Ketika Puluhan Ton Minyak Sawit Tumpah di Perairan Teluk Bayur

 

Permukaan perairan Pelabuhan Teluk Bayur sampai Bungus dan pulau-pulau terdekat, berubah warna. Ia jadi kuning pekat.  Sekitar 50 ton minyak minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) jenis palm fatty acid distillate (PFAD) tumpah, Kamis (28/9/17.

Tumpahan minyak sawit ini karena kebocoran pipa tangki penampungan PFAD siap ekspor milik PT Wira Inno Mas (WIM). Perusahaan terus membersihkan dan mengangkat material minyak beku ke luar perairan dan pulau-pulau terdekat.

Melalui keterangan tertulis, WIM mengatakan sebelum tangki ditemukan bocor Kamis (28/9/17) pukul 10.00, teknisi sempat mengecek tangki 30 menit sebelum kejadian. Pukul 10.00, tiba-tiba terdengar suara pecah diikuti air mengalir, setelah dicek, ada kebocoran tanki 14 berisi 750 ton PFAD. Dari kebocoran ini, diperkirakan 50 ton terlepas ke perairan.

Karena areal terdampak kelolaan PT Pelindo Cabang Teluk Bayur, otoritas segera mengerahkan dua oil boom, masing-masing sepanjang 250 meter. Tumpahan minyak banyak khawatir mengganggu aktivitas pelabuhan. Selain tergenang di permukaan laut, tumpahan juga melekat di batu karang di kawasan itu.

 

Kondisi perairan Teluk Bayur beberapa saat setelah 50 ton minyak minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) jenis PFAD (Palm Fatty Acid Distillate) tumpah dan mencemari perairan Pelabuhan Teluk Bayur, Kota Padang, Sumatera Barat, Kamis (28/9/17). Foto Istimewa

 

Cemari pulau-pulau terdekat

Pasca tumpah CPO di Pelabuhan Teluk Bayur, kondisi pulau-pulau kecil sekitar mulai tercemar. Berdasarkan monitoring dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) bersama Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanam Pesisir Sumbar, Rabu, 4 Oktober, tumpahan minyak nabati itu menumpuk di pantai pulau-pulau itu.  Setidaknya,  ada beberapa pulau terpapar, seperti Pulau Sinyaru, Pasir Gadang, Bentarong, Pagang, Pamutusan, Sironjong, Sirandah, Pasumpahan, Teluk Bungus, Ujung Batu,  Teluk Bungus, Teluk Buo, PLTU Teluk Sirih, Pulau Pisang Besar,  Pulau Pisang Kecil, perairan sekitar Pantai Air Manis.

Berdasarkan pantauan Mongabay, Sinyaru dan Kasiak, paling banyak terpapar. Saat memasuki pulau, bongkahan ini menyerupai terumbu karang berbentuk bulat berwarna kuning dan berongga namun setelah diinjak tekstur lengket dan licin seperti mentega.

Bongkahan minyak ini menyebar mengelilingi pasir di pulau itu, ada berbentuk gumpalan-gumpalan besar adapula yang kecil. Di sisi perairan pulau dangkal,  bongkahan ini terlihat mengikat pasir sampai tenggelam.

Di Sinyaru, ditemukan   oil boom di pantai. Ia melilit di antara lapisan minyak, kemungkinan hanyut terbawa arus dari sekitar Perairan Teluk Bayur.

Di hari sama Rombongan Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga tinjauan ke lokasi minyak tumpah dan ke pulau-pulau terdekat. Dalam kunjungann itu, tim menemukan minyak mengendap di dalam pasir di pulau sekitar.

Kepada wartawan, Rasio Ridho Sani Dirjen Penegakan Hukum LHK, mengatakan, apabila WIM tak mampu membersihkan selama tujuh hari pasca kejadian, KLHK akan memberikan sanksi tegas, bahkan pencabutan izin usaha.

Air laut, katanya,  sudah tercemar dan memiliki kandungan lemak cukup tinggi. Ekosistem laut di Pelabuhan Teluk Bayur dan sekitar berada dalam bahaya.

”Sampel air Pulau Pasirgadang, Pulau Sinyaru dan Pelabuhan Teluk Bayur telah kita ambil untuk diuji di Jakarta. Kemungkinan apakah minyak sawit hanyut hingga ke perairan laut bagian selatan, seperti Bungus dan pesisir selatan juga sedang kita kaji,” katanya.

 

Tumpahan minyak sawit di Perairan Teluk Bayur. Foto: Istimewa

Dia mengatakan, sengaja datang ke Padang untuk memastikan apakah perusahaan mematuhi sanksi Pemerintah Padang. Apabila tak mampu menyelesaikan pembersihan, KLHK juga akan memberikan sanksi tegas terkait pencemaran lingkungan.

