Peneliti LIPI: Satwa yang Tertangkap Kamera Itu, Lebih Tepat Macan Tutul Ketimbang Harimau Jawa

 

 

Pertengahan September 2017, masyarakat Indonesia ramai membicarakan sebuah foto yang beredar di media massa. Foto yang diambil di wilayah padang pengembalaan Cidaon, Taman Nasional Ujung Kulon itu, erat dikaitkan dengan harimau jawa, subspesies yang sudah dinyatakan punah sejak 1980-an. Benarkah ini pertanda kemunculan harimau jawa?

Prof. Gono Semiadi dari Pusat Penelitian Biologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Cibinong, Bogor, secara gamblang menjelaskan hasil analisisnya kepada Mongabay Indonesia, Kamis (28 September 2017). Gono mengatakan, bersama Dr. R. Taufiq Purna Nugraha, pihaknya telah melakukan tiga pendekatan ilmiah guna menyingkap tabir satwa tersebut.

“Tiga cara yang kami lakukan itu menggunakan metode morfometrik atau pengukuran, bentuk pola dari kulit, serta perilaku makan,” jelasnya.

Gono mengatakan, pertama, pengukuran dimensi tubuh dilakukan menggunakan satuan panjang yang telah diketahui pada foto yang diduga harimau jawa tersebut. “Kami bekerja sama dengan bagian taksonomi di Zoologi guna mengidentifikasi jenis burung, usia, dan kelamin. Ini dilakukan, karena satwa yang terduga harimau jawa itu berjalan mengarah ke burung yang teridentifikasi adalah merak hijau betina.”

Berdasarkan foto itu terlihat, posisi burung yang tegak, dapat dijadikan sebagai recording data, dari panjang ekor hingga kepala. Sehingga dapat dikatakan bahwa usia merak hijau itu masuk kategori dewasa. Pengukuran tubuh secara forensik ini tentunya menggunakan alat dengan data kontrol yang akurat, untuk mendapatkan tinggi merak hijau.

“Dengan tools tersebut, estimasi panjang tubuh satwa yang diduga harimau jawa itu, dilakukan. Perbandingan panjang ekor dan panjang tubuh dapat menjadi salah satu indikator identifikasi karnivora, bahkan menjadi nilai akurat untuk menujukkan seekor satwa,” terangnya.

 

Foto yang awalnya diduga harimau jawa ini diambil di wilayah padang pengembalaan Cidaon, Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: Dok. Balai Taman Nasional Ujung Kulon via LIPI

 

Gono menjelaskan, berdasarkan perbandingan dimensi tubuh itu, nyatanya harimau jawa tidak memiliki data yang cukup. Justru, koefisiennya ada pada jenis harimau lainnya seperti harimau siberia. Selain itu juga, hasilnya keluar dari indeks kepustakaan. “Indeks yang didapatkan adalah macan tutul jawa. Indeks cukup tinggi ini yaitu 0.7 sama dengan indeks kelompok macan tutul. Tidak termasuk data lingkup harimau,” terangnya.

Bagaimana analisis kedua, yang menggunakan bentuk pola dari kulit? Gono melanjutkan, teknik deblurring and contrast enhancement dimaksimalkan guna memperjelas dan mempertajam sosok agak buram yang diduga harimau jawa itu. “Hasilnya, pola atau corak dari tubuh satwa itu, yang terlihat bukan garis loreng melainkan tutul.”

Terakhir, dari analisis perilaku makan banteng dalam format video itu terlihat, bahwa pola makan macan tutul jawa yang sederhana adalah ketika makan ia akan mengibaskan ekornya dan terangkat ke atas. Ini dikarenakan, ekornya yang panjang. “Sedangkan harimau, tidak mengibaskan ekornya karena ukurannya lebih pendek dibandingkan macan tutul,” tuturnya.

