Krisis Air Berlanjut, Belasan Ribu Hektar Lahan Pertanian Gagal Panen

 

 

Kemarau panjang datang, kekeringan menghadang. Data BNPB menyebutkan, lebih 3,9 juta jiwa warga bermukim 2.726 desa pada 715 kecamatan dan 105 kabupaten maupun kota di Jawa dan Nusa Tenggara,  alami kekeringan. Tak pelak, sebagian wilayah-wilayah itu mengalami krisis air. Lahan pertanian juga kekeringan sekitar 56.334 hektar hingga gagal panen kurang lebih 18.516 hektar.

Selasa, (12/9/17),  Presiden Joko Widodo menggelar Rapat Terbatas penanggulangan bencana kekeringan ini. Presiden meminta, semua kementerian dan lembaga serta gubernur melihat kondisi lapangan dan mengambil langkah penanggulangan bencana ini.

“Langkah jangka pendek saya minta dipastikan bantuan dropping air bersih bagi masyarakat yang terkena kekeringan,” kata Jokowi.

Jokowi juga meminta suplai air untuk irigasi pertanian yang sangat dibutuhkan, terutama mengairi lahan-lahan pertanian di daerah-daerah terdampak.

Baca juga: Ketika Kemarau Belum Usai, Ribuan Desa Alami Kekeringan dan Krisis Air, Kebakaran Masih Terjadi

Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengatakan, sawah di jalur irigasi tak mengalami kekeringan karena tetap ada air. Kalaupun kekeringan, kemungkinan terjadi di sawah tadah hujan.

“Ada puso karena kekeringan, wereng dan lain-lain,” kata Suwandi, Plt. Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian kepada Mongabay di Jakarta.

Saat ini, katanya,  ada skim asuransi usaha tani seluas satu juta hektar dan sudah ada sekitar 6.000 hektar terbayar senilai Rp39 miliar. Upaya ini, katanya, setidaknya melindungi petani dari risiko gagal panen.

Dia bilang, Kementan,  sudah mengantisipasi kekeringan sejak Maret 2017 dengan terus memonitor perkiraan curah hujan dari BMKG.

”Kekeringan tak terlalu ekstrim, wilayah utara Khatulistiwa masih tersedia air,  sekitar Oktober sudah hujan,” katanya.

Kementan juga mendistribusikan pompa pada wilayah yang ada sumber air sungai, dan pemanfaatan embung pada lahan kering. Juga percepatan tanam, penyediaan benih tahan kekeringan, menggenjot tanam lahan rawa lebak terutama di Jambi, Sumatera Selatan. Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Saat itu, katanya, daerah-daerah itu bisa tanam padi di rawa lebak dan daerah pasang surut.

Wilayah-wilayah yang alami kekeringan, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Berdasarkan laporan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) beberapa daerah sudah tak mengalami air hujan berturut-turut lebih 50 hari hingga 21-23 September 2017, seperti Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Barat, Yogyakarta, Jateng, Jatim, NTT, NTB dan Bali. Adapun, musim hujan akan terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia akhir Oktober atau November 2017.

Hary Tirto Djatmiko mengatakan, kemarau tahun ini termasuk normal, tak sekering 2015 dan tak sebasah 2016. Curah hujan di wilayah Indonesia hingga akhir Oktober antara kisaran rendah sampai menengah.

 

Perburuk krisis air

Sutopo Purwo Nugroho, Dosen Pascasarjana Prodi Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia mengatakan, secara nasional ketersediaan air masih mencukupi hingga 2020, baik untuk kebutuhan rumah tangga, irigasi, industri dan lain-lain.

Meskipun begitu, katanya, ketersediaan air sudah tak mencukupi seluruh kebutuhan, seperti Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Kondisi ini diperkuat studi Bappenas pada 2007, bahwa ketersediaan air sudah tak mencukupi seluruh kebutuhan kemarau pada tiga wilayah itu.

Sekitar 77% kabupaten dan kota diprediksi memiliki 1-8 bulan defisit air dalam setahun. Pada 2025, kabupaten defisit air naik hingga 78,4% dengan defisit berkisar dari 1-12 bulan atau defisit sepanjang tahun.

”Wilayah yang alami defisit, terdapat 38 kabupaten atau kota atau sekitar 35% telah mengalami defisit tinggi,” kata pria juga Kepala Humas dan Pusat Data Informasi BNPB ini .

Krisis ini, katanya, tak hanya karena jumlah penduduk bertambah, juga kerusakan daerah aliran sungai, degradasi lingkungan, pencemaran air dan kawasan resapan air minim. Daya dukung lahan sudah terlampaui hingga pengelolaan sumber daya air menjadi lebih rumit.

”Itulah yang menyebabkan kekeringan terus berulang setiap tahun. Perlu upaya terpadu dan berkelanjutan mengatasi ini. Kekeringan adalah resultan dari permasalahan lingkungan di bagian hulu dan hilir,” katanya.

Untuk itu, perlu konsistensi dan keberlanjutan dalam penanganan kekeringan dan menjalankan upaya jangka pendek hingga panjang.

Dalam jangka pendek, katanya, bagaimana memenuhi kebutuhan air saat kemarau hingga memasuki penghujan. Upaya pemerintah dan pemda adalah pendistribusikan air bersih.

Pembangunan sumur bor, embung, bak penampunagn air, konservasi tanah dan air melalui pemanenan hujan dengan sumur resapan, biopori, rorak dan lain-lain juga mampu mengurangi dampak kekeringan di berbagai daerah.

