Cerita Piton Raksasa di Kebun Sawit sampai Terkaman Beruang di Riau

 

Robert Nababan (37) adalah warga Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Dia berhasil selamat setelah bertarung dengan ular sanca atau piton pada dua pekan lalu. Sanca mati. Dipotong-potong dan dimakan warga. Robert, nyaris kehabisan darah. Dua hari berikutnya Bunui (55) Warga Kabupaten Kampar, Riau, meninggal dunia,  diserang beruang.

Robert alami robek besar tangan kiri akibat gigitan piton. Diapun dilarikan ke RSUD Indrasari, Pematang Reba, sejauh 65 kilometer. Keluarga dekat Robert, Risdawaty Nababan selalu mengupdate peristiwa ini dalam akun Facebok miliknya.

Dia posting beberapa foto piton batik (Malayopython reticulatus) yang telah mati. Badan ular itu digantung di antara dua pohon. Juga ada foto anak-anak yang duduk seperti sedang bermain ayunan di atas badan piton. Foto ini kemudian viral di sosial media terutama Facebook. Bahkan satu postingan ada yang dibagikan netizen hingga ribuan kali.

Beberapa hari setelah viralitas itu, di sebuah postingan, Risdawaty emosi. Dia seperti jengah dengan komentar netizen yang menyalahkan Robert dan warga yang telah membunuh dan memakan reptil raksasa ini. Risdawaty merasa tersudut jika disebut mereka harus bertanggungjawab atas kematian predator besar itu.

Komentar Poltak Panjaitan misalkan. “Jangan marah ito, kalau petugas melihat ini Ito diminta pertanggungjawaban, karena itu binatang buas yang dilindungi. Mengapa dia datang ke tempat kerja, karena habitatnya telah dirusak oleh manusia dan sumber makannya pun tidak mencukupi lagi, jadi karena lapar dia bisa makan manusia juga.”

Namun Risdawaty yang masih bersedih karena Robert dalam kondisi terluka balik bertanya seperti yang dia tulis: “Kalau sudah kamu yang ditelan, berani gak komen, ularnya dibiarin hidup. Suka gak suka kalau gak tau ceritanya diam saja. Tak usah komen yang bukan-bukan.”

Kalau melihat dari ukuran ular tujuh meter, satu manusia bisa dilahap. Kejadian di Mamuju, Sulawesi Barat pada Maret lalu, misal. Bapak dua orang anak ditemukan utuh di dalam ular piton bunga (Python reticulatus). Bahkan lengkap dengan sepatu boot yang terlihat jelas menonjol di bawah kulit ular. Panjang ular ini mencapai tujuh meter. Sama dengan ukuran piton yang dikalahkan Robert.

Mungkin inilah yang ditakutkan Risdawaty dan warga Batang Gansal. Jika saja tidak ada kejadian itu, entah apa dan siapa yang akan disantap si piton.

Amir Hamidy dari Pusat Penelitian Biologi LIPI mengatakan, ukuran piton batik dengan panjang tujuh meter itu dinilai ektra ordinari atau tak seperti umumnya meskipun bukan yang terbesar.

Dari 20an kelompok piton, Indonesia sendiri memiliki jenis piton paling banyak dari negara manapun. Namun cuma tiga dilindungi dalam hukum Indonesia. Tiga piton itu yakni sanca timor (Python timorensis), sanca bodo (Python molurus) dan sanca hijau (Chondropython viridis). Piton di Batang Gansal bukanlah hewan dilindungi.

“Secara CITES, piton ini masuk di Appendix II. Artinya pemanfaatan hewan ini masih bisa diperbolehkan dari alam, jadi negara mengatur berapa bisa dipanen. Begitu juga ketika diekspor dan negara pengimpor juga ada ketentuannya,” kata Amir.

