Fokus Liputan : Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru : Kondisi Nelayan Kecil [Bagian 1]

Sejak 2014, nelayan di Pulau Buru, Provinsi Maluku menjadi bagian dari program fair trade fishery atau perikanan dengan prinsip perdagangan berkeadilan. Dalam fair trade fishery, nelayan-nelayan kecil menerapkan sejumlah prinsip seperti pembayaran adil, pelestarian lingkungan, hingga penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Pada akhir Agustus lalu, Mongabay Indonesia melihat langsung praktik fair trade fishery pertama di dunia yang melibatkan nelayan kecil, pemasok, organisasi non-pemerintah (ornop), dan perusahaan pengolahan tuna itu. Tulisan ini merupakan bagian pertama sekaligus sebagai pengantar tentang kondisi nelayan di Pulau Buru pada umumnya.

***

 

 

Matahari baru saja tenggelam di Desa Waepure, Kecamatan Airbuaya, Kabupaten Buru, Maluku akhir Agustus lalu. Semburat jingga masih terlihat di ufuk barat menghadirkan kilau cahaya di permukaan air laut.

Petang itu, sebagian nelayan di Desa Waepure baru kembali dari melaut. Setelah sekitar 12 jam memancing di laut, mereka kembali ke pesisir. Perahu-perahu berukuran kecil, rata-rata hanya satu nelayan di tiap perahu berbobot 1-2 gross ton (GT), berputar sebentar di air untuk mencari posisi sebelum kemudian menuju daratan.

Sekelompok nelayan, antara 5-6 orang, menyambut teman-temannya yang baru sampai di pantai. Mereka menyiapkan balok-balok kayu di pasir sebagai pijakan ketika perahu kecil tiba di daratan, untuk memudahkan perahu bersandar.

(baca : Nelayan Kecil Lebih Sejahtera dengan Perdagangan Berkeadilan. Kok Bisa?)

Jafar Wagola, bapak tiga anak, termasuk salah satu nelayan di Pantai Waepure petang itu. Setelah melaut sejak sekitar pukul 3 pagi, hari itu dia hanya mendapatkan satu ekor tuna jenis sirip kuning (yellow fin). Jafar memotong tangkapannya menjadi empat bagian besar (loin) begitu mendapatkannya. Saat sampai di daratan, ikan tuna itu sudah dalam bentuk potongan besar.

Tiap potong tuna dia bungkus plastik setelah sebelumnya dibersihkan bagian tulang dan kulitnya. Begitu sampai darat, dia langsung menjual empat potong tuna itu ke pemasok (supplier) langganannya.

 

Seorang istri nelayan menyiapkan kayu balok untuk kapal suaminya yang pulang dari melaut di Pulau Buru, Maluku, akhir Agustus 2017. Nelayan kecil di Pulau Buru pada umumnya menggunakan kapal berukuran 1-2 GT dengan waktu melaut harian 10-12 jam. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Jafar sebenarnya berasal dari Desa Asilulu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah di bagian utara Pulau Ambon. Dia mengaku baru tiga bulan tinggal di pantai Desa Waepure. Bersama anak istri dan teman-temannya dia menempuh perjalanan dengan perahu di laut selama sekitar 12 jam dari desa asalnya untuk kemudian menetap sementara di Desa Waepure.

Sekitar 20 keluaga itu membangun pemukiman sementara, bangunan mirip tenda dengan atap dari plastik terpal, persis di pinggir pantai, dengan perahu-perahu yang bersandar didepannya. “Kami pindah sementara ke sini karena makin susah dapat ikan di desa kami sendiri,” kata Jafar.

Petang itu nelayan-nelayan lain menyiapkan pancing atau mengisi bensin mesin mereka. Mereka bersiap untuk kembali melaut besok pagi dini hari. Sebagian lagi hanya duduk-duduk di depan tenda. Di tempat lain, anak-anak usia SD bermain kejar-kejaran di pantai hitam dengan pasir dan batu kerikil. Ibu-ibu duduk sambil menggendong bayinya menikmati ombak.

Hari makin gelap. Semburat jingga sisa matahari pelan-pelan hilang. Ombak-ombak terus datang. Menyapu pasir. Membawa aroma laut dari laut di bagian utara Pulau Buru.

(baca : Memetakan Solusi menuju Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan. Bagaimana Prakteknya?)

 

Nelayan Kecil

Buru termasuk salah satu pulau besar di Provinsi Maluku, provinsi kepulauan yang juga memiliki Kepulauan Banda, Kepulauan Kei, dan Kepulauan Aru. Luas pulau ini sekitar 9.505 km persegi, lebih luas dibandingkan Pulau Bali yang luasnya sekitar 5.636 km persegi. Pulau ini terdiri dari dua kabupaten yaitu Buru dan Buru Selatan.

Untuk mencapai Pulau Buru perjalanan bisa dari Kota Ambon, ibu kota Provinsi Maluku, lewat laut ataupun udara. Perlu waktu 10 jam dengan kapal feri dari pelabuhan di Ambon hingga Namlea, ibu kota Kabupaten Buru Utara sekaligus kota terbesar di Pulau Buru. Penerbangan Ambon – Namlea hanya ada satu kali dalam seminggu.

 

Keluarga nelayan dari Asilulu yang membangun pemukiman sementara di Desa Waepura, Pulau Buru, Maluku. Data BPS Kabupaten Buru, menyebutkan ada sebanyak 7.620 rumah tangga perikanan pada 2015, sedangkan data DKP Pemprov Maluku menyebutkan ada 644 rumah tangga perikanan di Kabupaten Buru pada 2016. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sejak akhir 1960-an, nama Pulau Buru identik dengan pulau buangan untuk para tahanan politik (tapol) yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Para tapol itu umumnya tinggal di Kecamatan Waeapo di bagian selatan dari Namlea. Lokasi para tapol saat ini menjadi salah satu daerah penghasil beras, tidak hanya di Pulau Buru tetapi juga di Maluku.

