Dinilai Tak Bersalah, Tiga Nelayan Pulau Pari Diminta Segera Dibebaskan dari Hukuman

 

 

Tiga nelayan Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta yang sedang berperkara di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, mendapatkan pembelaan dari tim penasihat hukum mereka dalam sidang yang berlangsung pada awal pekan ini. Ketiganya dibela tidak bersalah karena dinilai tidak terbukti melakukan tindak pidana.

Pembelaan itu sekaligus menjadi jawaban atas tuntutan dari jaksa penuntut umum (JPU) kasus tersebut yang menuntut ketiga nelayan divonis hukuman 2 (dua) tahun penjara karena melanggar pasal 368 ayat (1) KUHP karena mengambil donasi di Pantai Perawan Pulau Pari Kepulauan Seribu.

Tim Koalisi Selamatkan Pulau Pari yang mendampingi ketiga nelayan, mengungkapkan, pembelaan yang dilakukan tim penasihat hukum, didasarkan pada seluruh bukti-bukti yang dihadirkan pada persidangan.

(baca : Perbedaan Cara Pandang Kriminalisasi Nelayan Pulau Pari, Seperti Apa?)

Adapun, menurut Tigor Gemdita Hutapea dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), ada sejumlah catatan yang diungkap oleh tim penasihat hukum dan menguatkan ketiga nelayan pulau pari tidak bersalah :

Pertama, seluruh saksi yang dihadirkan, baik dari JPU atau Penasihat hukum memberikan keterangan tidak terjadi perbuatan kekerasan atau ancaman yang dilakukan oleh para terdakwa. Saksi JPU saat kejadian hanya mempertanyakan penarikan kenapa ada uang donasi namun tidak keberatan saat membayar. Penilai jaksa telah terjadi pemerasan tidak dapat dibuktikan.

Kedua, pengelolaan pesisir merupakan hak masyarakat pesisir yang dilindungi oleh Undang-Undang. Ini diperkuat oleh keterangan pakar, Dedhy Adhuri yang menerangkan pengelolaan pariwisata dan perikanan oleh masyarakat terjadi di berbagai daerah, seperti Aceh, Lombok Utara, Lombok Timur, Maluku dan Papua.

“Hal ini dilindungi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Jo UU No 27 Tahun 2007. Untuk menjamin keberlangsungan pengelolaan masyarakat dibenarkan untuk mengambil donasi secara wajar,” ucap dia.

Ketiga, nelayan tidak melakukan pungutan liar (pungli). Penilaian tersebut diperjelas oleh pakar, Prastowo Yustinus. Dia menjelaskan, karena pantai perawan tidak dibangun, tidak dimiliki atau tidak dikelola pemerintah daerah, maka berdasarkan UU No 28 Tahun 2009, pantai perawan tidak dapat menjadi objek retribusi.

Kata Prastowo, yang dapat dijadikan objek retribusi adalah pelayanan yang dibangun, dimiliki atau dikelola pemerintah daerah. Tindakan mengambil donasi juga tidak dilarang berdasarkan UU No 28 Tahun 2009. Dia menambahkan, terminologi pungli hanya dapat dikenakan kepada aparat pemerintah yang mengutip uang diluar biaya resmi.

(baca : Pulau Pari, Riwayatmu Kini)

Keempat, ketiadaan izin mengelola bukanlah pelanggaran pidana. Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2014, setiap orang yang mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil wajib memiliki izin pengelolaan. Namun, ketiadaan izin tersebut merupakan pelanggaran hukum administratif yang sanksinya berupa teguran, penghentian kegiatan, bukan sanksi pemidanaan.

Kelima, pengambilan donasi merupakan peristiwa perdata dan itu didasarkan pada penilaian ahli Elfrida Gultom. Menurut dia, pungutan yang dilakukan masyarakat merupakan peristiwa perdata, yang berarti ada kesepakatan di antara kedua belah pihak dan selama bentuknya bukan paksaan.

“Jadi, dengan adanya kesepakatan untuk memberi dan menerima, bukan peristiwa pidana,” tutur dia.

 

Dermaga Pulau Pari, pintu gerbang utama menikmati keindahan alam di Pulau Pari. Foto: Aji Wihardandi/Mongabay Indonesia

 

Atas dasar penilaian-penilaian di atas, tim penasihat hukum meminta agar majelis hakim yang diketuai Agusti itu meminta agar tiga nelayan Pulau Pari segera dibebaskan karena tidak terbukti melakukan tindak pidana Pasal 368 ayat (1). Ketiga nelayan itu, adalah Mastono alias Baok , Bahrudin Alias Edo, Mustaqfirin alias Boby dari penjara.

