Perubahan Iklim Harus Dihadapi Dengan Aksi Nyata Bersama, Mengapa?

 

 

Satuan Tugas Gubernur untuk Hutan dan Iklim (Governors’ Climate and Forests Task Force atau GCF), kembali menggelar acara tahunan sebagai aksi nyata penyelamatan bumi. Pertemuan yang berlangsung di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada 25-29 September 2017, itu dihadiri gubernur dari 35 provinsi dan negara bagian di seluruh dunia.

Project Lead GCF Task Force (Satuan Tugas Gubernur untuk Hutan dan Iklim), William Boyd mengatakan, adalah tidak gampang mengimplementasikan agenda perubahan iklim menjadi aksi nyata. Namun, hal itu merupakan tantangan besar yang akan menghasilkan konversi bermakna dari berbagai inisiatif dan proses yang dilakukan. “Aksi ini berpeluang menyelesaikan persoalan-persoalan inisiatif tata kelola iklim dari bawah,” tuturnya.

Boyd melanjutkan, dengan daya dukung pendanaan memadai, seharusnya deklarasi hijau semua provinsi akan terjalin. Namun, saat ini belum ada provinsi yang mendapat dukungan dana dari negara-negara maju. Sehingga deklarasi diprediksi masih sulit, sebab upaya menekan deforestasi harus berjangka panjang dan membutuhkan pendanaan yang besar.

“Belum ada satu pun anggota GCF yang menerima dukungan pendanaan dari negara-negara penyandang dana, sehingga berpengaruh untuk mencapai komitmen hijau. Kerja sama subnasional maupun dengan anggota negara bagian serta diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan harus dipikirkan.”

Boyd juga mengumumkan, pada pertemuan ini, ada tiga anggota GCF baru yaitu Roraima (Brazil), Oaxaca (Mexico), dan Pastaza (Ecuador). Dengan bergabungnya tiga provinsi tersebut, jumlah anggota GCF menjadi 38 provinsi, termasuk 7 provinsi di Indonesia.

Tahun depan, sudah ditetapkan Ketua GCF yaitu Negara Bagian California (Amerika Serikat), bersama dengan tiga negara bagian di Mexico – Campeche, Quintana Roo, dan Yucatan. Pertemuan tahunan September 2018 yang bertepatan dengan 10 tahun GCF Task Force, akan diselenggarakan di California, Amerika Serikat tempat kelahiran GCF Task Force.

 

Hutan adalah pelindung kehidupan umat manusia saat ini dan masa mendatang yang harus dijaga. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Untuk Indonesia, tujuh gubernur menjadi anggota satuan tugas tersebut. Mereka adalah Gubernur Aceh, Kalimantan Tengah (Kalteng), Kalimantan Timur (Kaltim), Kalimantan Barat (Kalbar), Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Utara (Kaltara).

Sebagai tuan rumah, tindakan nyata Kaltim untuk mengurangi emisi gas rumah kaca adalah dengan meluncurkan program ‘Kaltim Green’ di 2010. “Kaltim sudah menjadi Provinsi Hijau, sudah ada moratorium. Tidak ada lagi perizinan baru dalam perkebunan kecuali untuk hutan tanaman industri dan ini diakui secara internasional. Peran GCF untuk meningkatkan komitmen pada subnasional hingga global sangat dibutuhkan sehingga harus ada koordinasi yang berkelanjutan,” jelas Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak.

Sebelumnya, pada 14 November 2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya dan Awang Faroek, telah mengumumkan kesepakatan pembangunan hijau (Green Growth Compact) di tingkat nasional di Jakarta, dan tingkat internasional di Maroko.

Komitmen pembangunan hijau tersebut, diperkuat dengan penandatanganan Kesepakatan Pembangunan Hijau yang menjadi rangkaian acara Governors‘ Climate and Forests Task Force di Balikpapan, Kamis (27/9/17). Penandatanganan itu diikuti oleh sejumlah pemangku kepentingan di Kaltim seperti pemerintahan kabupaten, perwakilan swasta, asosiasi, perwakilan masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat.

