Kala Perajin Tenun Tarutung Terdesak Kain Pabrikan

 

Pagi nan sejuk menyelimuti Desa Hasahatan, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara. Kokok ayam jantan saling bersahutan, disambut gonggongan anjing sambil berlari mengejar satu sama lain.

Anak-anak Desa Hasatan tampak bersiap pergi ke sekolah. Sebagian pakai sepeda motor diantar orangtuanya, ada mengendarai sendiri.

Para orang tua sudah membawa cangkul lalu dengan berjalan kaki bersama warga desa lain. Berjalan sekitar 20 menit, usai menenguk kopi, para pria mulai mengerjakan kebun kopi dan coklat. Ada juga menderes getah karet.

Warga desa ini sedang bersengketa dengan perusahaan yang memegang proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di hutan Batang Toru.

Warga menolak menjual lahan. Walau sedang dalam situasi ini, kegiatan warga tetap berjalan seperti biasa.

Adalah Duma Sari, perempuan Desa Hasahatan, tinggal bersama ibunya, sejak empat tahun terakhir sudah menenun sarung, dan selendang ulos motif khas Batak. Tenun ini diberi nama kain tarutung, salah satu yang dicari masyarakat termasuk para kolektor.

Duma bisa menenun dari sang ibu dan neneknya. Menenun dilakukan keluarga mereka turun menurun.

Di dalam ruangan tamu rumahnya, Duma menghabiskan hari menyatukan benang jadi sarung atau selendang khas Batak yang mempesona.

Dalam seminggu, dia bisa menyelesaikan satu tenun tarutung. Setelah selesai, langsung membawa ke pasar untuk dijual. Terkadang ada orang datang memesan kain, sesuai permintaan atau model yang disukai pembeli.

“Biasa ada orang kota datang ke desa kami, langsung menemui saya dan pesan tenun. Harga diatas Rp1 juta aku jual,” katanya, seraya memperbaiki benang dalam alat tenunannya.

Dulu, banyak warga desa bertenun. Berjalan waktu, peninggalan leluhur ini perlahan mulai ditinggalkan. Dia bersama keluarga, berupaya tetap mempertahankan.

Opung Sibarita, sesepuh desa mengatakan, saat ini sedikit perajin ulos Batak, karena mereka kalah cepat dengan produk pabrikan, yang bisa produksi cepat dan harga sangat murah.

Bagi penenun tradisional, produksi satu kain paling cepat 10 hari. Walau relatif lama, hasil tenun, memuaskan karena pengerjaan sangat teliti.

Dia bercerita, awal 1999 hingga 2000, selain ulos tarutung, ada beberapa lagi tenun khas Batak masih produksi trandisional, biasa dikenal dengan ulos gobar, ulos raja, ulos sibolang,ulos saput, dan ulos ragi botik.

Sekarang, masuk ulos atau tenun dari Sumatera Barat dan Palembang ke Sumut, ditambah lagi ulos dan tenun pabrikan, masyarakat mulai sedikit memesan ulos perajin. Alhasil, setelah 2001, jenis-jenis ulos tradisional itu sangat sulit diperoleh.

Satu kain biasa perlu waktu seminggu baru selesai. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,