 

Analisis foto yang dilakukan peneliti LIPI menunjukkan hasil, satwa yang terekam kamera ini lebih tepat disebut macan tutul ketimbang harimau jawa. Sumber analisis: Pusat Penelitian Biologi LIPI

 

Telaah video

Anton Ario dari Conservation International Indonesia yang juga anggota Forum Macan Tutul Jawa (FORMATA), tidak ragu bila satwa dalam foto itu adalah macan tutul jawa. Berdasarkan telaah video yang ia lakukan, gerakan satwa tersebut yang mengibaskan ekornya saat memangsa banteng adalah macan tutul jawa. Ujung ekornya menggemuk selaras dengan bagian pangkalnya.

“Foto yang beredar di media itu kemungkinan screenshot dari video berdurasi 36 detik. Gambar diambil menggunakan kamera video handphone atau kamera pocket pada 25 Agustus 2017 lalu oleh staf Balai TNUK dari jarak jauh. Kualitas gambarnya low resulotion atau rendah,” terangnya di Bogor, Senin (2/10/17).

Masyarakat luas yang melihat foto tersebut akan mengira kucing besar itu adalah harimau jawa, jika hanya melihat bagian dalam kakinya. Terutama saat ia bergerak. “Ini dikarenakan, gerakan otot kaki sangat mempengaruhi corak totol yang terlihat garis ketika kakinya melangkah,“ tuturnya.

 

Macan tutul jawa yang terekam kamera jebak di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Foto: Conservation International/TNGHS

 

Anton mengatakan, ada dua momen penting dari telaah video tersebut. Yaitu, gerakan saat memakan bangkai banteng, sekitar 31 detik, dan gerakan ketika meninggalkan bangkai tersebut, sekitar 5 detik.

Pada momen memakan bangkai, gambar yang mudah dianalisis adalah bagian ekornya yang mengibas atau bergerak. Ini dikarenakan anggota tubuh lainnya, sebagian besar tertutup bangkai banteng yang penyebab kematiannya tidak diketahui. Karakteristik ekor macan tutul jawa, berdasarkan bentuk dan ukurannya, ujungnya tidak meruncing, tapi cenderung gemuk selaras bagian pangkalnya. Sementara harimau, ekornya mengerucut tumpul yang mengarah ke ujungnya.

“Berdasarkan karakter tersebut, dalam video terlihat bila ekor yang dikibaskan tidak meruncing. Sepertiga dari panjang ekor sisi atasnya juga tampak hitam sedangkan bagian bawahnya berwarna putih. Dengan tanda tersebut, dari manapun sudut pengambilan video diambil, jelas bila pola itu milik macan tutul jawa (Panthera pardus melas).”

Untuk telaah saat macan tutul jawa meninggalkan bangkai banteng, lanjut Anton, bagian khusus yang dapat dianalisis adalah tubuh belakangnya. Tubuh macan tutul, hampir menyeluruh berpola totol yang tersusun dari 1-5 totol yang membentuk bunga. Totol tersebut, tidak seluruhnya bulat, ada yang oval atau memanjang dan berbeda pada setiap bagian tubuh macan tutul jawa ini. Hal yang berbeda dengan pola loreng yang dimiliki harimau. “Jika dianalogikan, kondisi totol tersebut sebagaimana pola sidik jari manusia yang masing-masing berbeda.”

Sementara pada bagian kaki, meski tidak terlihat jelas akan tetapi pola totol tetap ada. Pada bagian kaki dalam, dengan warna dasar rambut putih, cenderung tampak bergaris. Sejatinya, pola ini merupakan bentuk totol, yang terlihat memanjang berhimpit dikarenakan posisinya berjalan.

“Berdasarkan karakteristik tersebut, pola totol terlihat jelas pada bagian tubuh dan ekor macan tutul,” terang Anton.

 

Analisa gambar video mengenai perbedaan ekor macan tutul jawa dengan harimau jawa. Sumber: Analisa Anton Ario/CI

 

Persebaran macan tutul jawa

Berdasarkan analisis pilogeni dengan penanda DNA, di dunia ini, tersebar sembilan anak jenis macan tutul. Satu dari sembilan anak jenis tersebut adalah macan tutul jawa yang secara nyata memiliki perbedaan genetik dengan subspesies lainnya.

