Terungkap Permasalahan Perdagangan Ikan Hias dan Karang di Bali. Apa itu?

 

Sejumlah pengelola usaha pemanfaatan koral dan ikan hias berdiskusi dengan stakeholder pemerintah terkait untuk memastikan keberlanjutan dari pengambilan alam maupun transplantasinya.

Diskusi ini memberikan ruang masing-masing pihak menyampaikan masalah dan tantangan yang dihadapi dari usaha pemanfaatan ini. Focus Group Discussion (FGD) yang dihelat Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar pada 25 September lalu ini menghasilkan sejumlah rumusan komitmen.

Disepakati, konservasi bertujuan untuk melindungi jenis ikan, mempertahankan keanekaragaman jenisnya, memelihara keseimbangan, kemantapan ekosistemnya serta memanfaatkan sumberdaya secara berkelanjutan. Kedua, pemerintah dan stakeholder berkomitmen menekan perdagangan ilegal karang hias sehingga perlu dikelola dengan menerapkan prinsip kehatihatian yang mendukung aspek ketelusuran (traceability), peraturan/perizinan (legality) dan keberlanjutan (sustainability).

(baca : Kenapa Penyelundupan Koral di Bali Marak Terjadi?)

Ketiga, para pelaku usaha pemanfaat karang berkomitmen dalam rehabilitasi/restoking karang di alam sebanyak 10% dari stok kepemilikan karangnya. Keempat, BPSPL Denpasar mengkoordinasikan penentuan lokasi untuk pelaksanaan restoking di alam bekerjasama dengan Asosiasi Koral, Kerang dan Ikan Hias Indonesia (AKKII).

Kelima, monitoring dan pengawasan bersama secara periodik akan dilakukan oleh instansi yang membidangi yaitu Kepolisian Perairan, Pangkalan PSDKP Benoa, dan BKSDA Bali. Keenam, para pelaku usaha karang hias menyepakati penggunaan sarana transportasi yang legal dari perusahaan yang bersangkutan, pengemudi dan kendaraan terdaftar dalam dokumen perjalanan.

Ketujuh, para pelaku usaha sepakat untuk tidak bekerjasama dengan pelaku usaha yang tidak memiliki ijin pemanfaatan karang hias. Termasuk bekerjasama untuk melaporkan apabila terdapat indikasi pemanfaatan illegal karang hias kepada BKSDA Bali. Terakhir, diperlukan bimbingan teknis tentang pengenalan jenis-jenis karang kepada stakeholder yang berkaitan dengan pemanfaatan karang hias oleh LIPI dan didukung oleh AKKI.

(baca : Penyelundupan 1300-an Koral Digagalkan di Lombok)

 

Sebelum dilepasliarkan, koral-koral hasil selundupan ini dipilah mana yang masih hidup. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dr. Ir. Woro Nur Endang Sariati dari Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu (BKIPM) dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Denpasar memaparkan selama 2016 ada 8 kejadian penyelundupan koral hias dengan barang bukti sebanyak 3843 pcs. Kasus dengan jumlah terbanyak yakni pengiriman tanpa dilengkapi dokumen tujuan Denpasar dari Makassar sebanyak 880 pcs dan tujuan Banyuwangi dari Sumbawa sebanyak 800 pcs. Sementara pada 2017 sampai Juli sudah ada 9 kejadian dengan barang bukti 1.844 pcs. “Kami fokus pada penyakit bukan jenis karangnya,” jelas Woro.

Sementara itu perwakilan BKIPM Mataram menyebut pada tahun ini sampai September sudah 10 kali penggagalan koral. Denpasar jadi tujuan untuk ekspor melalui 3 pintu pelabuhan dan penyeberangan laut. Biasanya barang bukti dilepasliarkan di Sekotong. Kasus lain yang menonjol adalah penyelundupan benih lobster yang dilarang yakni 26 kasus tahun lalu dan semua sudah masuk pengadilan. Tahun ini ada 7 kasus dengan ancaman hukuman 2-3 tahun. Hiu juga banyak pengiriman ilegal tapi jenis tak dilindungi.

Persyaratan Sertifikat Kesehatan Ikan untuk ekspor adalah terpenuhinya sejumlah syarat. Yakni dilaporkan kepada petugas di pintu pengeluaran, packing list /invoice, dokumen pendukung lainnya. Kemudian pemeriksaan terhadap media pembawa berupa dokumen, jenis/jumlah dan ukurandan pemeriksaan visual dan atau pemeriksaan laboratorium.

Dokumen pendukung lainnya misalnya CITES (untuk komoditi bersyarat), Model /Annex (untuk negara bersyarat), Sertifikat Cara Karantina Ikan yang Baik/CKIB (untuk negara bersyarat). Dokumen lain seperti Lembar Hasil Pengujian Laboratorium, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Izin Usaha Perikanan (IUP), Nomor Izin Kepabeanan (NIK), NPWP, dan KTP atau tanda pengenal lainnya.

