Fokus Liputan : Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru: Masalah dan Tantangan [Bagian 4]

 

Sejak 2014, nelayan di Pulau Buru, provinsi Maluku menjadi bagian dari program fair trade fishery atau perikanan dengan prinsip perdagangan berkeadilan. Dalam fair trade, nelayan-nelayan kecil menerapkan sejumlah prinsip seperti pembayaran adil, pelestarian lingkungan, hingga penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Akhir Agustus lalu, Mongabay melihat langsung praktik fair trade fishery pertama di dunia yang melibatkan nelayan kecil, pemasok, organisasi non-pemerintah (ornop), dan perusahaan pengolahan tuna itu.

Tulisan ini merupakan bagian terakhir dari empat tulisan berseri tentang topik tersebut.

Tulisan pertama berjudul Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru : Kondisi Nelayan Kecil.

Tulisan kedua berjudul Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru : Begini Praktiknya untuk Nelayan Kecil.

Tulisan ketiga berjudul Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru, Makin Sejahteranya Nelayan kecil.

***

 

Selama tiga tahun berjalan, program perikanan dengan prinsip perdagangan berkeadilan (fair trade fishery) di Kabupaten Buru, Maluku berhasil mendorong sejumlah perubahan. Nelayan-nelayan kecil di Pulau Buru tidak hanya lebih terorganisir tetapi juga memiliki wawasan dan jaringan lebih luas. Mereka pun bisa mendapatkan harga lebih tinggi dan dana premium untuk kelompok sekaligus kini peduli pada lingkungan dan keberlanjutan sumber daya perikanan.

Meskipun demikian, pelaksanaan perikanan fair trade di Pulau Buru juga menghadapi sejumlah tantangan dan masalah.

Hal paling terasa adalah ketergantungan nelayan kecil pada pemasok (supplier) sebagai middle man. Para pemasok menjual tuna dari nelayan kecil ke perusahaan pengolah tuna sekaligus memasok kebutuhan sehari-hari para nelayan. Mereka menjadi bagian penting dalam rantai nilai (value chain) perdagangan tuna di Pulau Buru.

Menurut buku panduan fair trade, secara struktural hanya terdapat tiga aktor utama dalam program perikanan fair trade yaitu kelompok nelayan, Komite Fair Trade, dan pemegang sertifikat fair trade. Namun, dalam praktiknya juga ada dua aktor lain yaitu pemasok dan perusahaan pengolahan tuna.

(baca : Nelayan Kecil Lebih Sejahtera dengan Perdagangan Berkeadilan. Kok Bisa?)

 

Arman Buton salah satu pemasok dalam rantai perdagangan ikan tuna di Pulau Buru, Maluku. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Arman Buton merupakan salah satu pemasok di Desa Waprea, Kecamatan Waplau. Dari semula hanya nelayan biasa, Arman kemudian menjadi pemasok sejak 2013 lalu. Hingga saat ini, dia pun masih menjadi anggota Kelompok Nelayan Setia Selalu selain berperan juga sebagai pemasok.

Dengan modal awal Rp19 juta, dia mulai memasok kebutuhan para nelayan di desanya, terutama di kelompok nelayan tempat dia bergabung. Dari semula hanya lima nelayan, saat ini dia bermitra dengan 15 nelayan, termasuk di desa tetangga Waprea.

 

Memasok Kebutuhan

Peran utama pemasok adalah menyuplai keperluan nelayan untuk melaut terutama bahan bakar minyak (BBM), es, dan plastik pembungkus ikan. Arman membeli BBM dari kota untuk kemudian didistribusikan ke nelayan. Harganya Rp8.000/liter. Sekali melaut, nelayan menghabiskan sekitar 30 liter. Biasanya nelayan mengambil BBM sebanyak 200 liter sekali ambil.

Untuk es, harganya Rp6.000 per balok seberat 6-8 kg. Rata-rata nelayan membutuhkan empat balok untuk mendinginkan tuna potongan besar (loin) agar tetap segar selama melaut. Selain itu, sebagai pemasok, Arman juga memberikan plastik untuk membungkus tuna loin hasil tangkapan agar tetap bagus dan segar sesuai standar fair trade.