Menurut Hoogerwerf (1970), ukuran rata-rata tubuh macan tutul jawa, jantan dewasa, dari moncong hingga ujung ekor sekitar 215 cm, tinggi (60-65 cm), dan berat (52 kg). Sedangkan betina, panjang dari moncong hingga ujung ekor berkisar (85 cm), tinggi (60-65 cm), dan berat (39 kg). Di Indonesia, macan tutul jawa sering juga disebut macan kumbang.

Macan tutul jawa tersebar merata dari ujung barat Pulau Jawa (Taman Nasional Ujung Kulon) hingga ujung timurnya (Taman Nasional Alas Purwo). Tidak terbatas di kawasan konservasi semata, macan tutul jawa juga hidup di hutan lindung dan hutan produksi.

 

Macan tutul jawa, yang sering disebut macan kumbang ini, tersebar merata dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa. Foto: Conservation International/Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

 

Terkait kondisi macan tutul jawa di Ujung Kulon, Gono Semiadi menambahkan, ancaman dari manusia relatif menurun dikarenakan adanya kegiatan patrol rutin dan pemasangan kamera jebak. Namun, yang harus diperhatikan adalah ketersedian pakan. Mengapa jenis karnivora kadang turun gunung? “Ini disebabkan, makanan dari mangsanya yang semakin sedikit. Untuk itu, perlu dipikirkan pengelolaan sumber pakan (daya dukung) mangsanya itu,” terangnya.

Jumlah macan tutul jawa di alam, diperkirakan menurun akibat menyempitnya habitat, berkurangnya satwa mangsa, dan perburuan liar. Juga, adanya konflik dengan manusia.

Terkait kondisi tersebut, Wulan Pusparini, peneliti dari Wildlife Conservation Society – Indonesia Programe (WCS-IP), mengatakan informasi keberadaan macan tutul jawa tidak banyak terpublikasi. Diperkirakan, ia telah kehilangan habitatnya sekitar 84 persen. “Daerah di Jawa yang dulunya ada macan tutul, kini tiada lagi. Area yang hilang itu dikarenakan kepadatan penduduk yang tinggi, mencapai 330 orang/kilometer persegi. Bila dibandingkan dengan India, hanya setengahnya saja,” terangnya.

Wulan menambahkan, harusnya kita bangga memiliki macan tutul, satu-satunya karnivora paling besar di Jawa, selain harimau jawa yang telah punah. Dengan begitu, perlindungan konservasi dapat dilakukan sebaik mungkin. “Penelitian dan perlindungannya harus ditingkatkan dan data-data yang ada saat ini, ada baiknya digunakan sebagai dasar riset.”

Anton Ario berharap, keberadaan macan tutul jawa yang merupakan pemangsa puncak dalam rantai makanan tetap terjaga populasinya. Fungsinya penting sebagai pengendali berbagai spesies yang menjadi mangsanya, yang seringkali berperan sebagai hama pertanian atau sebagai vektor penyakit.

“Keberadaanya bergantung pada kondisi habitat dan kelimpahan satwa mangsa seperti kijang, rusa, babi, kancil serta primata seperti lutung dan monyet. Hilangnya macan tutul jawa dalam suatu ekosistem akan mempengaruhi keseimbangan tatanan ekosistem hutan, pastinya,” tegasnya.

 

Pemerintah Indonesia sejak 1970 telah melindungi macan tutul jawa yang diperkuat dengan dengan UU No 5 tahun 1990 dan PP No 7 Tahun 1999. Foto: Conservation International/Perhutani/YOJ

 

Berdasarkan IUCN Red List, macan tutul jawa statusnya Kritis (Critically Endangered), atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar. Sedangkan dalam CITES, ia dimasukkan dalam Appendix 1. Pemerintah Indonesia sejak 1970 telah melindungi macan tutul jawa berdasarkan SK Mentan No.421/Kpts/Um/8/1970 (ditulis: Felis pardus), yang diperkuat dengan UU No 5 tahun 1990 (Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya) dan PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Berdasarkan luasan hutan di Pulau Jawa yang tersisa, jumlahnya di alam liar diperkirakan sekitar 491-546 individu.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,