Begini Asa Petani Kertajati di Negara Agraris Ini

 

Matahari pagi di musim kemarau perlahan menghangatkan temperatur di ladang – ladang kering di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Hamparan sawah nampak mengering, namun, geliat petani masih menemukan kehidupannya.

Di rumah petak berukuran sekitar 5 meter x 10 meter, Kasman (60), warga RW 10, menetap dan menghidupi keluarganya dari hasil bertani.

Meski memiliki lahan tak begitu luas, tetapi hasil usaha bertaninya terbilang cukup. Cukup untuk makan, cukup membeli parabot dan cukup memenuhi kesejahteraan.

Selama setahun, masa panen di desanya bisa sampai tiga kali. Sehingga dia diharuskan pintar – pintar mengatur jadwal tanam, agar hasil kerja kerasnya tidak bablas.

(baca : Begini Bentrok Warga Saat Pembebasaan Lahan Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati)

Untuk komoditas padi, misalnya, dipanen sebanyak dua kali. Dengan hitung – hitungan panen gabah kering sekitar 5 – 6 ton per hektare dan dihargai tengkulak Rp400.000 per kuintal. Sedangkan di bulan kemarau, dimanfaatkan menanam palawija untuk menambah penghasilan.

“Untuk musim ini ditanam cabe hijau. Harganya lumayan, per kilogram bisa dijual dikisaran Rp8000. Saya tanam di lahan seluas 30 bata. Perhitungannya bisa panen 1,5 kuintal,” kata Kasman kepada Mongabay, awal September 2017.

Soal produktifitas pertanian di desanya, dia merasa senang menjadi petani. Tetapi, juru bercocok tanam ini menunduk pada nasib. Matanya liar, sedikit memerah. Wajah keriputnya seolah menyembunyikan keresahan.

 

Warga berteduh di kebun miliknya yang berhadapan dengan pembangunan Bandara BIJB di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, awal September 2017. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Wajar, jarak 5 kilometer dari rumahnya, geliat – geliut pembangunan mega proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) perlahan menampakkan rupa. Bandara yang digadang – gadang akan jadi salah satu bandara termegah di Indonesia itu akan diresmikan segara.

Imbasnya tanah dan lahan pertanian garapan di area pembangunan bakal beralih fungsi dari kawasan agraris ke metropolis.

Adapun hidup di negara agraris, namun, Kasman dan ratusan petani lain sepertinya bernasib kurang mujur. Pertanian kalah saing dengan iming – iming pembangunan demi kemajuan ekonomi. Barangkali pertanian dianggap bukan ekonomi strategis.

“Iya mau gimana lagi atuh, selain bisa pasrah mah. Mana mungkin melawan pemerintah,” gumam kakek yang telah dianugerahi lima cucu.

(baca : Derita Petani Desa Sukamulya Kala Terkena Pembangunan Bandara)

Dia menerangkan, informasi penggantian lahan terdampak proyek saja masih belum jelas. Bahkan, nominal kompensasi dari pembangunan pun masih simpang siur.

Kasman mengerutkan dahi setiapkali ditanya kemana akan pindah. Dia mengaku bimbang dan gusar memikirkan rencana nasibnya kedepan.

“Kalau bisa saya minta dibimbing dan direlokasi ke tempat yang layak. Cukuplah ada lahan garapan, setidaknya ada harapan, ada jaminan dari pemerintah menyambung hidup,” imbuhnya

Kekhawatiran juga bergelayut dipikiran Iyat (35) warga setempat. Ibu dua anak ini meminta penjelasan. Mengingat pengahasilan buruh tani yang tak seberapa. Bila suatu waktu digiring pindah, bagaimana nasib keluarganya yang mengandalkan dari hasil tani.

“Soal mau pindah kemana, saya masih belum tahu. Kalau boleh jujur mah saya tidak ingin pindah. Meski bekerja jadi buruh tani. Namun, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” ujar Iyat.

Pihak Desa Sukamulya saat dikonfirmasi Mongabay, memilih tidak memberikan informasi apapun. Secuil infromasi pun hanya tertera di papan desa menunjukan luas wilayah 730.743 hektare.

Pada perkembangan pembangunan Bandara BIJB, memang tidak luput dari konflik horizontal. Antara kubu masyarakat pendukung dan enggan menerima pembangunan. Terlebih, kawasan tersebut merupakan salah satu lumbung padi. Dan mayoritas masyarakatnya adalah petani.

Menurut data Kecamatan Kertajati, rencana pembangunan bandara memakan 1800 hektare. Namun, baru dibebaskan sekitar 930 hektare. Begitu juga dengan penggantian ganti rugi, belum semuanya tuntas.

