Aktivis: Pemda Harus Cari Solusi Larangan Buka Lahan Tanpa Bakar Buat Para Petani

Memperingati Hari Tani Nasional ke-56, pemerintah diminta untuk memperhatikan kesejahteraan petani. Pemda diminta untuk lebih meningkatkan proses pengawalan dan pengawasan melalui tenaga penyuluh lapangan agar kebijakan pemerintah di bidang pertanian yang sudah ditetapkan tidak salah sasaran. Serta memperkuat dan mengaktifkan kembali fungsi organisasi pertanian di tingkat desa.

Aktivis pun menyoroti perlunya Pemda Kalimantan Tengah mencarikan solusi pasca dicabutnya Pergub Kalteng Nomor 15/2010 tentang larangan pembukaan lahan dan pekarangan rumah dengan cara membakar. Akibatnya banyak petani yang takut dan memilih tidak mengerjakan lahan, padahal masih banyak petani tradisional dan masyarakat adat yang bekerja dengan ladang berpindah.

“Pemda harus menjamin tidak adanya kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat yang mempertahankan tanahnya dengan cara membuat Perda tentang resolusi konflik. Perlu adanya dorongan perda yang berlandaskan pada UU Nomor 41/2009 mengenai Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan (PLP2B),” jelas Sekar Pertiwi Suga Putri dari Forum Suara Rakyat Kalimantan Tengah (FSRKT) dalam orasi memperingati Hari Tani Nasional di depan Gedung DPRD dan Kantor Gubernur Kalteng (25/09).

Alih-alih mengkriminalisasikan para petani untuk masalah pembakaran lahan, aktivis meminta agar Pemda untuk lebih aktif menindak tegas perusahaan penyebab kebakaran lahan. Hal ini dirasa penting agar peristiwa kabut asap Karhutla tahun 2015 tidak terulang kembali.

Lebih lanjut, Sekar menyebut Pemda perlu melakukan pendataan ulang jumlah petani, luas areal lahan dan status lahan pertanian mengacu pada UU Pokok Agraria.

Adapun FSRKT terdiri dari berbagai organisasi diantaranya BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Universitas Palangkaraya, Universitas Kristen Palangkaraya (Unkrip), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), Walhi Kalteng, JPIC (Justice, Peace and Integrated Creation) Kalteng dan Progress.

 

Ketimpangan Penguasaan Lahan

Sementara itu Kartika Sari, Koordinator Progress mengatakan, ketimpangan kepemilikan lahan antara petani dan korporasi di Kalimantan Tengah sangat besar. Di Kalteng misalnya, dari luas wilayah 15.798.359 hektar, yang dialokasikan untuk dikelola oleh masyarakat lewat skema plasma, hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat baru 282,442 hektar, kalah jauh dari luas lahan yang dikelola oleh korporasi.

Ia melihat sebuah kondisi yang ironi. Indonesia dikatakan sebagai negara agraris. Tapi banyak petani yang tidak mempunyai lahan garapan. Masih banyak ditemukan peristiwa petani yang kesulitan untuk mengakses tanahnya sendiri, di sisi lain keberpihakan negara lebih kepada korporasi besar.

“Terbesar adalah milik korporasi. Terutama untuk perkebunan kelapa sawit yang semakin lama, semakin banyak, menambah lagi jumlah perizinannnya. Kemudian yang dilakukan oleh perkebunan ataupun pertambangan, entah masyarakat mengizinkan atau tidak, mereka akan tetap melakukan penggarapan atas lahan tersebut. Sehingga hal ini memunculkan banyak konflik perebutan lahan,” papar Kartika.

Ia mencontohkan keadaan petani di beberapa daerah seperti Perenggean, Sebabi dan lainnya. Kebanyakan mereka merupakan warga transmigran. Lahannya diambil alih jadi perkebunan kelapa sawit. Sehingga mereka tak bisa lagi mengakses lahannya, dan terpaksa menjadi buruh.

 

Pengaduan Konflik Lahan dan Larangan Bakar

Menanggapi hal tersebut, Penjabat Sementara Sekda Kalteng H. Mugeni mengatakan, tak mengelak bahwa memang banyak pengaduan mengenai konflik lahan kepada Pemprov Kalteng. Namun menurutnya mayoritas hal itu sudah ditindaklanjuti dengan upaya mediasi, baik oleh Biro Pemerintah Pemprov kalteng, Dinas Pertanian maupun Dinas Kehutanan.

“Jadi kami melihat konfliknya seperti apa? Karena pada dasarnya konflik itu kan antar pihak. Bisa dibicarakan dan difasilitasi. Kalau antar masyarakat bisa dimediasi oleh biro pemerintahan. Kalau dia berkembang sedemikian rupa menjadi masalah publik karena menimbulkan riak-riak di masyarakat, itu kita coba selesaikan. Kita lihat juga apakah signifikan diselesaikan di tingkat provinsi, atau cukup di Kabupaten? Sebagian kami surati Bupatinya supaya diselesaikan di tempatnya saja,” papar Mugeni.

Terkait dengan regulasi pencegahan kebakaran, pihaknya sedang menyusun regulasi pencegahan kebakaran.

“Hal itu masih kami diskusikan dengan berbagai pihak termasuk dengan kementerian terkait. Semuanya sudah paham itu. [Untuk pencegahan kebakaran] kita disini bertindak misalnya lewat posko bencana kebakaran, kita bertindak sesuai dengan peraturan yang ada saat ini,” jelasnya.

Ada pun terkait aturan larangan membakar, Mugeni mengatakan hal tersebut sudah disuarakan oleh banyak pihak. Dia mengaku banyak menerima keluhan masyarakat tentang masalah larangan membakar itu. Ia menyebut pemda sedang mencari solusi.

Mugeni berharap pemerintah daerah dan pemerintah pusat bisa menemukan jalan keluar terbaik sehingga masyarakat bisa mengolah lahannya dengan baik tanpa membakar.

“Solusinya menurut saya ya menyiapkan sarana dan prasarana yang cukup. Untuk membantu para petani membuka lahannya tanpa membakar. Upaya itu pun memerlukan anggaran yang sangat besar,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,