“Kita punya kewenangan berdasarkan UU Lingkungan Hidup. Kita bisa juga memberikan sanksi administrasi berupa pencabutan izin, sanksi pidana ataupun perdata. Saat ini,  kita masih mengumpulkan data, mempelajari dan terus bekerja hingga beberapa hari ke depan. Yang jelas sanksi dipastikan setimpal dengan kerusakan yang terjadi.”

Siti Aisyah PLT. Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat mengatakan,  upaya tanggap darurat berkoordinasi dengan instansi terkait sudah dilakukan, juga sudah isolasi agar tumpahan minyak tak menyebar ke sungai.

“Gakum sudah turun, kita serahkan ke Gakum, dari provinsi sendiri, perusahaan ada komitmen tujuh hari itu melakukan upaya. Ya kita liat setelah tujuh hari, ada tidak dampak ikutan, air diambil diuji.”

Berdasarkan UU Lingkungan Hidup, perusahaan yang mencemari lingkungan bertanggung jawab tanggap darurat dan pemulihan lingkungan tercemar.

“Apabila perusahaan punya alat, kita menetapkan waktu mininal tanggap darurat. Kalau mereka tak punya alat, dapat dilakukan BPBD atas biaya perusahaan itu. Bisa juga kita fasilitasi peminjaman peralatan dan tenaga dari Pertamina,” katanya.

Setelah penanganan darurat, kata Siti, DLH akan menghitung seberapa besar kerugian harus ditanggung perusahaan pencemar. ”Kami akan menghitung kerugian negara dan biaya pemulihan lingkungan akibat pencemaran itu.”

AL Amin, Kepala DLH Kota Padang menyebutkan, Pemko Padang sudah memberikan peringatan tertulis kepada perusahaan agar mengembalikan keadaan laut seperti semula.

“Meskipun ini insiden, kami tetap mengeluarkan surat peringatan paksaan pemerintah kepada perusahaan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Biasa diberi waktu satu minggu, tapi mereka sudah bergerak cepat,” katanya.

 

Minyak sawit mentah tumpah karena tangki bocor. Foto: Istimewa

 

DLH, katanya,  akan mengaji ulang dan menganalisis permasalahan agar tak terulang. ”Selama ini,  kami terus monitoring. Tak dipungkiri ada perusahaan tak jujur. Dari pengakuan dan pengecekan ke lapangan bagus, ternyata insiden tetap terjadi,” katanya seraya bilang kalau ada kelalaian perusahan akan bekukan dan cabut izin tanpa surat peringatan.

Terpisah, Direktur Eksekutif Walhi Sumbar Uslaini mendesak pemerintah melalui DLH mengecek kembali izin perusahaan. ”Perlu pengecekan kembali fasilitas dan kelengkapan dokumen perusahaan CPO itu, hingga tak terjadi kejadian sama di Perairan Teluk Bayur,” katanya.

Kini, katanya, mendesak segera pembersihan kembali tumpahan minyak agar pencemaran tak meluas ke laut lepas. ”Dampaknya sangat membahayakan lingkungan, biota laut, masyarakat. Tumbuhan pesisir juga akan merasakan dampak kebocoran CPO itu.”

Kasus ini, katanya, pembelajaran kepada perusahan lain di Teluk Bayur agar lebih memperhatikan fasilitas yang dimiliki dan dampak pencemaran terhadap lingkungan. ”Kaji kembali fasilitas dan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan-red) perusahaan-perusahaan yang ada di sana. Jika ditemukan kesalahan, pertimbangkan kembali izin hingga tak terulang,” katanya.

Indang Dewata Ketua Pusat Sutdi Lingkungan Universitas Negeri Padang, mengatakan,  setiap material yang lepas ke lingkungan oleh pabrik itu pasti akan mencemari.

“Jadi kita tak ada kata tolerir itu kecelakaan, karena kalau kecelakaan itu sesuatu yang terjadi tidak terduga. Perusahaan sudah menduga kalau ini bakal terjadi.”

Langkah pertama mesti dilakukan perusahaan, katanya, penanggulangan dengan memasang oil trap agar minyak terkurung. “Karena pasti akan melebar dengan kecepatan ombak tinggi, angin akan mempengaruhi penyebaran kemana-mana. Harus dikurung setelah itu baru disedot,” katanya.

Pencemaran sudah terjadi, apapun alasannya, kata Indang, perusahaan mesti menerima hukuman terlebih UU Lingkungan Hidup sudah mengaturnya.

Yeti Darmayanti peneliti oseanografi kimia di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI mengatakan,  studi dampak keberadaan PFAD di laut hampir tak ada. Yang pasti, kekurangan oksigen dan cahaya matahari karena terbentuk oil film di permukaan air.

Di Hong Kong, 2012, terjadi tumpahan 9.000 ton CPO menyebabkan kematian ikan yang akhirnya terdampar ke pantai. “Tantangan buat kita untuk mempelajari, karena kita dan Malaysia produsen utama minyak sawit.”

