Serahkan Ratifikasi Konvensi Minamata ke PBB, Bagaimana Upaya Indonesia Tekan Peredaran Merkuri?

 

 

Pada 24 September 2017, akan berlangsung Konferensi Para Pihak (Conference of Parties/COP)-I Konvensi Minamata di Jenewa. Indonesia resmi meratifikasi konvensi ini melalui UU Nomor 11/2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury. Penyerahan Depository International of Regulation (IoR) kepada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa di New York, Amerika Serikat.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, proses ratifikasi berjalan lancar diserahkan Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri kepada Under Secretary General for Legal Affairs/UN Legal Counsel, Miguel de Serpa Soares, pukul 11.00 waktu setempat pada 22 September 2017.

Setelah resmi penyerahan depository IoR itu, katanya, Indonesia punya ruang aktif dan hak suara penuh dalam pengambilan keputusan pada forum regional dan global soal Konvensi Minamata. Termasuk dalam pengembangan prosedur, pedoman dan modalitas.

Indonesia, katanya,  memiliki peluang besar memperoleh manfaat dalam mengakses sumber pendanaan, transfer teknologi, peningkatan kapasitas dan kerjasama internasional guna mendukung rencana aksi nasional penanganan merkuri.

Arief Yuwono, Tenaga Ahli Menteri Bidang Evaluasi Kinerja Sama Luar Negeri KLHK mengatakan, naskah akademik dilakukan sejak 2013. Surat prakarsa dari Presiden Joko Widodo untuk pengesahan pada 10 Mei 2017.

”Masalah yang dihadapi makin serius. Kita sudah memiliki modalitas, kelompok kerja dan koordinasi lintas kementerian dan lembaga. Lama karena penyiapan pilot project,” katanya.

Ratifikasi ini, kata Arief,  sebenarnya tak tergesa-gesa. Saat naskah akademik dibuat, proses ini disusun dengan pertemuan lintas kementerian dan lembaga dan melakukan pembahasan terkait 15 UU agar tak saling bertentangan.

Pada COP-1 Konvensi Minamata ini, Indonesia belum akan mengambil keputusan apapun dan tak memiliki suara seperti 50 negara lain. Pasalnya, terhitung ratifikasi setor ke PBB, setelah 90 hari baru aktif. “Tapi kita boleh berbicara dalam konferensi.”

Di dalam negeri,  Indonesia masih dihadapkan pada darurat merkuri, terutama pertambangan emas skala kecil (PESK).  Dia bilang, upaya penertiban sudah berjalan tetapi belum efektif, misal, penutupan tambang batu cinnabar, bahan produksi merkuri di Gunung Tembaga, Pulau Seram, Maluku. Warga kembali nambang setelah tak dijaga aparat.

Hal inilah, katanya, perlu serentak oleh semua pihak. ”Pemerintah daerah sebagai penguasa daerah harus terdepan, dengan mengikutkan akademisi, LSM dan masyarakat dalam mendukung ini.”

 

Batu cinnabar, bahan bikin merkuri dengan latar belakang rumah penambang liar di Gunung Botak. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Solusi?

KLHK menawarkan beberapa solusi terkait penanganan PESK yang jadi proyek percontohan dalam mengendalikan merkuri di Indonesia, yakni legalitas penambangan.

”Kita meminta mereka (penambang) membentuk badan hukum, seperti koperasi lalu diberikan izin usaha pertambangan dan wilayah pertambangan rakyat,” kata Purwasto Saroprayogi, Kepala Subdirektorat Penerapan Konvesnsi Bahan Berbahaya Beracun KLHK dalam diskusi merkuri bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), di Jakarta, Jumat (22/9/17).

Tujuannya, penambangan dapat terkoordinasi dalam satu kawasan, tak terpencar liar. Selama ini, katanya,  penegakan hukum tak berjalan efektif.  Dengan WPR, diharapkan tertangani dalam pembinaan dan sosialisasi penggendalian bahan kimia dan pembuangan limbah.

