Riset Temukan Perempuan dan Janin Rentan Terpapar Merkuri

 

 

Hasil rata-rata kadar merkuri pada perempuan di Indonesia tertinggi dibandingkan negara lain. Indonesia menduduki urutan pertama, diikuti Myanmar 93% dan Kenya 44%. Paparan merkuri tak hanya dari pertambangan emas juga PLTU alias pembangkit listrik batubara dan industri semen.

 

Sebuah studi yang rilis pekan ini makin menguatkan betapa paparan mercuri merupakan mimpi buruk yang harus dihentikan. Hasil studi International POPs Elimination Network (IPEN) bersama Biodiversity Research Institute (BRI) memperlihatkan, ada ancaman serius dan substansial terhadap kesehatan perempuan dan janin yang sedang berkembang di dunia akibat pencemaran merkuri. Dari penelitian itu, kadar kandungan merkuri pada perempuan responden tertinggi di Indonesia.

Penelitian dilakukan di 25 negara berkembang dan negara masa ekonomi transisi, termasuk Indonesia dengan responden 1.044 perempuan berusia 18-44 tahun. Terdapat 36% perempuan memiliki kadar merkuri lebih dari satu ppm, merupakan ambang batas berbasis sains terbaru dari US-EPA yang menunjukkan efek berbahaya pada tingkat paparan lebih rendah.

”Sebanyak 97% merkuri pada sampel perempuan di Indonesia melebihi ambang batas aman satu ppm,” kata Krishna Zaki, di Jakarta, Senin (18/9/17).

Bahkan, katanya, hasil rata-rata kadar merkuri pada perempuan di Indonesia tertinggi dibandingkan negara lain. Indonesia menduduki urutan pertama, diikuti Myanmar 93% dan Kenya 44%.

Kadar merkuri di atas satu ppm (part per milion) atau 100% untuk batas aman 0,58 ppm dapat menyebabkan kerusakan otak, penurunan IQ, dan kerusakan ginjal dan jantung. Bahkan, kerusakan neurologis pada janin dimulai saat kadar merkuri lebih 0,58 ppm.

Seorang perempuan yang terpapar merkuri, salah satu cara mengeluarkan racun lewat janin. Jadi, jelas data itu menunjukkan ada ancaman serius dan besar terhadap kesehatan perempuan dan anak-anak yang terpapar merkuri.

Untuk wilayah Indonesia, strudi dilakukan di lokasi PESK di Pongkor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, pada 67 perempuan. BaliFokus mengambil sampel untuk studi ini di Indonesia dengan menguji kadar merkuri pada rambut.

Kementerian Kesehatan juga studi pada sekitar lokasi penambangan emas kecil di Lebak Banten, 2016. ”Hasilnya 77,9% dari 100 warga yang diperiksa memiliki kadar merkuri pada rambut di atas ambang batas,” katanya.

Kendati demikian, dia belum memiliki data cemaran merkuri pada manusia secara nasional.

PSEK menghasilkan beban tubuh merkuri tinggi pada perempuan di Indonesia, Kenya dan Myanmar. Adapun dua kemungkinan sumber paparan berasal dari pembakaran amalgam merkuri dan konsumsi ikan yang terkontaminasi.

Dia contohkan, perempuan Alaska memiliki kadar merkuri dalam tubuh tinggi karena emisi merkuri pada industri yang mencemari ikan lokal. Perempuan ini telah mengkonsumsi mamalia dan ikan laut sekitar.

Begitu juga, di Albania, Cile, Nepal, Nigeria, Kazakstan dan Ukraina diduga terjadi pencemaran saluran air dan ikan terkontaminasi.

 

PLTU dan industri semen

Implementasi ratifikasi yang akan dijelaskan melalui dokumen rencana aksi nasional (RAN) perlu serius, misal, merkuri tak hanya di PSEK, juga tambang emas besar dan industri berat, seperti PLTU batubara dan industri semen.

Yuyun Ismawati, penasihat senior BaliFokus mengatakan, dari 239 responden dari Kepulauan Pasifik, 86% merkuri melebihi ambang batas satu ppm. ”Diduga ini karena tinggi konsumsi ikan di negara itu,” katanya.

Kondisi ini harus jadi perhatian serius pemerintah dan semua pihak bahwa, pencemaran merkuri memiliki jangkauan luas, tak hanya wilayah sekitar.

Dia menduga, merkuri tinggi di Teluk Jakarta, karena ada PLTU di sekitar situ. Limbah industri itu menyerap ke laut dan masuk dalam rantai makanan manusia. PLTU batubara dan industri semen, katanya, berpotensi menyebarkan merkuri dengan jangkauan lebih luas.

”Perlu strategi besar menginventarisasi sumber-sumber dan akar dari pencemaran merkuri ini,” ucap Yuyun.

