Kembangkan Sektor Kemaritiman, Indonesia Bentuk Konsorsium Riset Samudera

 

 

Berstatus sebagai negara pemilik garis pantai terpanjang kedua di dunia, pemanfaatan sektor kemaritiman di Indonesia, hingga saat ini dinilai masih sangat kurang. Padahal, dengan segala potensi yang ada, sektor kemaritiman bisa memenuhi segala kebutuhan, terutama dari sektor perikanan dan kelautan.

Hal tersebut diakui Menteri Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro di Jakarta, Selasa (26/9/2017). Rendahnya pemanfaatan potensi yang ada, menurut dia, salah satunya karena penelitian untuk sektor kemaritiman masih sangat rendah.

“Dalam usia 72 tahun Indonesia menjadi negara merdeka, kita belum dapat memanfaatkan sumber daya laut secara maksimal.

Rendahnya pemanfaatan, menurut Bambang, bisa dilihat dari sumbangan sektor kemaritiman dan kelautan terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah dibandingkan sektor-sektor lainnya. Sektor maritim, kata dia, hingga saat ini hanya sanggup menyumbang sekitar 4 persen saja terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Padahal, Bambang menyebut, dengan perairan laut seluas 5,8 juta km persegi atau seluas 2/3 dari total yurisdiksi nasional yang mencapai 7,73 juta km2, serta memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, harusnya sektor maritim Indonesia bisa berkembng pesat.

“Laut yang luas berisi sumber daya hayati dan non-hayati yang sangat kaya. Perairan laut Indonesia dikenal sebagai hot spot untuk marine biodiversity,” jelas dia.

Rektor Institut Teknologi Bandung Kadarsah Suryadi menjelaskan, pemanfaatan sektor kemaritiman harus segera dilakukan sebanyak mungkin jika ingin menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat. Tetapi, untuk mencapai itu, dipastikan perlu dilakukan penelitian (riset) yang mendalam dan berkesinambungan oleh para ahli di bidangnya.

“Ini bagus, karena memang riset sudah harus dilakukan. Kita samakan persepsi dengan perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Riset seperti apa yang bisa dilakukan,” tutur dia.

 

Kapal penangkap ikan di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Pernyataan yang sama juga diungkapkan Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber daya Alam Bappenas Arifin Rudyanto. Menurut dia, pembangunan kemaritiman mutlak untuk dilaksanakan bersama oleh semua pihak. Hal itu, karena pembangunan kemaritiman berdampak banyak untuk berbagai sektor kehidupan.

Adapun, Arifin menyebut, ada beberapa kerangka pembangunan maritim yang bisa dijadikan acuan, yaitu:

  1. Menegakkan kedaulatan dan yurisdiksi nasional Perbatasan, ZEE;
  2. Mengembangkan data dan informasi kelautan, potensi kelautan, koordinasi, jaringan sistem informasi kelautan;
  3. Meningkatkan pemanfaatan potensi laut dan dasar laut, industri pengolahan, aglomerasi industri, SDM;
  4. Mengembangkan potensi industri kelautan, keterkaitan antar industri, iklim kondusif, sistem transportasi, kawasan cepat tumbuh;
  5. Meningkatkan harkat dan taraf hidup nelayan;
  6. Mempertahankan daya dukung dan kelestarian fungsi lingkungan laut budaya kelautan, law enforcement; dan
  7. Memperkuat pertahanan maritim.

 

Konsorsium Riset Samudera

Agar semua potensi kemaritiman bisa dimanfaatkan sebanyak mungkin, seluruh riset ilmiah yang dilakukan para pakar di perguruan tinggi, harus dilakukan sinkronisasi. Tujuannya, agar tercipta harmonisasi riset antar perguruan tinggi. Dengan demikian, akan tercapai efisiensi riset yang terarah dan sesuai dengan kebutuhan.

Menurut Deputi Bidang Koordinasi SDM, Iptek, dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman Safri Burhanuddin, melalui konsorsium riset samudera yang digagas oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), keterpaduan riset akan bisa diwujudkan.

“Selama ini, kita tidak maju karena riset berjalan sendiri-sendiri. Sekarang riset dilakukan oleh konsorsium dan perguruan tinggi menyediakan SDM-nya,” ungkap dia.

Dengan adanya konsorsium, Safri mengatakan, riset tentang satu isu bisa dilakukan lebih dinamis dan itu dilaksanakan oleh perguruan tinggi. Isu tersebut, mencakup juga isu utama yang sedang berkembang saat itu dan dinilai menjadi kebutuhan utama untuk segera dikembangkan.