Untuk diketahui, kriminalisasi yang dialami tiga nelayan asal Pulau Pari pada 11 Maret lalu, terjadi karena ketigana diduga melakukan pungli di pantai Perawan, PulauP ari. Ketiganya ditangkap aparat Polres Kepulauan Seribu pada 11 Maret lalu dan dituduh melakukan pungli dengan membebankan biaya sebesar Rp5.000 kepada para wisatawan yang ingin masuk ke wilayah pantai Pasir Perawan.

 

Siapa Pemilik Pulau Pari?

Teka teki kepemilikan Pulau Pari makin ke sini semakin simpang siur. Walau saat ini telah terdapat 80 sertifikat berbeda yang diduga diterbitkan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara untuk PT Bumi Pari Asri (BPA), namun warga Pulau Pari, Kecamatan Pulau Seribu Selatan, Kabupaten Pulau Seribu menyebut mereka tetap mempertanyakan sertifikat itu.

Kekisruhan yang terjadi dimulai ketika Edi Priadi, suami dari Dian Astuti yang merupakan warga setempat mendapat surat somasi pada 2016 oleh PT BPA. Dia dilaporkan dengan Pasal 167 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan kemudian berlanjut vonis hukuman selama empat bulan.

Belum juga Edi bebas dari penjara, sang istri kemudian diketahui mendapatkan peringatan dari perusahaan yang sama pada Februari 2017. Dia diminta untuk segera mengosongkan rumah dan diberikan uang kompensasi sebesar Rp10 juta.

“Tetapi, saat itu saya tolak tawaran tersebut. Meski saya bingung dan takut karena mendapatkan somasi, saya tetap berusaha tenang. Saya katakan pada mereka, saya tidak bisa ambil keputusan sendiri, karena harus menunggu suami yang masih di penjara,” ungkap Dian pada awal Juni lalu.

(baca : Siapa Pemilik Pulau Pari Sebenarnya?)

Dian menerangkan, pada 6 Juni 2017, dia kembali didatangi orang dari kecamatan setempat yang mengaku suruhan PT BPA. Orang tersebut menyampaikan surat yang berisi somasi kepada Dian. Isi surat tersebut hampir sama, yakni meminta dia mengosongkan rumah sesegera mungkin.

“Jika tidak, saya dikenakan pidana empat tahun penjara. Saya bingung dan takut, makanya saya langsung lapor ke RT dan RW tentang masalah ini,” jelas dia.

 

Suasana di perkampungan warga di Pulau pari, nyaman dinikmati dengan bersepeda. Foto: Aji Wihardandi/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Dian juga mengaku, pada 3 Maret 2017, ancaman serupa sudah dilayangkan kepadanya oleh seorang staf kecamatan. Ancaman yang datang pada sore hari itu, tanpa disertai surat dan kembali memintanya untuk segera mengosongkan rumah, karena versi mereka menurutmya, tanah yang ditempatinya adalah tanah PT BPA.

“Petugas itu datang lewat pintu belakang dan berbicara dengan pelan tanpa menyebut salam. Dia juga menyebut bahwa saya tidak perlu lapor RT dan RW karena mereka juga berpihak pada perusahaan. Saya semakin bingung,” tutur dia.

Tidak cukup sampai disitu, Dian menyebut, untuk membujuk dia meninggalkan rumah yang sudah dibangun sejak akhir dekade 90-an, PT BPA mengutus orang lagi dan menyodorkan uang sebesar Rp20 juta sembari memintanya untuk menandatangani surat perjanjian.

“Saya tolak. Saya sampaikan ke RW. Tapi, kemudian karena saya tidak mau, mereka meneror saya melalui telepon. Saya semakin takut,” jelas dia.

Cerita yang sama juga diutarakan Edi Priadi. Suami dari Dian Astuti tersebut mengaku sudah tak terhitung mendapatkan ancaman dari PT BPA. Padahal, menurut dia, awal masuk ke Pulau Pari dan menempati rumah yang sekarang ada sekitar 1999, itu sudah mendapatkan izin dari ketua RT setempat.

“Tidak ada masalah. Walaupun, saat itu tanah sudah berstatus tanah girik. Tapi, pada 2015 saya kemudian dipanggil polisi hingga dua kali. Saya kemudian dipanggil Polsek Cilincing (Jakarta Utara) hingga tujuh kali. Yang ketujuh, saya dijebloskan ke Penjara,” papar dia.

Menurut pengakuan Edi, saat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, saksi dari BPN Jakut menyebutkan bahwa tanah yang didirikan bangunan rumahnya bukan merupakan bagian dari tanah yang diklaim milik PT BPA. Namun, kesaksian tersebut ternyata tidak berpengaruh apapun pada hasil persidangan.

“Kenapa di persidangan saya bisa dihukum karena tempat tinggal saya masuk dalam sertifikat perusahaan. Akhirnya divonis 4 bulan. Ini sangat aneh dan tidak masuk akal,” ungkap dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,