempa. Sambungan pipa sengaja ditanam demi keamanan. Jarak biodigester ke dapur sekitar 50 meter.

Buat optimalisasi hasilkan biogas, dome harus terisi sekitar 10 ember air dan 10 ember kotoran tiap setengah bulan sekali.

Purwanto, warga Keningar yang memanfaatkan biogas menuturkan, dalam satu bulan rata-rata sebelumnya pakai tiga sampai empat tabung gas melon. Kini cukup pakai gas biodegester.

Manfaat lain dari buangan biodegeter adalah cairan untuk pupuk tanaman, disebut bioslurry.

“Saya untuk menyiram cabai. Dibanding yang tak memakai bioslurry beda sekali. Meski telah dipetik 10 kali, masih bisa muncul tunas di takik-takiknya.”

Sebelum bisa terpakai, limbah cairan biodegester itu harus dicampur dengan EM4 (atau probiotik lain) dan tetes tebu. Takaran, lima tutup botol probiotik, 10 tutup botol tetes tebu, dalam 160 liter cairan limbah. Setelah proses fermentasi seminggu, cairan itu dicampur air satu banding lima dan siap dikocorkan ke tanaman. Dari tiap biodigester bisa hasilkan 400 liter bioslurry dalam satu bulan.

Kemis, warga Ngargomulyo, punya lahan tanam cabai 1.000 meter persegi, dengan 4.000 batang cabai. Dia bisa menghemat uang, dan tak ada kendala saat memakai bioslurry. Sebelumnya, dia gunakan pupuk kandang ditambah pupuk kimia seperti urea, NPK, ZA.

“Dulu, ada pengeluaran beli pupuk kimia. Bioslurry mengurangi pupuk kimia. Tanah jadi gembur, tumbuh sangat baik. Daun tebal, buah bagus,” katanya.

Sukijo, Ketua Kelompok Tani Keningar Hijau, menceritakan pengalaman pakai bioslurry.

“Setiap tiga hari sekali tanaman cabai saya siram bioslurry. Dulu pakai urea, sebulan sekali tetapi ada risiko, kalau terlalu banyak urea tanaman bisa mati. Bioslurry tidak, bahkan bisa trubus lagi.”

Dari pengalaman, cabai yang pakai urea usia tanam hanya lima bulan, setelah itu harus ganti. Dengan bioslurry, bisa produksi satu tahun lebih.

Cabai terlihat sangat subur. Buah lebat dan warna mengkilat. Ukuran dua kali rata-rata cabai tanpa pemupukan dengan bioslurry.

Lahan yang ditanami cabai seluas 1.200 meter persegi, menampung 2.000 pohon. Setiap kali panen dia mendapat 35-40 kilogram cabai, dipetik tiga hari sekali. Harga cabai di tengkulak rata-rata Rp20.000-Rp25.000 per kilogram.

Bioslurry bukan hanya untuk cabai. Pemulihan lahan pasca tambang juga pakai cairan ini untuk menyuburkan bibit tanaman. Luas lahan pasca tambang dan tegalan yang telah ditanami 148.420 meter persegi. Ada  25.750 bibit pohon ditanam di lahan kritis. Terbanyak sengon, dan buah-buahan.

Agus Widodo, Kepala Sub Bidang Litbang Pemsosbud, Bappeda Magelang, dalam pertemuan itu mengatakan, untuk keberlanjutan program memungkinkan pakai dana desa.

“Ada dana desa dari pemerintah pusat, alokasi pemerintah kabupaten, lalu bagi hasil pajak dan restribusi. Desa punya kewenangan menganggarkan dari sana. Seharusnya, musrenbang desa bisa menangkap kebutuhan masyarakat,” katanya.

Dari berbagai upaya ini, Sukijo berharap, Keningar terbebas dari dampak buruk penambangan pasir skala besar dan kembali hijau.

 

Limbah biodigester buat pupuk cair alami. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Warga menyiram bibit sengon dengan cairan bioslurry. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,