Meski Mengandung Racun, Ubi Magar Jadi Pangan Alternatif di Sikka

Beberapa waktu yang lalu, sempat merebak dan menjadi pemberitaan media di NTT saat 16 KK di Desa Natarmage, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka mengkonsumsi ubi magar, yang dikenal beracun. Magar disebut dikonsumsi warga pada saat masa puncak rawan pangan, yang biasa terjadi di bulan Juni hingga Oktober, bertepatan musim kemarau terjadi di provinsi ini.

Persoalan ini pun sampai membuat Frans Lebu Raya, Gubernur NTT mengeluarkan pernyataan dan menolak jika dikatakan ubi magar dikonsumsi sebagai indikasi krisis pangan.

Baca juga: Ubi Hutan ini Beracun Tetapi Banyak Manfaat

“Terkadang orang mendengar cerita ini lalu mulai berpikir masyarakat disana sudah kelaparan dan mau mati saja, padahal itu kearifan lokal sama seperti orang di Lembata mengkonsumsi biji tanaman bakau,” jelas Gubernur (10/10) di depan awak media.

Sebenarnya apa itu magar?

Magar atau ubi hutan (Dioscorea hispida), ubinya berbentuk bulat lonjong, mirip sirsak berwarna coklat muda, dengan bintik-bintik pada umbinya. Magar termasuk suku gadung-gadungan atau Dioscoreaceae yang biasa dikonsumsi masyarakat sebagai pengganti beras dan jagung.

Gabriel Manek, tetua etnis Tana Ai di Waiblama saat dijumpai Mongabay Indonesia membenarkan bahwa magar merupakan bahan pangan terakhir yang dikonsumi, saat kemarau panjang ataupun serangan hama tanaman terjadi.

Gabriel menyebut, panen padi ladang dan jagung setiap tahunnya selalu menurun. Contohnya di tahun 2017 dia hanya mendapat masing-masing 50 kilogram (sekarung) padi dan jagung, menurun dari sebelumnya 5 dan 3 karung di tahun sebelumnya.

Jelasnya, hasil panen tanaman pangan mulai berkurang saat masyarakat mulai beralih menanam tanaman perkebunan seperti kelapa, kakao dan mente sejak awal tahun 1980-1990-an, padahal lahan terbatas, dan sebelumnya hanya ditanami padi ladang dan jagung.

“Sejak nenek moyang, sudah kebiasaan kami makan magar disaat bencana kelaparan, atau saat cadangan pangan di lumbung menipis bahkan habis. Sambil menunggu, padi atau jagung tersedia di musim panen berikutnya,” tuturnya.

Jelas Gabriel, pada saat tidak terjadi rawan pangan, magar yang tumbuh di kebun akan dicabut dan dibuang karena akan mengganggu pertumbuhan padi dan jagung. Tanaman ini dikenal cepat tumbuh dan terkadang dianggap berkompetisi dengan tanaman pangan masyarakat itu.

Tidak saja bagi masyarakat Tana Ai, magar juga umum dikonsumsi masyarakat Kabupaten Sikka, Flores Timur, Nagekeo dan lainnya di pulau Flores bahkan wilayah lainnya di NTT.

Seperti yang ditunjukkan oleh Yosep Lisen Goban, salah satu tokoh adat Desa Natarmage, yang mengajak Mongabay Indonesia ke kebun belakang rumahnya. Dengan parang, dia menggali satu umbi berusia sekitar 4 bulan.

Bagi Yosep, magar amat mudah diperoleh karena tumbuh dengan mudah di kebun warga, semak belukar maupun kawasan hutan. Dengan demikian, ia amat berpotensi untuk dijadikan bahan makanan.

 

Seorang warga Desa Natarmage di Kabupaten Sikka sedang menggali magar di kebun belakang rumah mereka. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Pengolahannya Panjang

Romana Kaha warga Desa Natarmage, tampak sibuk mengiris ubi dengan menggunakan pisau yang disebut blewang. Dia sedang mempraktekkan cara pengolahan magar secara tradisional.

