Tingkatkan Pembenihan Ikan Nila, KKP Kembangkan Sistem Corong. Seperti Apa?

 

Kebutuhan benih untuk perikanan budidaya yang semakin tinggi, memaksa Pemerintah Indonesia untuk mencari solusi agar tidak bergantung pada pasokan dari negara lain atau impor. Di antara solusi yang dipilih, adalah dengan mengembangkan teknologi pembenihan. Cara tersebut dipilih Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menghindari ketergantungan impor.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto di Jakarta pekan lalu, mengatakan, teknologi yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan benih di tingkat nasional, adalah dengan mengembangkan teknologi pembenihan dengan sistem corong. Pengembangan tersebut, dilakukan terutama pada ikan Nila Salin.

“Ini akan bagus untuk pasokan benih bagi para pelaku usaha perikanan budidaya, khususnya yang bergerak di bidang pembenihan ikan,” ujar dia.

(baca : Ancaman Kematian Massal Intai Budidaya Nila dan Mujair. Kenapa Terjadi?)

Slamet mengungkapkan, proses pengembangan teknologi pembenihan dilakukan langsung oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Ujung Batee, Aceh. Pengembangan yang dilakukan UPT Perikanan Budidaya di ujung paling barat Indonesia tersebut, adalah teknologi pembenihan ikan Nila Salin dengan sistem corong.

“Keberhasilan ini membuat kebutuhan benih ikan yang terus meningkat, semakin terjamin dan aman pasokan benihnya,” ucap dia.

Teknologi yang dibuat ahli dalam negeri tersebut, menurut Slamet, adalah teknik pembenihan ikan Nila Salin dengan menggunakan perangkat utama berupa tabung menyerupai sebuah corong dan resirkulasi air secara terus menerus.

(baca : Sejak 1950, Perikanan Budidaya Indonesia Lambat Berkembang, Kenapa Demikian?)

 

Budidaya ikan nila di UPT BPBAP Ujung Batee, Aceh. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

 

Perlakuan ini, kata dia, memungkinkan telur ikan yang berada dalam tabung corong akan mengikuti pergerakan sirkulasi air sehingga dapat mencegah antar telur lengket atau menggumpal. Dengan demikian, prosentase tingkat penetasan telur atau hatching rate (HR) bisa meningkat drastis.

“Kita memiliki lahan tambak yang banyak yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya ikan Nila Salin. Teknologi pembenihan dengan sistem corong ini akan mampu menggenjot peningkatan produktivitas dan produksi benih Nila Salin,” jelas dia.

Slamet menambahkan, keberhasilan tim Ujung Batee mengembangkan teknik pembenihan dengan sistem corong bagi ikan Nila, adalah pengembangan dari keberhasilan teknologi serupa yang terlebih dahulu diterapkan untuk komoditas lainnya.

Dia menyebutkan, Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Sungai Gelam di Jambi misalnya, sebelumnya telah berhasil menerapkan teknologi ini untuk pembenihan ikan Patin. Inovasi teknologi pembenihan dengan sistem corong tersebut, kata dia, diharapkan dapat dimanfaatkan oleh para pembudidaya di berbagai wilayah di Indonesia.

“Selain itu, prinsip-prinsipnya juga dapat diadopsi untuk pembenihan jenis ikan yang lain, sehingga produksi berbagai jenis benih ikan akan terjamin dan mampu mendukung kenaikan produksi perikanan budidaya,” papar dia.

(baca : Seperti Apa Budidaya Perikanan Berbasis Ekosistem?)

 

Sistem Corong

Sementara, Kepala BPBAP Ujung Batee Bukhari Muslim menjelaskan, teknologi yang dikembangkan timnya bisa berjalan dengan memanfaatkan tabung corong dan resirkulasi air. Tabung corong tersebut, berfungsi untuk menampung telur dan mengatur suhu air.

“Setelah itu baru air dialirkan masuk ke dalam corong dan berfungsi untuk mengaduk telur agar tidak menumpuk di dasar tabung corong,” papar dia.

Bukhari mengatakan, untuk mencegah agar telur tidak keluar corong namun tidak menggumpal, pihaknya berusaha mengatur tekanan air sedemikian rupa. Setelah itu, kata dia, telur yang sudah menetas dan menjadi larva, kemudian akan jatuh mengikuti arus air dan tertampung dalam jaring yang sudah disiapkan dalam bak penampungan larva.

 

Pekerja sedang memanen ikan nila dari budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sumut. Tingkat produksi ikan nila dipengaruhi salah satunya oleh pakan ikan yang baik. Foto :
Ariefsyah Nasution / WWF Indonesia

 

Menurut Bukhari, teknologi pembenihan dengan sistem corong merupakan teknologi sederhana, namun sangat efektif dalam menaikkan tingkat penetasan telur. Dibandingkan teknik pembenihan umumnya, dia menyebut, perbedaan hanya pada penambahan peralatan berupa tabung corong dan mengatur sirkulasi air.

“Oleh karena itu, teknologi ini sangat adaptif dan dapat diterapkan di masyarakat,” tutur dia.

Bukhari menjelaskan, agar teknologi corong bisa diterapkan dalam skala ekonomi, maka pembudidaya minimal harus memiliki 5 (lima) tabung corong berdiameter 15 cm dan tinggi 50 cm. Selain itu, pembudidaya juga harus membeli alat-alat lainnya seperti tabung filter (waterco), jaring penampung dan mesin pompa.