Dalam jangka panjang, perlu peningkatan dan perbaikan kualitas lingkungan, reboisasi dan penghijauan, pengelolaan DAS terpadu, pembangunan bendung dan waduk, revitalisasi embung dan saluran irigasi, dan konservasi tanah dan air.

Hingga 2019, pemerintah menargetkan pembangunan 29 bendungan hingga 2019.  Pembangunan itu,  dapat menambah tampungan air hingga dua miliar meter kubik.

 

Kekeringan lahan pertanian di Jawa Tengah. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Kekeringan di Yogyakarta

Di Yogyakarta, kekeringan melanda seperti Kabupaten Kulon Progo dan Gunungkidul. Pemerintah Kulon Progo, melalui Kepala Pelaksana BPBD Kulon Progo Gusdi Hartono, Kamis (7/9/17), mengatakan,  Kulon Progo tetapkan status siaga darurat bencana kekeringan.

“Status siaga darurat bencana kekeringan didasarkan pada prakiraan BMKG sejak Agustus hingga Oktober, hujan jauh di bawah normal,” katanya.

Agustus sampai Oktober, katanya, kemungkinan belum ada hujan. Status siaga darurat bencana kekeringan dengan melihat surat masuk dari desa dan kecamatan terkait permohonan bantuan distribusi air bersih.

Ada sekitar sembilan kecamatan menyatakan potensi kekeringan, kecuali Wates, Galur dan Temon. Kondisi riil lapangan sudah banyak warga mengajukan distribusi air bersih.

“Sudah ada distribusi air dari berbagai pihak. Selain itu, berdasarkan koordinasi semua pemangku kepentingan, Kulon Progo diberlakukan status siaga bencana kekeringan,” katanya.

Status kekeringan ditetapkan Bupati Kulon Progo, Hasto Wardoyo selama dua bulan. Dalam surat keputusan Nomor 326/A/2017, status siaga bencana kekeringan di Kulon Progo berlangsung dua bulan, 28 Agustus-28 Oktober 2017.

Dengan siaga darurat kekeringan, katanya, perlu ada persiapan. Masyarakat memerlukan air dan akan dibantu berbagai pihak, seperti,  Dinas Sosial. Hingga kini, BPBD belum menggunakan dana tak terduga.

“Bupati sendiri memiliki kesiapan menganjukan dana sampai ke BNPB,” katanya.

Marsiyem, warga Desa Purwosari, Kecamatan Girimulyo mengatakan, harus menunggu bantuan air bersih dari BPBD Kulon Progo. Kemarau ini, kampung Marsiyem kekeringan. Air sumur kering, begitu juga sumur tetangga. “Kamarau tahun ini air makin sulit. Semoga hujan segera turun,” katanya.

Kekeringan juga melanda Gunungkidul dan diperkirakan hingga akhir November. BPBD Yogyakarta menganggarkan Rp600 juta untuk bantuan air. Di Gunungkidul, BPBD mencatat 44 desa tersebar di 11 kecamatan perlu bantuan air bersih. Tiga desa di dua kecamatan di Sleman dan Bantul.

“Di Kulon Progo 10 desa pada empat kecamatan kondisi senasib,” Krido Subayetno, pelaksana BPBD Yogyakarta.

Gunungkidul, katanya status darurat air bersih lebih lama dibanding Kulon Progo. Alasannya, banyak wilayah harus dijangkau dengan geografis sulit.

Info dari BMKG, Gunungkidul baru akan memasuki musim hujan akhir November dan Kulon Progo awal November.

Tahun ini, katanya, Yogyakarta, sediakan anggaran Rp600 juta dan 1.000 tangki untuk didistribusikan ke kedua kabupaten.

Krido melihat, dengan kekeringan lebih panjang dari 2016, BPBD mengajukan tambahan anggaran Rp1 miliar.

Sutaryono, Kepala Seksi Logistik dan Kedaruratan BPBD Gunungkidul mengatakan, bupati meningkatkan status delapan kecamatan jadi siaga darurat kekeringan. “Delapan dari 11 kecamatan masuk kesiapsiagaan ternyata di lapangan lebih membahayakan dibandingkan perkiraaan kami,” katanya.

Dia bilang, delapan kecamatan darurat yakni Rongkop, Paliyan, Panggang, Girisubo, Purwosari, Tepus, Tanjungsari dan Nglipar. Tiga kecamatan lain, Patuk, Ponjong dan Ngawen, memilih distribusi air bersih mandiri.

BPBD Gunungkidul, sejak Agustus sampai sekarang, telah menyalurkan 1.500 bantuan tangki air bersih menyasar 137.000 warga di delapan kecamatan. Peningkatan status ini menyusul kondisi bencana kekeringan meluas.

Eko Teguh Paripurno, Pakar Mitigasi Bencana Eko Teguh mengatakan, seharusnya pemerintah daerah respon segera dan serius kekeringan yang meluas. Begitu juga skema sistematis pencegahan kekeringan harus dibuat BPBD dan BNPB.

Dropping air mau tak mau harus, namun akan makin parah jika pencegahan tak dilakukan. Caranya, menanam air,” katanya.

Di Yogyakarta, katanya, kondisi tambah parah dengan begitu banyak pembangunan. “Mitigasi wajib dengan membuat kebijakan tanam air dan konservasi wilayah tangkapan air.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,