Usai diiris, magar dimasukkan ke dalam anyaman karung daun kelapa (kata). Selama minimal tiga hari berikutnya, magar diletakkan di bale-bale bambu untuk dijemur di bawah sinar matahari dan direndam di air sungai selama satu hari.

“Satu jam sekali, kata berisi magar diangkat sambil digoyang-goyang berkali-kali agar airnya tiris, lalu di balik dan direndam kembali dari sore hingga keesokan harinya. Kalau direndam di air laut cuma butuh waktu 3 jam saja,” sebut Romana.

Pengerjaan ini tidak sembarangan orang bisa. Romana menyebut saat dijemur magar tidak boleh terkena hujan, karena magar akan berubah warna menjadi hitam. Magar  akan berasa pahit dan tidak bisa lagi dikonsumsi karena mengandung racun.

Mengolah magar untuk dikonsumsi, lanjut Romana dilakukan dengan cara dibakar di dalam bambu (tu’i) atau dikukus. Setelah matang dicampur dengan parutan kelapa dan dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga termasuk anak-anak, jika ada kelebihan magar disimpan di dalam lumbung atau dapur.

Romana berkisah, mengkonsumsi magar baru dilakukan lagi oleh warga Waiblama saat bahan pangan seperti padi dan jagung mulai menipis. Dia mencoba mengingat, kebiasaan makan magar terakhir dilakukan sekitar 5-10 tahun lalu, dan sebelumnya terjadi saat era perang kemerdekaan, kekeringan tahun 1979 dan bencana gempa bumi dan tsunami tahun 1992.

Baginya, kuncinya ada di pengolahan ubi yang tepat. Dengan cara pengolahan yang benar maka ubi dapat aman dikonsumsi dan tidak akan mengakibatkan orang yang mengkonsumsinya  sakit atau meninggal dunia.

 

Magar yang sudah dimasak dan dicampur dengan parutan kelapa dan siap dikonsumsi sambil minum kopi atau teh. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Kandungan Nutrisi

Seperti disebutkan dalam artikel Mongabay sebelumnya, peneliti gizi dari Politekes Mamuju, Sulawesi Barat, Nurbaya menjelaskan nilai gizi ubi hutan sebenarnya lebih rendah dibanding beras atau singkong, tetapi kandungan serat dan kalsium tinggi. Total energi sikapa 100 Kal, karbohidrat 23,5 gr, protein 0,9 gr dan lemak 0,3 gr.

Kandungan energi memang sedikit, lebih rendah dibandingkan singkong. Namun kandungan serat jauh lebih tinggi 2,1 gr, dibandingkan singkong hanya 0,9 dan  beras 0,2. Kandungan serat tinggi inilah yang memperlambat penyerapan gula dalam darah. Sangat baik untuk penderita diabetes mellitus. Magar pun mengandung kalsium yang sangat tinggi yaitu 79 mg yang amat baik untuk kesehatan tulang dan gigi.

Dia pun meyebut, sebagai sumber diversifikasi pangan, maka magar perlu dilestarikan. Bahkan di beberapa negara, magar telah diteliti untuk kandungan obat berbagai penyakit.

“Pandangan masyarakat sebaiknya mulai diubah, sumber karbohidrat makanan pokok tidak mesti beras. Masyarakat dapat memanfaatkan pangan lokal lain yang kaya karbohidrat seperti ubi hutan,” jelas Nurbaya.

Di nusantara, tanaman ini mudah ditemukan, dengan nama lokal yang berbeda-beda. Diantaranya, siaffa (Sinjai), kolope (Bau-bau), o wikoro (Konawe Selatan), bitule (Gorontalo), gadu (Bima), iwi (Sumba), dan kapak (Sasak).

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
,