Untuk bisa mengumpulkan peralatan tersebut, dia menyebut, pembudidaya cukup mengeluarkan biaya sebesar Rp2 juta. Dengan dana tersebut, maka peralatan sudah bisa didapat, termasuk 5 tabung corong kapasitas 5 liter per tabung tersebut.

“Dengan demikian, pembudidaya setidaknya dapat memproduksi sekitar 300 – 500 ribu benih Nila Salin per tahun,” kata dia.

Bukhari menuturkan, di BPBAP Ujung Batee sendiri, saat ini terdapat sekitar 30 tabung dengan kemampuan produksi mencapai 3,6 juta benih ikan Nila per tahun. Di Ujung Batee, strain ikan Nila yang dikembangkan yaitu Nila Sultana dan Gesit, atau biasa disebut Nila Payau oleh orang Aceh.

(baca : Apa Itu Teknologi RAS untuk Perikanan Budidaya?)

Seperti halnya Nila salin, Bukhari mengungkapkan, Nila Payau juga dibudidayakan di perairan payau. Benih Nila Payau yang diproduksi BPBAP Ujung Batee, kata dia, sudah dimanfaatkan pembudidaya ikan yang ada di Provinsi Aceh.

“Teknologi ini juga sudah mulai diterapkan oleh pembenih di Kota Pematang Siantar, Provinsi Sumatera Utara,” jelasnya.

 

Seorang pekerja sedang memberikan pakan pada ikan nila dalam budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sumut. Foto : Jay Fajar

 

Keunggulan Sistem Corong

Dengan mengadopsi teknologi pembenihan menggunakan sistem corong, Bukhari menjelaskan, tingkat penetasan telur (hatching rate/HR) bisa didorong hingga mencapai 90 persen. Capaian tersebut, kata dia, jauh lebih unggul dibandingkan dengan mengunakan sistem konvensional yang hanya mampu mencapai 20 hingga 40 persen.

“Nilai HR sebesar ini merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa dalam proses penetasan telur ikan Nila Payau,” tutur dia.

Untuk diketahui, berdasarkan data KKP tahun 2011 hingga 2015, produksi benih ikan air tawar secara nasional mengalami kenaikan rerata 20,26 persen per tahun. Kenaikan produksi benih tersebut terjadi seiring dengan kenaikan produksi perikanan budidaya, yaitu rerata 19,08 persen dalam rentang waktu yang sama.

Sementara itu, produksi perikanan budidaya pada 2015 mencapai 15,63 juta ton, dimana dari volume produksi tersebut, budidaya air tawar menyumbang sebesar 2,81 juta ton. Untuk bisa memproduksi ikan air tawar sebanyak itu, produksi benih ikan air tawar pada 2015 mencapai 72,3 miliar ekor.

Di luar itu, KKP memproyeksikan kebutuhan benih semua jenis ikan (tawar, payau dan laut) pada 2019 bisa mencapai 141,1 miliar ekor. Produksi benih sebesar itu diharapkan dapat mendukung target produksi perikanan budidaya yang juga terus meningkat. Pada 2019, produksi perikanan budidaya ditargetkan mampu mencapai 31,3 juta ton.

 

Dirjen DJPB KKP Slamet Soebjakto, Sekjen KKP Rifky Effendi Hardjianto dan Kepala BBPBAP Jepara Sugeng Rahardjo melihat pengembangan udang putih yang lebih dikenal sebagai banana shrimp (Penaeus merguiensis) di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah, akhir April 2017. Foto : M Ambari

 

Sebelumnya, KKP juga sukses mengembangkan komoditas udang putih melalui BBPBAP Jepara. Udang yang dikenal dengan sebutan banana shrimp (Penaeus merguiensis) tersebut bisa ditemukan di Laut Arafuru di Provinsi Maluku. Udang tersebut dikembangkan, karena bisa tahan terhadap serangan penyakit.

Slamet Soebjakto mengatakan, udang yang sedang dikembangkan tersebut tergolong baru di Indonesia. Meskipun, udang tersebut adalah jenis udang asli Indonesia karena hanya ditemukan di perairan Indonesia.

“Udang ini punya potensi besar untuk dikembangkan. Kita tunggu waktu setahun lagi, udang semoga sudah bisa diproduksi masal,” ungkap dia kepada Mongabay.

(baca : Marguiensis, Udang Asli Indonesia Pelengkap Udang Vaname)

Sebagai udang jenis baru yang diperkenalkan kepada para pembudidaya ikan, Slamet menyebut, ada banyak keunggulan tidak dimiliki udang jenis lain. Salah satunya, karena P. merguiensis sudah melalui uji selama dua tahun di Jepara dan dinyatakan terbebas dari ancaman berbagai penyakit udang.

Fakta tersebut, menurut Slamet, berbeda jauh dengan udang Vaname yang saat ini menjadi andalan para pembudidaya di seluruh Indonesia. Vaname, kata dia, termasuk rentan dari serangan penyakit dan itu masih menjadi hal yang menakutkan setelah Indonesia mendapat pengalaman buruk saat mengembangkan udang Windu atau giant tiger (Penaeus monodon).

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,