(baca : Pembangunan Bandara BIJB Dikebut, Permasalahan Pun Merunut)

 

Kondisi pertanian di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Majalengka, Jawa Barat, awal September2017. Pembangunan mega proyek Bandara BIJB sedikit banyak berdampak pada penyusutan lahan pertanian jadi non pertanian. Namun, pemerintah belum membuat kebijakan tentang penggantian berupa lahan untuk menunjang kebijakan swasembada pangan. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Terkait penggantian, lahan milik masyarakat akan diganti dalam bentuk uang, baik tanah, rumah ataupun tanaman. Adapun warga yang telah memperoleh ganti rugi, mereka sudah pindah menyebar ke wilayah lain.

Dari rekomendasi konsultan, Pemda dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Majalengka menetapkan harga Rp2,8 juta per bata atau 14 meter persegi.

 

Kehilangan lahan

Warga Desa Pasiripis, Semed (65) mengatakan pajak tanah di Kabupaten Majakengka sudah naik 10 kali lipat. Kenaikan itu diiringi kenaikan NJOP. Alhasil, banyak warga yang terpaksa menjual tanahnya untuk menghindari tingginya beban pajak.

“Kalau di desa sini memang tidak terkena langsung dampak pembangunan. Tetapi secara administratif masih masuk wilayah Kertajati. Kini sudah banyak tanah yang dijual. Gosipnya di desa ini akan dibangun kompleks perumahan penunjang bandara,” katanya .

Dilain tempat, Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Perikanan (Distankan) Kabupaten Majalengka, Taham, melalui Kasi Palawija dan Sarana Prasarana, Ratih Fatimah mengatakan, soal wacana pembangunan sulit untuk dapat dibendung. Sudah menjadi konsekuensi, peralihan lahan pertanian ke lahan bukan pertanian akan meningkat.

Dia melanjutkan, Distankan hanya memiliki kewenangan pada koridor pengembangan potensi pertanian. Selebihnya kewenangan mengikuti arahan yang tertuang di RPJMD Kabupaten Majalengka.

Secara keseluruahan potensi lahan basah di Majalengka mencapai luasan 54.549 hektare dan lahan bukan basah 48.620 hektaer. Dengan produksi beras di tahun kemarin mencapai 654.000 ton atau rata – rata produksi 6.5 ton per hektare.

“Semantara, kami mengusulkan lahan berkelanjutan kurang lebih 38 ribu hektare untuk menjamin stok beras lokal selama 30 tahun kedepan. Diharapkan ada keseimbangan. Disisi lain pembangunan tetapi juga penyelamatan pangan. Namun, hal itu tergantung kebijakan dan rencana dari Bappeda,” kata Ratih kepada Mongabay saat ditemui di ruang kerjanya.

Sayang, di nagara tongkat kayu pun jadi tanaman, pelaku tani menciut setiap tahun. Sesuai data sensus pertanian 2003, jumlah rumah tangga tani sekitar 31.7 juta. Namun, merosot menjadi 26,13 juta pada 2013. Terjadi penurunan sebesar 1,75% per tahun.

(baca : Bandara BIJB Ditargetkan Beres Desember 2017)

 

Foto udara dari pembangunan mega proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kecamatan Kertajati, Majalengka. Foto : BIJBD

 

Reforma Agraria

Dihubungi terpisah, Peneliti Kontras Bidang HAM, M. Ananto Setiawan menuturkan, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang ditafsirkan pemerintah masih bertumpu pada pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama.

Apabila kita mengacu pada 21 poin sustainable development goals yang disepakati oleh negara di dunia, termasuk Indonesia. Jelas bahwa dalam kerangka pembangunan sudah seharusnya menempatkan manusia sebagai aktor kunci dari pembangunan itu sendiri.

“Namun, dalam banyak kasus kita sama – sama melihat bagaimana upaya penggusuran paksa hingga perampasan lahan yang berhubungan dengan sektor pertanian, pemerintah mesti sesegera mungkin melaksanakan reforma agraria. Untuk menghindari ketimpangan, kemiskinan, hingga pelanggaran hak,” kata Ananto melaui pesan singkat.

Ananto menegaskan, selama pembangunan yang diusung pemerintah hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dengan cara menyedot capital (pemodal) secara besar, maka kebutuhan infrastruktur yang memadai merupakan keniscayaan ditengah sengkarut reforma agraria belum dituntaskan hari ini.

Kenyataan pahit ini, memungkinkan harapan bagi pemerintah untuk swasemda pangan hanya dijadikan sebuah jargon belaka. Akan tetapi harapan itu menjadi semu bagi para petani. Harapan sejahtera dari pertanian harus kepada siapa digantungkan, ditengah pelaku tani sendiri sudah tidak lagi diminati.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,