Sejarah Kopi Bondowoso dalam Buku Republik Kopi (Bagian 2)

 

 

Festival Kopi Nusantara ke-2 Agustus lalu oleh Pemerintah Kabupaten Bondowoso mengampanyekan bertanam kopi selaras alam. Bersanding dengan hutan, dan kolaborasi dengan anak muda penikmat kopi.

Kolaborasi nampak melalui Kampung Kopi. Sebuah inisiatif Pemkab memberikan ruang bagi pemilik kedai-kedai kopi di seputaran Bondowoso memperkenalkan sajian khas dan inovasinya. Syaratnya, harus ada racikan dari olahan biji kopi Bondowoso.

Selain pasti ada di acara Festival Kopi Nusantara yang dipusatkan di alun-alun ibokota kabupaten, Kampung Kopi hadir rutin tiap bulan minggu ke-2 selama 3 hari di akhir pekan. Dari belasan stan, ada banyak gaya barista menyeduh kopi. Beragam citarasa dan mendorong kompetisi antar pemilik kedai. Misalnya dari tata letak alat-alat dan sarana warung, juga cara penyampaian informasinya.

(baca : Menyandingkan Kopi dan Hutan di Bondowoso)

Falsafah Bondowo Republik Kopi dipaparkan dalam coffee table book yang baru diluncurkan di pembukaan Festival Kopi Bondowoso. Pada 22 Mei 2016, ia mendeklarasikan Bondowoso sebagai “Republik Kopi” ketika salah satu acara Ijen Festival Bondowoso 2016.

Daerah ini dinilai lekat dengan sejarah perkopian nusantara, sejak abad ke-19, Bondowoso bagian dari perkebunan Besuki Raya yang produknya di global dikenal dengan Java Coffee.

Awalnya perkebunan seluas 4000 hektar dikelola PTPN IX, BUMN bidang perkebunan. Sebagian wilayah Bondowoso, bupati menyebut the highland paradise adalah pegunungan dengan ketinggian 500-1000 mdpl. Cocok untuk tumbuhnya Arabika, jenis kopi premium.

(baca : Cinta Rio Dewanto untuk Kopi Indonesia)

 

Biji kopi dalam karung hasil petani dari perkebunan kopi Bondowoso, Jatim, saat dipamerkan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Amin menyebut sejak 2010 merekrut petani di kawasan Gunung Raung dan Ijen, khususnya Kecamatan Sumberwringin untuk mengembangkan Klaster Kopi Arabika Rakyat. Area ini perkebunan binaan oleh kelompok tani dan bukan milik PTPN. Untuk mendongkrak produksi, Pemkab memberi fasilitas dan sarana seperti pelatihan, pupuk, bibit, dan lainnya. Targetnya, meningkatkan produksi dan pengembangan agro-tourism.

Program itu menggandeng Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, didukung permodalan oleh Bank Indonesia dan Bank Jatim, serta pihak lainnya. Pada 2011, hasil panen dinilai layak ekspor. Melalui PT Indokom, ekspor perdana ke Swiss sekitar 186 ton. Lalu pada 2013, Klaster ini mendapat sertifikat Indikasi Geografis (IG) dari Kementerian Hukum dan HAM yang menandai paten merk kopi Klaster Kopi Arabika Java Ijen Raung.

Produksi meningkat, pada 2015 menjadi 1500 ton. Sebanyak 800 ton diekspor dengan nilai jual sekitar Rp48 miliar. Luas perkebunan bertambah menjadi 6211 hektar, dan pada 2016 menjadi lebih dari 13 ribu hektar.

Amin dalam buku ini menyebut mulai ada yang menyapa dengan panggilan pak Presiden. Pada 22 Mei 2016 ia mendeklarasikan Bondowoso sebagai “Republik Kopi” ketika salah satu acara Ijen Festival Bondowoso 2016.

Istilah republik terkait dengan kedaulatan. “Silakan investasi tapi fokus kesejahteraan petani tak hanya mengeruk,” kata Amin. Misal ada investor dari Saudi Arabia tertarik Robusta. Minta minimal 300 hektar. Ekspor kopi Bondowoso saat ini hanya sepertiga dari produksi. Sisanya diniatkan tetap konsumsi di pasar domestik. Mengembangkan dihilir agar bisa dinikmati warga.

(baca : Foto: Kopi Arabika, Mutiara dari Tanah Gayo yang Mendunia)

 

Warung kopi di areal perkebunan di Bondowoso ini dikelola warga setempat sejak Juli lalu. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Amin bermimpi kopi bisa mempertemukan dan mempersatukan masyarakat di nusantara. Mengangkat harkat dan martabat melalui perkopian. “Bondowoso jadi terbaik sejak kerjasama berbagai pihak, Puslitkoka, Asosiasi Petani Kopi, Bank Indonesia, Bank Jatim, dan lainnya,” ujarnya.

Hal yang penting adalah mengembangkan sinergi kopi rakyat, pola kerjasama rakyat dan petani kopi memanfaatkan lahan milik Perhutani. Dikembangkan dalam bentuk kluster Arabika dengan Indikasi Geografis Java Coffee Ijen Raung. Petani kopi menurutnya gigih dan disiplin mengembangkan kopi Bondowoso.

“Sekali dikenal baik, harus menjaga kualitas dan produksi,” imbuh Amin. Perhutani saat ini kerjasama pemanfaatan lahan kluster kopi rakyat sekitar 14 ribu hektar. Kemudian peran perbankan yang beri dukungan modal untuk petani dan usaha hilir. Setahun terakhir di Bondowoso perkembangan hilir begitu cepat. Misalnya banyak café bermuculan.

“Dulu sulit menyicipi kopi Bondowoso. Saya terus mendorong pengembangan kreasi kopi sehingga bersinergi dengan wisata,” tuturnya.

Salah satu warung yang baru berdiri sebulan ini adalah Kampung Kopi Kluncing, di dusun Kluncing, Desa Sukorejo. Moh Ishak, pemiliknya balik ke kampung mertuanya yang menjadi Kepala Desa setelah sebelumnya bekerja di Bali. Warung ini menjadi gerbang masuk ke perkebunan dataran tinggi. “Potensi wisata kopi besar,” katanya ditemui di warung sederhana yang rapi.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,