Di balik nama besar yang telanjur melekat sebagai pulau buangan para tapol, Pulau Buru sebenarnya juga salah satu lumbung ikan bagi Maluku, terutama di daerah pesisir utara Pulau Buru seperti Namlea, Waprea, Waplau, dan Waepure.

Jafar dan nelayan kecil lain di pemukiman sementara Desa Waepure termasuk salah satu contoh kehidupan nelayan-nelayan di Pulau Buru, Maluku. Pada umumnya, nelayan di sini merupakan nelayan kecil dengan perahu berbobot 1-2 GT. “Sebagian besar nelayan Pulau Buru memang nelayan kecil dengan bobot perahu di bawah 10 GT,” kata Masruhin Soumena, Kepala Bidang Pengolahan dan Produksi Dinas Perikanan Kabupaten Buru.

Menurut Masruhin, nelayan Pulau Buru lebih bersifat subsisten, menangkap ikan hanya untuk keperluan hidup sehari-hari, bukan untuk tujuan ekspor. Cara mereka menangkap pada umumnya dengan memancing sehingga lebih ramah lingkungan. Lokasinya di Laut Seram yang berada di sisi utara Pulau Buru. Seperti halnya Jafar, para nelayan itu melaut hanya dalam hitungan jam, antara 10 sampai 12 jam.

(baca :  Bisnis Tuna Berkelanjutan di Indonesia Terhalang Akibat Kurangnya Data dan Insentif)

Perikanan termasuk sektor yang menyumbang tenaga kerja terbanyak di Kabupaten Buru bersama dengan pertanian dan kehutanan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Buru, jumlah rumah tangga perikanan di Kabupaten Buru pada tahun 2015 sebanyak 7.620 rumah tangga. Jumlah terbanyak berada di Kecamatan Namlea. Hal ini karena pengaruh kepadatan penduduk kecamatan serta jumlah desa pesisir di kecamatan tersebut.

Namun, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemprov Maluku menyajikan data berbeda. Hingga 2016 lalu, berdasarkan data DKP Provinsi Maluku, rumah tangga perikanan di Kabupaten Buru hingga 2016 sebanyak 644. Jumlah itu termasuk paling kecil di Maluku. Bandingkan, misalnya dengan Kabupaten Maluku Tengah yang memiliki 15.353 rumah tangga perikanan dan jumlah perahu mencapai 3.543 perahu. Di Pulau Buru, menurut data DKP Pemprov Maluku, lebih dari 70 persen nelayan menggunakan perahu tanpa motor ukuran kecil.

Dari sisi produksi, hasil produksi perikanan laut Kabupaten Buru sebesar 8.038,28 ton pada 2015, meningkat dibandingkan 2014 yang hanya sebesar 7.696,20 ton. Berdasarkan data DKP Pemprov Maluku, jenis ikan tangkapan di Kabupaten Buru yang paling banyak adalah layang (773 ton), selar (502 ton), julung (470 ton), kembung (314 ton), cakalang (275 ton), dan tuna (259 ton).

Meskipun demikian dari sisi ekonomi penjualan ikan tuna merupakan yang terbanyak kedua (Rp2,6 miliar) setelah layang (Rp3,8 miliar). Di tingkat provinsi, tuna merupakan ikan yang paling banyak diekspor sepanjang 2016 berjumlah 1.115,21 ton. Jumlah tersebut hanya kalah dengan udang sebanyak 2.071,84 ton. Adapun ikan kerapu beku yang terbanyak ketiga dengan jumlah tangkapan hanya 8,86 ton pada 2016 lalu.

 

Hasil tangkapan nelayan kecil di Pulau Buru, Maluku, berupa ikan tuna. Nelayan di Pulau Buru pada umumnya merupakan nelayan kecil yang hanya bergantung pada hasil melaut saja. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Ikan tuna di Pulau Buru dihasilkan oleh nelayan-nelayan kecil semacam Jafar maupun nelayan lain di Desa Waepure. Mereka menjualnya melalui pemasok yang oleh nelayan setempat biasa disebut supplier. Sebagian besar nelayan kecil tergantung pada pemasok tidak hanya dalam penjualan hasil tangkapan tetapi juga dalam operasional.

Saldin, nelayan di Desa Wamlana, termasuk salah satu pemasok. Selain sehari-hari juga melaut, Saldin menyediakan kebutuhan bagi nelayan-nelayan lain di desanya. Misalnya perahu, bensin, es, hingga plastik. Es dan plastik merupakan kebutuhan untuk menjaga agar kualitas ikan tangkapan tetap bagus selama nelayan melaut.

Saat ini Saldin memiliki empat perahu yang tiga di antaranya dia pinjamkan ke nelayan lain. “Gratis. Mereka hanya membayar bensin dan harus menjual ikannya ke saya,” kata Saldin. Sebagai pengepul, dia sangat tergantung pada pasokan ikan dari nelayan-nelayan kecil. Namun, di sisi lain, nelayan-nelayan kecil juga sangat tergantung pada suplai bahan bakar minyak ataupun sarana melaut lainnya dari pemasok.

Dari nelayan kecil semacam Jafar lalu ke pengepul seperti Saldin, ikan tuna dari Pulau Buru kemudian akan diolah lagi sebelum kemudian diekspor ke Amerika Serikat. Mereka merupakan bagian dari rantai panjang perikanan dari laut hingga meja makan.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,