Menurut Arman nelayan hanya mengganti biaya pembelian BBM. Itu pun dengan cara dipotong setelah mereka menjual ikannya. Untuk es dan plastik, nelayan mendapatkan secara gratis. Syaratnya hanya satu, nelayan-nelayan itu harus menjual tangkapan mereka kepadanya. “Tidak ada kontrak khusus. Modalnya hanya hubungan baik dan saling percaya,” kata Arman.

(baca : Subsidi Solar Tidak Tepat Sasaran, Pencabutan Subsidi Jadi Solusi?)

 

Kebutuhan bahan bakar minyak nelayan di Pulau Buru, Maluku, dipenuhi oleh pemasok. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Harga jual ikan tuna dari nelayan ke pemasok tergantung kualitasnya. Ada empat tingkat (grade) kualitasnya yaitu A, B, C, dan rusak (reject). Kualitas AB seharga Rp38,5 ribu per kg. Namun, jika bensinnya tidak lewat pemasok, harganya lebih tinggi yaitu Rp41 ribu. Untuk grade C seharga Rp28 ribu. Adapun rusak, biasa disebut rijek oleh nelayan di Pulau Buru, harganya Rp7.000 per kg.

Harga ini bervariasi. Nelayan di Desa Waprea, misalnya, bisa berbeda dengan nelayan di Desa Waepure dan Wamlana meskipun grade-nya sama. Perbedaan harga juga ditentukan kesepakatan antara nelayan dan pemasok. Dari pemasok, harga penjualan ke perusahaan pengolahan tuna tentu saja lebih tinggi: Rp51 ribu untuk grade AB, Rp34 ribu untuk grade C, dan Rp12 ribu untuk produk rijek.

PT Harta Samudera, satu-satunya pabrik pengolahan dan eksportir tuna di Pulau Buru, adalah mitra utama Coral Triangle Processor, perusahaan pengolahan tuna di Amerika yang membeli ikan tuna dari Maluku sekaligus pemegang sertifikat fair trade.

Perusahaan cabang mereka berada di Desa Waplau, Kecamatan Waplau. Jaraknya sekitar 1-2 jam dari desa-desa lokasi program fair trade. Pemasok bertanggung jawab membawa ikan dari nelayan hingga ke perusahaan, termasuk risiko jika ada kerusakan. Begitu pula dengan risiko jika nelayan tidak mendapatkan hasil.

“Kalau nelayan tidak dapat ikan ya kami yang rugi. Mau bagaimana lagi,” kata Saldin Bonelalu, pemasok lain di Desa Wamlana, Kecamatan Fena Leisela yang juga Ketua Kelompok Nelayan Tuna Leisela Indah.

Peran pemasok yang begitu besar membuat nelayan secara individu ataupun kelompok sangat tergantung pada pemasok. Mereka juga memiliki hubungan kuat karena pada umumnya pemasok juga masih anggota kelompok nelayan dan anggota keluarga. Karena itu mustahil menghilangkan peran pemasok dalam rantai nilai perdagangan tuna untuk memperpendek rantai nilai.

“Kami tidak mau menghilangkan peran peran supplier. Apalagi mereka juga anggota kelompok dan masih keluarga,” kata Rustam Tuharea, Ketua Komite Fair Trade Buru Utara.

“Sudah ada kesepakatan untuk tidak menjual langsung ikan ke pabrik. Mereka (para pemasok, red) sudah membantu kami termasuk menanggung risiko,” Armin Salasiwa, anggota Kelompok Nelayan Setia Selalu, menambahkan.

(baca : Memetakan Solusi menuju Perikanan Skala Kecil Berkelanjutan. Bagaimana Prakteknya?)

 

Seorang remaja di Pulau Buru, Maluku, memperlihatkan potongan tuna yang baru diturunkan dari perahu. Sejak program fair trade Yayasan MDPI dipraktikkan, nelayan kecil mulai merasakan dampak positifnya bagi mereka. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Beda Pilihan Politik

Selain besarnya ketergantungan nelayan pada pemasok, tantangan lain dalam program fair trade di Pulau Buru adalah dinamika politik lokal. La Djamali, Asisten Fair Trade di Pulau Buru, mengatakan politik lokal turut mempengaruhi dinamika kelompok nelayan. “Nelayan bisa saling bermusuhan karena beda pilihan politik,” katanya.

