Pemetaan Hutan Adat di Enam Binua Telah Dilakukan. Bagaimana Realisasi Kedaulatan Hidup Mereka?

 

 

Gedung Berkat Bagi Bangsa, Kecamatan Senakin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, dipenuhi ratusan warga. Mereka adalah Timanggong, Gapit Timanggong, Pateh, Pasirah, Pangaraga, Tuha Tahutn, aparat pemerintah desa, tokoh perempuan, tokoh agama dan tokoh pemuda dari 17 binua di 14 desa, Kecamatan Sengah Temila.

Binua adalah kesatuan wilayah pemerintahan adat dan hukum adat yang bersifat otonom. Kewenangannya melingkupi kampung-kampung permukiman penduduk yang memiliki banyak kesamaan dalam sejarah asal usul, adat istiadat, kelembagaan, dan kepemimpinan. Mereka juga mempunyai kesamaan bahasa serta model pengelolaan sumber daya alam.

Binua dipimpin oleh Timanggong, yang paling tinggi dan luas posisinya dalam menyelesaikan urusan dan atau pekara adat. Dia dibantu oleh Gapit Timanggong, kemudian Pasirah di bawahnya, lalu di posisi paling bawah yakni di kampung, adalah Pangaraga atau Pamane.

 

Baca: Hutan Adat itu Supermarketnya Orang Iban Sungai Utik

 

Mereka merupakan peserta aktif musyawarah besar yang dalam bahasa Dayak Kanayatn disebut bahaupm aya’. Musyawarah dirangkai dengan peluncuran, serah-terima peta dan dokumen profil enam binua, juga dialog multipihak. Hasil musyawarah ini, akan diserahkan kepada Bupati Landak, Karolin Margret Natasa dan Ketua DPRD Kabupaten Landak, Hari Saman.

“Kegiatan ini menandai rangkaian akhir pemetaan partisipatif enam binua di daerah Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak. Prosesnya dilaksanakan kurang lebih dua tahun terakhir,” terang Timanggong BinuaTumila, Djaiyang.

Musyawarah besar adat ini didahului dengan ritual adat siton kumang. Tujuannya, memberitahukan dan meminta kepada penguasa alam semesta agar kegiatan berjalan lancar. “Terhindar dari rintangan dan semuanya aman,” papar Mardiro, Kepala Desa Senakin.

Pemetaan wilayah adat enam binua di Sengah Temila ini, pada dasarnya untuk mempertegas keberadaan wilayah masyarakat adat dan kedaulatan ruang hidup mereka. Di sini, konsep tata ruang masyarakat hukum adat digali dan didokumentasikan ke dalam bentuk profil binua: Tungkasa, Tumila, Rege, Bahumukng, Talaga, dan Soari. Secara administratif, wilayah tersebut masuk ke dalam empat desa yaitu Desa Andeng, Senakin, Aur Sampuk, dan Paloan.

Peta dan profil data sosial wilayah masyarakat hukum adat enam binua ini akan menjadi pijakan untuk tata guna lahan, menurut masyarakat adat Kanayatn. Tata guna lahan tersebut di antaranya adalah timawakng, kompokng, kabon gatah/karet, jakat/sawah, bawas, rimbak, hutan adat, dan permukiman.

 

Persawahan dengan latar belakang Hutan Adat Serampas ini terlihat hijau rimbun terjaga. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Hutan Adat

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Dahniar Andriani, mengatakan janji Presiden Jokowi yang mengalokasikan 12,7 juta hektare lahan kepada masyarakat adat, masih jauh panggang dari api. Pemerintah mengkalim, sebanyak 707.000 hektare sudah ditetapkan sebagai hutan adat. Target 4,8 juta hektare hutan adat lainnya akan ditetapkan hingga 2019.

“Namun, sebaran wilayahnya masih belum jelas. Angka itu masih imajiner,” ujarnya dalam Semiloka Percepatan Pengakuan Hukum Adat di Kalimantan Barat, 10 Oktober 2017. “Padahal, hutan adat merupakan jalan masuk pada skema pemerintah yang ingin membangun Indonesia dari pinggiran. Untuk itu, janji Jokowi patut ditagih lagi,” lanjutnya.

Dahniar pun mengingatkan akan angka 707.000 hektare yang harus dilihat langsung di lapangan. Pemerintah juga harus memastikan, wilayah adat tersebut dilindungi keberadaannya. “Masalahnya, birokrasi di tingkat provinsi belum banyak yang merespon dengan membuat payung hukum, yakni peraturan daerah. Untuk itu banyak pihak harus mendobrak rantai regulasi tersebut agar tidak tumpang tindih,” jelasnya.