KLHK kini berupaya mengidentifikasi hulu hingga hilir peredaran merkuri. ”Kami berupaya memutus pemodal-pemodal yang menyuplai merkuri,” katanya.

Untuk identifikasi, katanya, fokus kawasan-kawasan lindung, konservasi di kewenangan KLHK. Presiden juga mengingatkan tak represif dalam penertiban kepada masyarakat.

Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jatam, mengatakan, penawaran legalitas bukan solusi tepat. ”Pemerintah seharusnya mendorong ekonomi tanding agar penambang beralih profesi dari tambang ke non tambang,” katanya.

Pemerintah harus gencar sosialisasi dan menciptakan sebuah ekonomi baru. Jatam menilai, tambang ilegal jadi pilihan karena ada ketidakpastian ekonomi. Dia contohkan, di Gunung Poboya, PT Citra Palu Mineral, izin 1997, tambang rakyat baru 2007.

”Sela waktu ini perlu dicari apa keterampilan yang mereka miliki untuk non tambang.”

Kalau ada tawaran legalisasi lahan, katanya, akan jadi ruang pengurusan izin baru bagi pemodal, masyarakat hanya terpapar merkuri.

KLHK sedang menyiapkan proyek percontohan bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dengan mengganti merkuri dengan sianida. Bahan kimia pemisahan emas dan batuan ini sudah dilakukan beberapa lokasi, salah satu di Gunung Poboya. Ada sekitar 20-25 kolam sianida.

”Tapi pembakaran emas yang menggunakan sianida dilakukan tertutup agar pembuangan zat berbahaya diatur tak menyebar. Selama ini, kolam terbuka,” ucap Purwasto.

 

Mengemas cinnabar hasil dari Gunung Tembaga, sebelum diserahkan kepada pembeli. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 Presiden perlu perhatikan Poboya

”Poboya harus menjadi pintu masuk untuk kita menyelamatkan Indonesia dari genosida dampak merkuri dan sianida,” kata Merah.

Jatam pun mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Jokowi yang berencana menghadiri agenda Gekar Teknologi Tepat Guna Nasional 2017.

Surat itu ingin menginformasikan kepada Presiden soal ancaman krisis lingkungan yang kian mengkhawatirkan di Palu, Sulawesi Tengah, terutama Gunung Poboya.

Penelitian Dinas Kesehatan Kota Palu pada 2014 menunjukkan tujuh dari 10 sampel sumur baku mutu air bersih di Kota Palu memiliki kadar merkuri 0,005 atau lima kali lipat dari standar normal.

Padahal, Poboya, merupakan dataran tinggi sebagai tangkapan air bagi PDAM Palu.  Ada 400.000 penduduk Palu yang dihantui ancaman merkuri dan sianida, yang terpapar melalui air dan udara.

Berdasarkan data Jatam, perusahaan tambang seluas 85.000 hektar, tumpang tindih dengan kawasan konservasi Taman Hutan Raya 18.000 hektar, dimana 5.000 hektar tambang rakyat.

”Kami meminta Presiden mengetahui kondisi Palu yang sebenarnya dan menindak tegas pelanggaran, baik KLHK maupun KESDM. Di Proboya ada backing aparat, dan oknum pemerintah ambil bagian,” katanya.

Pencemaran merkuri dapat terekspos melalui saluran pernapasan, penyerapan melalui kulit dan konsumsi makanan serta minuman terkontaminasi. ”Kalau merkuri, 60-80% masuk diserap tubuh melalui udara,” kata Budi Haryanto, Kepala Peneliti di Departemen Kesehatan Lingkungan Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia.

Dengan begitu, keparahan saat menghirup lebih berbahaya dibandingkan melalui makanan dan kulit. “Kondisi Indonesia sangatlah krisis.”

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,