 

Perempuan dan anak di Jepara yang terkena debu batubara dan hidup di sekitar PLTU. PLTU juga salah satu industri yang memaparkan merkuri. Foto: dokumentasi Greenpeace/Kemal Jufri

 

Aksi dan Konvensi Minamata

Indonesia perlu beraksi dengan bahaya mercuri. Harapannya, dengan ratifikasi Konvensi Minamata ini aksi nasional lebih serius dan nyata. Terlebih menjelang COP 1 di Jenewa,  pada 24-29 September 2017.

Dwi Sawung dari Walhi Nasional mengatakan, terpenting dalam ratifikasi itu implementasi, tak hanya ratifikasi perjanjian internasional tetapi tak berjalan. “Misal, bagaiamana penanganan kesehatan daerah dan orang yang sudah terpapar merkuri,” katanya.

Syafei Kadarusman, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia menyambut baik ratifikasi ini dan setuju dengan langkah roadmap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bertahap menghapus penggunaan mercuri.

Dia sadar merkuri berbahaya, padahal bahan kimia ini tidak efektif, karena hanya memecahkan batu hingga 40%.  Dia menyebut, sianida, salah satu alternatif selain teknologi pembakaran dengan suhu tinggi. ”Bahan kimia (sianida) tidak ada yang baik, tapi yang bahaya jika dikonsumsi.”

Arief Yuwono, Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Evaluasi Kebijakan Kerja Sama Luar Negeri mengatakan, dengan ratifikasi, Indonesia dapat berperan aktif dalam pengaturan implementasi konvensi.

Selanjutnya, setiap tiga tahun setelah ratifikasi, implementasi RAN akan disampaikan melalui sekretariat UN Environtment.

Kendati demikian, katanya, pemerintah memiliki pekerjaan berat bagaimana mengintegrasikan RAN hingga ke daerah. Pada level nasional saja ada sekitar 13-14 kementerian dan lembaga terlibat, termasuk lembaga swadaya masyarakat.

”Ini cukup berat untuk integrasi rencana aksi tiap lembaga jadi RAN.”

Adapun ratifikasi Konvensi Minamata terkait penggunaan merkuri ini bukan jadi larangan bagi pertambangan emas, namun pemakaian merkuri dalam pengelolaan bijih emasnya.

Alih teknologi baru, katanya, jadi satu solusi, dengan pakai metode gravitasi untuk batuan kasar. Untuk batuan halus akan ada transfer teknologi dari Kanada.

”Kami uji coba pakai ijuk di Minahasa, atau gravitasi untuk melepas senyawa emas seperti di Lebak, Banten” kata MR Karliansyah, Plt Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Berbahaya Beracun,  KLHK.

Pemerintah pun menawarkan alih pekerjaan, dengan menyiapkan mekanisme perhutanan sosial seperti buat penambang di Poboya, Sulawesi Tengah. ”Mereka mau menanam pohon kayu putih, tapi masih menunggu tanah dipulihkan.”

Sedangkan, di Pongkor,  penambang beralih jadi pekerja di anak perusahaan PT Antam.

Keseriusan pemerintah dalam mengurangi penggunaan merkuri ini telah dilakukan di beberapa sektor, yakni bidang kesehatan dengan pengalihan tensimeter merkuri ke non merkuri 30%-40%. Penggantian termometer merkuri 70% dan produksi termometer merkuri dibatasi serta percontohan penghapusan maupun penyimpanan alat kesehatan mengandung merkuri oleh Kemenkesdi RS di tujuh provinsi pada 2015.

Pada industri, dilakukan penggantian lampu hemat energi dengan light emitting diode (LED) yang tak mengandung merkuri.

Bidang teknologi substitusi pengolahan emas, pengembangan teknik pengolahan emas tanpa merkuri antara lain teknik pemisahan gravitasi dan peleburan emas serta teknik pelindian maupun proses kimia lain.

Berdasarkan data internasional 2010, tercatat emisi merkuri bersifat meracuni manusia 37% bersumber dari penambangan emas skala kecil, 24% dari pembakaran bahan bakar fosil, 18% dari produk-produk metal. Sisanya, 5-9% dari proses industri semen, insinerasi, dan lain-lain.

Pemerintah, katanya, akan memperkuat aturan penanganan merkuri menjadi peraturan presiden. Beragam inisiatif dan aturan pada lembaga dan kementerian soal penanganan merkuri akan masuk dalam rencana aksi nasional (RAN).

”Sifatnya mengikat dan memiliki kekuatan hukum. Bentuknya nanti peraturan presiden,” kata Arief.

Dia membenarkan, PESK melepaskan merkuri terbesar di Indonesia, hingga kini sulit ditertibkan. Sementara perhatian khusus dalam Konvensi Minamata pada bagian pengurangan merkuri.

Riset bisa dilihat di sini

Grafis dari riset Balifokus, BRI dan IPEN

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,