Matheus Pilin, Ketua Koalisi Hutan Adat untuk Kesejahteraan Kalimantan Barat (HAK), mengatakan pentingnya percepatan pengakuan hutan adat di tanah air, khusus di Kalbar adalah dengan menghadirkan negara. “Dengan penetapan ini, ada kepastian hak atas wilayah (hutan) adat, dan peningkatan pemerataan pembangunan sosial ekonomi masyarakat,” katanya.

Hak-hak konstitusional masyarakat adat yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya hutan, diantaranya adalah hak untuk bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, serta hak milik pribadi. Koalisi HAK merupakan gabungan dari 13 organisasi sipil kemasyarakatan yang bekerja pada isu masyarakat adat.

Koalisi HAK, kata dia, telah memetakan 1,3 juta hektare dari 411 kampung di sembilan kabupaten di Kalimantan Barat. Hasilnya, terdata sekitar 151 sub suku, dengan 168 bahasa yang digunakan oleh masyarakat adat. “Kami juga mengumpulkan data-data terkait sejarah asal usul kampung, seperti yang dipersyaratkan,” sebutnya.

Marcellus TJ, Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Barat, menyatakan pemerintah daerah mempunyai itikad baik untuk mewujudkan percepatan pengakuan hutan adat. Menurutnya, kendala utama yang dihadapi adalah disahkannya Peraturan Daerah Masyarakat Hukum Adat. “Hingga saat ini masih dalam pembahasan di legislatif,” katanya.

Pemerintah daerah sendiri mempunyai program, agar masyarakat adat bisa mendapatkan manfaat dari lahan kelolanya, tidak melulu dikonversi menjadi perkebunan kepala sawit. Pemerintah juga berupaya, agar izin kebun yang masuk dalam kawasan kelola masyarakat tidak lagi diperpanjang. Sehingga, masyarakat bisa mengelola kawasan tersebut.

“Kita lihat apa yang cocok di daerah itu. Bisa ditanami kemiri sunan, kaliandra, atau hutan tanaman rakyat,” ujarnya. Marcellus berjanji, pemerintah daerah akan menindaklanjuti hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan organisasi sipil kemasyarakatan dan akan di-overlay dengan peta hutan Kalimantan Barat.

 

Inilah pintu gerbang Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Hutan Adat Sungai Utik ini dijaga sangat ketat oleh masyarakat adat Iban. Foto: Andi Fachrizal/Mongabay Indonesia

 

Hutan adat, sebenarnya merupakan salah satu bentuk dalam lima skema implementasi dari Perhutanan Sosial. Empat skema lainnya adalah Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatn (HKm), dan Pola Kemitraan. “Hutan adat menjadi bagian penting dalam komunitas masyarakat. Hutan adat merupakan bagian dari perlindungan identitas masyarakat, karena terdapat aspek-aspek seperti religi, sosial atau budaya,” kata Kepala Sub Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal, Yudi Prasetyo Nugroho.

Skema ini dibangun pemerintah, mengacu pada fungsi hutan adat bagi masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat, akan memberikan perlindungan terhadap hutan adat yang mereka kelola serta pemanfaatannya harus berkelanjutan. “Tetapi, yang terpenting dari pengakuan hutan adat ini adalah penyelamatan kawasan hutannya,” katanya.

Keberadaan hutan adat, dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No 35 Tahun 2012. Putusan ini memperbaiki beberapa aspek dari dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Di dalam undang-undang kehutanan, disebutkan kawasan hutan adat adalah bagian dari hutan negara. Putusan MK kemudian mengoreksi kata ‘negara’ dari frasa ‘hutan negara’ pada pasal 1 angka 6. Kata negara dihapuskan sehingga berbunyi: “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”

Secara regulasi, sebelum adanya hutan adat, perlu dikukuhkan keberadaan masyarakat adat terlebih dahulu melalui peraturan daerah. Wilayah masyarakat adat dipetakan, dan di-overlay dengan peta kawasan hutan. Jika beririsan, pemerintah harus mengeluarkan kawasan tersebut dari kawasan hutan negara.

Secara keseluruhan, menurut Yudi, melalui Perhutanan Sosial, masyarakat mendapat perlindungan berupa pengukuhan dari pemerintah untuk mengelola hutan. “Diharapkan, skema ini dapat meningkatkan kesejahtaraan masyarakat selama digunakan untuk kepentingan komunitas. Bukan, orang per orang,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,