Safri mengungkapkan, dengan dilaksanakan riset secara bersama yang dideklarasikan pada Selasa (26/9/2017), dia optimis pada 2019 Indonesia sudah bisa melihat hasilnya. Jika itu bisa terjadi, maka kebutuhan teknologi dan yang lainnya untuk pembangunan maritim, bisa disediakan dengan cepat.

Untuk melaksanakan riset bersama di bawah konsorsium, Safri menyebut, perlu digandeng semua perguruan tinggi dan juga lembaga terkait yang ada di daerah maupun di pusat. Dengan demikian, kebutuhan sumber daya manusia untuk proses riset, diharapkan bisa terpenuhi dengan mudah.

Untuk konsorsium sendiri, selain LIPI yang menjadi penggagas, ada juga 10 lembaga/kementerian, perguruan tinggi di dalamnya. Mereka adalah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman; Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi; Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas); Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT); Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG); Universitas Sriwijaya; Institut Teknologi Bandung (ITB); dan Institut Pertanian Bogor (ITB).

 

Tempat penampungan ikan yang menjadi tempat transaksi penjualan ikan hasil tangkapan nelayan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Adapun, dari hasil deklarasi tersebut, disimpulkan bahwa riset samudera di Indonesia dibutuhkan untuk mendukung pembangunan dan daya saing riset nasional. Kemudian, perlunya penyusunan Master Plan riset samudra yang terintegratif, sinergis, fokus, dan mengacu pada Rencana Induk Riset Nasional, serta didukung sarana prasarana dan peralatan yang dibutuhkan. Terakhir, semua pemangku kepentingan setuju untuk mengintegrasikan data hasil riset samudera lewat Pusat Data Nasional yang dapat diakses dan dimanfaatkan bersama.

Berdasarkan kesepahaman tersebut, semua pemangku riset samudera bersepakat untuk :

  1. Membentuk Konsorsium Riset Samudera sebagai wadah untuk harmonisasi program dan infrastruktur riset samudera;
  2. Menyusun dan melaksanakan program riset dalam Konsorsium tersebut di butir 1 yang mengacu pada:
    1. Prioritas nasional, meliputi: ketahanan pangan dan energi, pertahanan dan keamanan, kemaritiman, serta pembangunan wilayah.
    2. Klaster riset samudera yang mencakup: keanekaragaman hayati dan konservasi, ketahanan pangan, pembangunan sumber daya manusia kelautan, ketahanan energi, geosains kelautan, serta observasi laut dan iklim;
    3. Lokasi riset yang meliputi: Laut Banda dan sekitarnya, Laut Natuna Utara, Selat Makassar, Perairan Barat Sumatera, Perairan Selatan Jawa dan Nusa Tenggara, Perairan Utara Papua, dan Laut Sulawesi.

 

Isu Utama

Deputi Ilmu Kebumian LIPI Zainal Arifin menjelaskan, kehadiran konsorsium riset samudera bisa menjadi pemecah masalah untuk sektor kemaritiman Indonesia. Mengingat, sejak lama, sektor tersebut masih sangat minim keterlibatan para pakar untuk proses pengembangannya.

“Keterlibatan SDM kelautan kita sangat rendah dibandingkan dengan Tiongkok dan Malaysia. Karena itu, program riset harus ada harmonisasi dan melakukan joint infrastructure dengan yang lain,” ungkap dia.

Secara teknis, Zainal menjelaskan, konsorsium riset akan melaksanakan riset sesuai dengan kebutuhan dan isu terkini. Untuk pelaksananaan riset, itu akan dilakukan di masing-masing perguruan tinggi dengan menggunakan SDM masing-masing. Setelah riset selesai, hasilnya baru dilaporkan kepada konsorsium melalui sebuah sistem yang akan dibangun.

“Dengan adanya konsorsium, nanti tidak akan ada lagi perguruan tinggi melakukan riset dengan isu yang sama bersama perguruan tinggi lain. Nantinya, setiap isu akan digarap secara berbeda oleh perguruan-perguruan tinggi,” tandas dia.

Sebagai tahap awal, Zainal menyebut, konsorsium akan memprioritaskan penelitian dengan fokus pada keanekaragaman hayati dan konservasi. Isu tersebut, mencakup di dalamnya adalah penelitian tentang penilaian stok ikan secara nasional.

“Ada 15 isu prioritas yang akan digarap di tingkat nasional. Dalam 10 tahun ke depan, itu riset tentang keanekaragaman hayati dan konservasi. Ini program skala nasional. Hasilnya bisa disimpan,” pungkas dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,