Terkait CPO, katanya, secara umum bukan termasuk limbah B3 karen tersusun dari senyawa mudah terdegradasi.

“Namun, kalau jumlah banyak seperti tumpahan yang sekarang, kalau tak ditangani dengan benar tetap akan menimbulkan dampak.”

Studi di laboratorium tentang toksisitas oleh salah satu mahasiswa IPB, menunjukkan, jika larva udang terekspos terus menerus dengan minyak CPO pada konsentrasi 8 gram/l, dalam 12 jam saja akan menimbulkan kematian 37%. Jika ditambah waktu terpapar, dalam 24 jam , kematian naik jadi 84 %.  Jika dua hari, semua larva udang mati.

Kalau konsentrasi CPO lebih tinggi, kematian masif  akan datang makin cepat. Pada konsentrasi 400 gr/l di air laut dapat menimbulkan 100% kematian larva udang pada pemaparan jam ke-12.

“Karena lapisan minyak akan mengganggu fungsi insang melalui penempelan pada epitel insang. Kalau mencemari sudah pasti mencemari. Itu bukan dari lingkungan air, juga mengubah warna. Kalau apakah itu mengganggu organism, harus dicek dulu lingkungan airnya.”

 

Pasca Pasca tumpahnya minyak sawit jenis PFAD, pemerintah memberikan tenggat waktu selama tujuh hari. Upaya pembersihan terus dilakukan. Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Tak serius

Andi Muttaqien, Deputi Direktur Advokasi, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), mengatakan, tumpahan CPO itu memperlihatkan perusahaan tak sungguh-sungguh mengelola dampak lingkungan terkait sumber daya air dan tanah.

WIM, katanya, merupakan perusahaan pengolah minyak sawit anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sejak 2010. Dalam misinya, WIM mendeklarasikan sebagai perusahaan terus berinovasi dalam produk konsumen melebihi harapan pelanggan.

Tercantum pada aturan keanggotaan RSPO secara umum dalam prinsip-4 atau khusus kriteria 4.4: bahwa setiap kegiatan perusahaan haruslah dimonitoring berkala untuk memelihara kualitas dan ketersediaan air tanah dan air permukaan.

Tumpahnya CPO ini,  membuktikan tak ada kontrol ketat dari perusahaan dalam menjaga setiap operasi tak mencemari lingkungan sekitar.

Kejadian ini, katanya, juga melanggar Prinsip-5 RSPO terkait tanggung jawab lingkungan dan konservasi sumber daya dan keragamanhayati.

“Kami mengecam kelalaian Wira Inno Mas yang mengakibatkan CPO tumpah dan berpotensi mencemari perairan Teluk Bayur yang melanggar hak masyarakat dan merusak lingkungan,” ucap Andi.

Dia mendesak, WIM melakukan pemulihan seluruh ekosistem dan korban terdampak dari pencemaran ini. “Sebagai anggota RSPO, perlu memperhatikan dan menaati Prinsip dan Kriteria RSPO untuk memastikan kejadian serupa tak terulang kembali,” katanya seraya bilang RSPO harus meminta WIM pemulihan, sekaligus memantau proses pemulihan.

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), mengatakan, pemerintah harus segera memberikan sanki tegas kepada perusahaan pencemar.

“Kami mendesak pemerintah daerah sesuai kewenangan segera  memberikan sanksi. Mereka lalai dan tak serius memperhatikan tanggung jawab lingkungan,” katanya.

Pencemaran minyak sawit ke laut, katanya,  akan berdampak buruk bagi flora dan fauna di pesisir, baik ikan, rumput laut, karang, burung pemakan ikan, dan seluruh rantai makanan yang terhubung.

Dalam jangka lama, cemaran minyak sawit akan menghancurkan ekosistem Pesisir Teluk Bayur dan bakal paling terdampak masyarakat terutama nelayan.

Cemaran minyak sawit mentah juga menganggu nelayan tradisional di Kecamatan Padang Selatan yang menggantungkan hidup pada melaut.

Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat,  setidaknya ada 1.000 nelayan tradisional di sana. “Cemaran minyak sawit mentah ini jelas-jelas menggangu kehidupan mereka.”

Dia bilang, perusahaan melanggar dua perundangan sekaligus, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

Pemerintah daerah, katanya, harus segera mengevaluasi izin WIM. Perusahaan yang berdiri sejak Mei 2008 ini,  juga wajib memulihkan lingkungan Pesisir Teluk Bayur sampai normal.  Sekaligus memberikan ganti rugi bagi nelayan yang terganggu.

 

Sekitar 50 ton minyak minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) jenis palm fatty acid distillate (PFAD) tumpah, Kamis (28/9/17). Foto: Vinolia/ Mogabay Indonesia
Pasca Pasca tumpahnya minyak sawit jenis PFAD, pemerintah memberikan tenggat waktu selama tujuh hari. Upaya pembersihan terus dilakukan. Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,