Dia mencontohkan, jika anggota kelompok nelayan beda partai atau kandidat, maka hal itu akan sampai terbawa ke kelompok. Akibatnya, kelompok sampai pecah.

Menurut Djamal, ketika tim Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) baru memulai program, mereka harus mendatangi tiap nelayan agar mau terlibat. Perlahan-lahan, nelayan pun mau bergabung lalu membentuk kelompok. Saat ini, di Pulau Buru terdapat sepuluh kelompok nelayan yang sudah memenuhi standar fair trade. Namun, tak semua kelompok berjalan dengan baik. “Salah satu sebabnya ya karena perbedaan pilihan politik itu,” lanjutnya.

Meskipun demikian, Djamal menegaskan, secara umum program fair trade di Pulau Buru berjalan dengan baik. Dinamika politik lokal yang berpengaruh hingga kelompok nelayan hanya riak kecil dibanding sejumlah keberhasilan yang sejauh ini sudah dicapai. Salah satu buktinya dengan makin banyaknya nelayan bergabung. “Kalau dulu kami yang cari nelayan, sekarang mereka yang mencari kami,” ujarnya lalu tertawa.

Masalah lain yang juga menjadi perhatian para pelaku perikanan fair trade di Pulau Buru adalah kurangnya perhatian pemerintah dalam program ini. Menurut Rustam Tuharea pemerintah bisa mendukung dengan memberikan bantuan untuk nelayan kecil, misalnya dalam bentuk kapal, mesin, atau pabrik es. “Memang sudah ada bantuan perahu tetapi penerimanya bukan nelayan,” katanya.

Adapun pabrik es bantuan pemerintah yang baru saja diresmikan tahun ini juga tidak berfungsi. Padahal, menurut Rustam, adanya pabrik es di desa-desa nelayan akan sangat membantu nelayan untuk mendapatkan bahan pendingin bagi ikan tuna tersebut.

Kurangnya dukungan pemerintah itu juga datang dari Oei Eng San, Direktur PT Harta Samudera di Desa Waplau. “Di sini sing ada dukungan pemerintah. Mereka cuma nagih-nagih retribusi,” katanya. Menurut Eng San, pemerintah bisa membantu program fair trade dengan memberikan bantuan kepada nelayan peserta program fair trade.

 

Karyawan di PT Harta Samudera Pulau Buru, Maluku, akhir Agustus 2017, memperlihatkan potongan ikan tuna yang sudah diberi label fair trade dari hasil tangkapan nelayan setempat. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Nelayan lain menambahkan, pemerintah juga hanya menjanjikan akan membantu dalam permodalan koperasi sebesar Rp40 juta. “Tapi akan saja. Sampai sekarang kami belum menerimanya,” kata Saldin.

Dia menambahkan pada Agustus tahun lalu Koperasi Produksi Tuna Leisela Indah, di mana dia bergabung, mengirimkan surat permohonan kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buru. Mereka meminta bantuan kapal tangkap ikan 30 GT untuk menunjang pekerjaan nelayan. Mereka juga meminta bantuan untuk pengembangan usaha lengkap dengan rencana anggarannya.

Toh, sampai sekarang, permohonan itu tak dipenuhi sama sekali.

Namun, Kabid Pengolahan dan Produksi Dinas Perikanan Kabupaten Buru Masruhin Soumena mengatakan pihak pemerintah sudah terlibat dalam program fair trade. Dia memberikan contoh misalnya dalam pelatihan tentang hewan laut yang terancam, langka, dan terlindungi atau endangered, threatened, and protected (ETP). Ada juga kegiatan sosialisasi lingkungan dan penggunaan Global Position System (GPS) untuk nelayan.

Masruhin menambahkan, pihaknya juga sudah membantu nelayan dalam pengurusan Kartu Nelayan yang berguna untuk mendapatkan dukungan BBM, meskipun tidak khusus untuk nelayan fair trade. “Jumlah kartu nelayan yang telah disebar mencapai ratusan,” katanya tanpa bisa menyebutkan data pasti.

Dia mengakui bahwa memang ada beberapa bantuan yang tidak berjalan dengan baik, seperti pembangunan pabrik es dan pabrik tepung. Keduanya sudah selesai dibangun tetapi saat ini memang tidak berfungsi. Alasannya? Belum ada listrik.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,