(baca : Sudah Tahu Permasalahan yang Hambat Perkembangan Ikan Hias di Indonesia?)

 

Pelepasliaran 750 potong koral selundupan di Sumbawa Besar oleh pihak terkait. Foto : Rosihan Anwar/BKIPM II Mataram/Mongabay Indonesia

 

Indra Wijaya dari AKKII menjelaskan karang hias yang diambil dari alam berdasarkan kuota yang ditetapkan oleh Management Authority (MA) atas rekomendasi dari Scientific Authority (SA). Karang hias dimanfaatkan sebagai biota akuarium laut untuk tujuan ekspor melalui mekanisme pemanfaatan dari nelayan pengambil dan pengumpul (supplier).

Sementara karang hias hasil transplantasi adalah hasil propagasi dan atau pemecahan jenis karang tertentu yang diekspor berdasarkan rencana produksi yang ditetapkan oleh Management Authority dengan riwayat indukan dan anakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pelaku pemanfaat diantaranya nelayan, yang mengambil karang hias atau ikan hias laut berdasarkan kuota atas izin yang diberikan oleh pemerintah.

Ada pengumpul yakni badan usaha yang mendapatkan izin dari pemerintah setempat untuk mengumpulkan hasil pengambilan dari nelayan (khusus karang hias). Izin kumpul diberikan kepada yang telah memiliki Izin Edar dalam negeri.

Berikutnya propagator/transplator adalah badan usaha yang telah memiliki izin untuk melakukan transplantasi karang hias. Biasanya dilakukan oleh eksportir atau pelaku usaha yang bermitra dengan eksportir.

(baca : Pemerintah Fokus Kembangkan Ikan Hias, Namun Pelaku Usaha Keluhkan Regulasi. Ada Apa?)

AKKI yang beranggotakan sekitar 55 pelaku usaha di Indonesia, memiliki izin penangkapan alam 48 dan 7 murni transplantasi. Dominan berlokasi di Bali, Jawa Barat, dan Banyuwangi karena penerbangan lengkap ada di bandara Bali dan Soekarno Hatta.

Menurut Indra, tantangan pelaku usaha Indonesia adalah bersaing kualitas dengan kompetitornya seperti Australia, negara-negara Pasifik seperti Palau, Vanuatu, Fiji. Selain itu, kurangnya pengetahuan identifikasi terutama petugas lapangan, menyebabkan penyelundupan marak, dan perlu sinergi pusat dan daerah agar usaha pasti. Regulasi disebutnya masih tumpang tindih kewenangan.

Budi Prasetyo perwakilan Polair Polda Bali membagi pengalamannya terkait modus penyelundupan koral hias ini. Pihaknya melakukan beberapa kali pengawasan pengiriman koral, ikan hias, dan satwa dilindungi. Ia menyebut beberapa kali melakukan pengawasan secara random. “Sering ditemui penyelundupan, modus sederhana lewat bus tanpa dokumen hanya bayar beberapa ke supir, tinggal masukkan boks ke bus,” katanya. Ia meminta bus buka bagasi, lalu turunkan barang. Supir mengaku tidak tahu, hanya titipan. Pesannya turunkan di tempat tertentu. Ia ingin memastikan kuota pengambilan alam koral hias ini.

 

Salah satu soft coral dari sekitar 1350 koral selundupan dalam 27 boks yang berhasil digagalkan petugas dari Dirpolair Polda NTB dan BKIPM KKP Kelas II Mataram pada Senin (23/01/2017) di wilayah Lombok, NTB. Foto : BPSPL Denpasar Wilker NTB/Mongabay Indonesia

 

Ketut Sukadi, salah satu pelaku usaha pemanfaatan di Banyuwangi menyebut aturan bagus tapi memang ada supir ambil titipan sehingga rentan penyelundupan. “Supir jangan mau,” ujarnya.

Fredi, pengusaha lain menyebut pengambilan dari alam sedikit karena banyak transplantasi. Kalau dari alam paling banyak diambil 3000 pcs setahun dan belum dimanfaatkan, dan akan kirim semua akhir tahun. Transplantasi tak banyak kendala. “Kalau pengiriman selalu dilampiri surat, kadang form habis gimana? Sudah boking, kiriman kan harus jalan?” tanyanya terkait form di salah satu lembaga terkait.

Salah satu siasatnya BKSDA buat Berita Acara Pemeriksaaan sebagai surat jalan. Namun, usahanya yang berlokasi di Banyuwangi kadang merepotkan karena proses administrasi harus ke Jember lalu Surabaya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,