CITES adalah konvensi perdagangan internasional untuk spesies flora dan fauna yang terancam. Karena itu, negara tidak bisa menyalahkan pemanfaatan di tingkat lokal. Negara juga harus menghormati kebudayaan atau keyakinan masyarakat yang selama ini memanfaatkannya. “Negara gak bisa melarang etnis tertentu karena konteksnya bushmeat.”

Lalu bagaimana dengan perubahan hutan habitat piton yang kini menjadi kebun monokultur. Apakah hutan jadi kebun telah membuat spesies ini terancam lalu balik menyerang?

Batang Gansal satu dekade lalu memang dipenuhi hutan-hutan alam. Kini,  hutan itu berganti jadi perkebunan sawit. Usia pohon ada telah mencapai 12 tahun. Meski demikian populasi ular sawah-sebutan warga lokal ternyata masih banyak.

“Dulu hutan rawa gambut. Perkebunan sawit semua keliling. Ularnya masih banyak di kanal-kanal,” katanya kepada Mongabay.

 

Piton yang menyerang Robert dan akhirnya dibunuh. Foto: Piton yang menyerang Robert Nababan. Foto: dari Facebook Risdawaty Nababan

 

Annisa Rahmawati, Pengkampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan, pembukaan hutan untuk perkebunan dan pembangunan jalan telah membuat hutan menjadi kawasan terbuka. Pertemuan antara manusia dengan satwa liar makin sering.

“Hutan makin terbuka. Habitat mereka jadi berkotak-kotak. Padahal mereka secara alamiah akan mengikuti jelajah yang sama. Jadi walau dipotong-potong jalan dan perkebunan, mau gak mau tetap melewati jalur itu,” katanya.

Meski demikian,  menurut Amir Hamidy,  perubahan habitat sejauh ini tak mengganggu populasi dan keberlanjutan piton. Karena itu, perubahan hutan rindang yang basah njadi hamparan gambut gersang dan kering di tahun-tahun pertama pembangunan kebun sawit tak membuatnya terusir.

Dalam rantai makan, ia tetap berada di posisi paling atas, predator. Apalagi di kebun sawit banyak tikus jadi mangsa piton. Piton bisa tumbuh sehat dan tubuh terus memanjang.

Amir sendiri pernah menyaksikan orang baru menangkap piton sepanjang dua meter saat menikmati makanan ringan di Kota Bogor. Padahal,  Bogor adalah kota padat penduduk. Selama mangsa ada, piton bisa hidup sehat.

“Dalam 10 tahun terakhir tak ada perubahan dalam reproduksinya. Reproduksi inilah yang jadi indikator perubahan. Hewan ini cukup adaptable pada semua kondisi habitat. Piton masih bisa survive ketika mendapat mangsa. Apapun itu,” ucap Amir.

 

Tewas diterkam beruang

Konflik yang berujung maut antara manusia dan binatang buas di Riau,  terus terjadi. Hanya berselang dua hari dari kejadian di Batang Gansal, awal pekan pertama Oktober ini, beruang madu diduga menyerang sepasang suami istri di Desa Teluk Paman, Kabupaten Kampar, Riau. Sang Istri, Bunui meninggal. Sedangkan Saruli, suami kini cidera berat dan hingga Jumat kemarin dirawat di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.

Bunui dan Saruli pada pagi naas itu sedang menakik karet di kebun orang. Tiba-tiba Bunui diterkam hewan yang dilindungi itu. Saruli segera menolong. Mereka bertarung. Suara minta pertolongan menggema di kebun karet tua itu. Beruang berlalu meninggalkan pasutri yang terkapar.

Mukhlis (40) Sekretaris Desa Teluk Paman mengatakan, selama ini warga sering berjumpa beruang. Bahkan enam tahun lalu pernah konflik di tempat sama, beruang mencakar kaki seorang warga.

Gak seperti ini ada korban. Hutan bisa dibilang gak ada lagi. Di dekat kebun karet itu, di samping-sampingnya (kebun tua) sudah pada ditebang untuk jadi sawit,” katanya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,