 

Ekosistem memiliki peran penting dalam hal menghadapi perubahan iklim. Semakin tinggi kekayaan hayati yang terkandung dalam suatu ekosistem maka ketahanan untuk menghadapi perubahan iklim dalam hal mitigasi ataupun adaptasi akan semakin kuat. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Jaga hutan

Mewakili Indonesia, Bupati Pidei, Aceh, Roni Ahmad mengajak semua masyarakat Indonesia untuk menjaga lingkungan dan hutan. Sebab, keduanya adalah sesuatu yang vital dan berpengaruh besar pada kehidupan manusia. “Secara pribadi, saya melihat hutan bagaikan orangtua, hutan memberi udara dan air. Di masa depan, hutan adalah pelindung manusia. Saya secara pribadi tergerak menjaganya, saya ingin mengajak semua orang menjaga hutan dan lingkungan, yang diberi Tuhan,” katanya.

Sementara itu, Pemerintah Negara Bagian Pará, Brazil, menjelaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat di Para dalam menekan deforestasi. Hal ini akan melahirkan komitmen dan aksi nyata yang berkesinambungan untuk menekan laju perubahan iklim. Pihaknya bahkan mengklaim, telah menekan tingkat deforestasi hingga 70% sejak 2006, dari komitmen yang dibangun bersama. “Kerja sama multi-pihak ini sangat penting, dan memberikan sebuah pelajaran berharga. Keberhasilan akan mudah dicapai, jika semua elemen mempunyai komitmen dan tujuan yang sama,” ujarnya.

Menejer Otoritas Lingkungan Regional di San Martin (Peru), Neisser Bartra mengatakan, pihaknya yang berkolaborasi dengan swasta membentuk 44 lembaga untuk mendukung pembangunan rendah emisi di pedesaan (Low Emission Rural Development, LER-D). “Kolaborasi ini mendukung pembangunan hingga ke pedasaan,” sebutnya.

 

Perubahan iklim, permasalahan lingkungan meresahkan yang dihadapi masyarakat dunia saat ini. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Balikpapan Statement

Balikpapan Statement merupakan poin akhir dari pertemuan akbar Governors’ Climate and Forests Task Force (GCF) Annual Meeting 2017. Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak mengatakan, pernyataan bersama ini berisi tiga catatan penting, yaitu :

  1. Menghasilkan komoditas pertanian berkelanjutan melalui kerja sama dengan konsumen untuk mengurangi deforestasi. Kerja sama dengan sektor swasta, organisasi masyarakat adat, dan komunitas lokal agar deforestasi dan degradasi dapat dicegah lebih diperkuat
  2. Kesepakatan melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan. Indonesia memiliki Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) yang mengatur terkait hutan desa dan hutan adat. Kesepakatan ini dinilai mampu membentuk kekuatan regulasi nasional.
  3. Mengidentifikasi mekanisme pendanaan untuk memberikan insentif bagi para anggota GCF yang berhasil menjalankan program ekonomi hijau menuju pembangunan rendah emisi.

Menurut Awang, konferensi menghasilkan kesepahaman yang berbuah aksi nyata menekan laju perubahan iklim. “Dari semua komentar dan tanggapan gubernur beserta pihak lainnya, dapat dipastikan kerja sama akan terjalin baik dan berkelanjutan.”

 

Level karbon dioksida yang terlihat meningkat. Sumber: National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA)/Climate.gov

 

Kaltim bertekad menjadi Provinsi Hijau demi menjaga kelestarian hutan dan lingkungan. Terlebih lagi, Kaltim merupakan provinsi kaya sumber daya alam, dengan keragaman hayatinya. Setelah konferensi ini, menurut Awang, instruksi kepada bupati dan walikota se-Kaltim dan semua terkait untuk melaksanakan poin-poin Balikpapan Statement akan dilakukan.

“Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar sudah menghubungi langsung, dan akan mengawal keputusan GCF. Artinya, Balikpapan Statement akan menjadi dasar kebijakan pemerintah pusat terkait deforestasi dan degradasi hutan serta pengendalian perubahan iklim,” jelasnya.

Awang mengatakan, keberhasilan menekan deforestasi merupakan upaya langsung dari kebijakan Presiden Joko Widodo. Sehingga, komitmen yang tinggi terhadap kehutanan, tidak perlu diragukan lagi.

“Kebijakan yang sekarang dinikmati adalah kebijakan dari presiden yang pro lingkungan dan memahami ancaman bahaya pemanasan global. Konferensi ini, bukan hanya komitmen di atas kertas, tapi bagaimana setiap anggota GCF bisa menikmati hasil ini dalam bentuk nyata di wilayahnya masing-masing,” tegasnya.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,