Mengenang Robiyanto Susanto, Pendiri Museum Rawa Indonesia

 

 

Prof.Dr. Robiyanto Hendro Susanto, salah satu pakar hidrologis gambut di Indonesia, telah meninggalkan kita semua di usia 56 tahun. Robiyanto menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Mirya Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu, 9 September 2017. Kuat dugaan, ia terkena serangan jantung.

Robiyanto Susanto adalah Guru Besar Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Lelaki kelahiran Baturaja, Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, pada 5 April 1961, ini merukan anggota kelompok ahli Badan Restorasi Gambut (BRG) Republik Indonesia (BRG-RI) dan Ketua Tim Ahli TRG (Tim Restorasi Gambut) Sumatera Selatan. Di Sumatera Selatan, dia bukan hanya mengurusi restorasi gambut, tapi juga persoalan perhutanan sosial.

“Dia merupakan tokoh penting dalam upaya perbaikan lingkungan hidup, khususnya lahan gambut di Indonesia. Dia sangat mendukung upaya restorasi gambut dengan pendekatan bukan sebatas tata kelola lahan, tapi juga tata sosial dan ekonomi masyarakat,” kata Dr. Najib Asmani, Koordinator TRG Sumsel, Rabu (13/9/17).

Dijelaskan Najib, sangat sulit bagi Pemerintah Sumatera Selatan menemukan sosok seperti Robiyanto. “Semua pemikirannya terkait upaya restorasi gambut tetap kita gunakan di Sumatera Selatan. Misalnya, upaya pembasahan yang harus disandingkan dengan perbaikan ekonomi masyarakat. Dia sangat tidak setuju jika kerja kedua hal tersebut terpisahkan,” jelasnya.

 

Baca: Siap Restorasi Gambut, Sumatera Selatan Tidak Ingin Salah Langkah

 

Secara teknis, Robiyanto selalu berpendapat pembasahan merupakan hal penting dalam menata lahan gambut, seperti menutup dan membuat sekat kanal. Hal ini bukan hanya disampaikan kepada perusahaan tetapi juga masyarakat. Seperti saat dia bertemu dengan masyarakat Desa Sumber Agung, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Jumat (21/7/2017) lalu.

Dia mengatakan, masyarakat tidak hanya membuat sekat kanal, tapi juga menjadikan lahan gambut yang selama ini terbakar, termasuk pada 2015 seluas 500 hektare, sebagai daerah cadangan air. “Caranya menutup semua kanal yang ada di sana,” katanya. “Jika menjadi daerah cadangan air, yang selalu basah, selain terhindar kebakaran juga turut membantu pembasahan lahan sekitar,” ujarnya.

 

Museum Rawa Indonesia didirikan untuk menjawab minimnya pengetahuan soal rawa di Sumatera Selatan dan Indonesia. Robiyanto (baju oranye), saat peresmian Museum Rawa Indonesia, 14 Maret 2015. Foto: Muhammad Ikhsan/Mongabay Indonesia

 

Tidak hanya sosial ekonomi, Robiyanto juga mendukung upaya penyelamatan situs sejarah terkait restorasi gambut, seperti di Sumatera Selatan. “Dia juga mendukung upaya penyelamatan situs pemukiman Kerajaan Sriwijaya di Cengal, Kabupaten OKI. Dia selalu sampaikan hal tersebut saat berbincang dengan saya,” kata Dr. Yenrizal, pakat komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah Palembang.

 

Baca: Luas Gambut yang Direstorasi di Sumatera Selatan Kemungkinan Berkurang. Mengapa?

 

Terakhir, Robiyanto menyampaikan pemikiran kepada para pegiat restorasi gambut dan perwakilan perusahaan saat gelaran acara BRG di Palembang, pada Agustus 2017. Katanya, salah satu model pengembangan restorasi gambut secara terpadu adalah Kawasan Ekonomi Khusus Gambut, seperti yang tengah diujicobakan di Kabupaten Banyuasin.

Selain itu, instrumen kebijakan perhutanan sosial perlu dimanfaatkan dengan baik untuk menyelesaikan berbagai permasalahan konflik lahan di lapangan. “Dalam perencanaan juga perlu pembagian peran (role sharing) dan biaya (cost sharing) yang jelas, antar-pemangku kepentingan, terutama pada Unit Pengelola Restorasi Gambut tiap KHG,” tuturnya.

Pemikiran Robiyanto terkait perhutanan sosial yang dikaitkan dengan restorasi gambut, tidak terlepas ketika dirinya ditunjuk Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin sebagai Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Tim Percepatan Perhutanan Sosial Sumatera Selatan, beberapa bulan lalu.

Salah satu tugas dari tim ini adalah mewujudkan target pemerintah menjadikan sekitar 600 ribu hektare hutan sebagai perhutanan sosial di Sumatera Selatan.

“Target dari pemerintah pusat di Sumsel ada 600 ribu hektare hutan yang harus dikelola masyarakat. Saat ini baru terealisasi 10 persen. Kita fokus kerja untuk mencapai target tersebut. Tentunya ini butuh sinergi semua pihak untuk mewujudkannya,” kata Robiyanto, saat pengukuhan dan rapat kerja Pokja PPS Sumsel di Palembang, 29 Maret 2017.

“Kita sangat kehilangan beliau. Tentu saja semua pemikirannya akan kita upayakan terwujud. Sebab, apa yang disampaikannya merupakan keinginan pemerintah, semua pengurus Pokja Tim PPS Sumsel, dan masyarakat yang selama ini hidup di dalam atau di sekitar hutan,” kata Syafrul Yunardy, anggota Pokja Tim PPS Sumsel dan juga Ketua Forum DAS Sumsel.

 

Museum Rawa Indonesia yang didirikan untuk memberikan data dan informasi bagi masyarakat yang meneliti rawa. Sumber: Brosur Museum Rawa Indonesia/Pusdatarawa

 

Museum Rawa

Kecintaan Robiyanto terhadap lahan gambut atau lahan basah sudah ia tunjukkan sejak lama. Salah satunya, membuat Museum Rawa, satu-satunya museum rawa yang ada di Indonesia.

Pada 1993, Rubiyanto mengalami kesulitan mendapatkan data saat melakukan penelitian mengenai rawa di Sumatera Selatan. Pengalaman tersebut, mendorongnya mendirikan museum rawa. Dia berharap masyarakat yang tertarik mempelajari rawa, tidak lagi kesulitan mendapatkan data, seperti yang pernah dialaminya.

 

Baca juga: Ingin Penelitian Rawa? Datang saja ke Museum Rawa Indonesia

 

“Waktu itu saya kesulitan, sama sekali tak ada data yang bisa digunakan. Kemudian pada perkembangannya, penelitian-penelitian yang telah dilakukan didokumentasikan hingga berdiri Pusat Data-Informasi Rawa dan Pesisir atau Pusdatarawa. Alhamdulillah, hari ini dengan dukungan berbagai pihak, Museum Rawa Indonesia (MRI) bisa soft launching,” ujar Rubiyanto kepada Mongabay Indonesia, usai peresmian MRI dan Taman Baca MRI di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Sabtu (14/03/2015) silam.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,